Saturday, December 26, 2009

Feeling Guilty

Pagi yang cerah untuk online. Buka Facebook. Inbox ada satu pesan. Wahh..ini pasti balasan dari temen yang kirim pesan kemaren.Buka ahh….!! Terkesiap…,ooohh…what kind of mess I’ve done hikss…, ada yang terluka karena diriku di facebook. MasyaAllah…sedih sekali, baru saja diriku mendapat teman baru, sudah kulukai perasaannya karena kekhilafan yang tidak aku sadari. Rasa bersalah itu trus menghantui….berlanjut hingga selesai sujud ku pada dhuha itu. Permintaan maaf bertubi-tubi kukirimkan pada teman baru ku itu. Harap-harap cemas, menunggu seperti apa reaksi beliau.

Sungguh, manusia itu gudangnya salah. Kita pernah terluka dan melukai orang lain baik sengaja atau tidak. Allah, hari Ini aku diingatkan kembali. Hari ini aku mendapat pelajaran berharga : Sebelum bertindak dengan lisan atau tulisan, pikirkan dulu baik-baik jauh ke depan apakah sekiranya hal tersebut patut atau tidak. Kadangkala hal sederhana dalam anggapan kita memberikan dampak yang tidak sederhana pada orang lain. Kecil menurut kita, besar menurut orang lain.Berpikirlah melalui perspektif orang lain, bukan keakuan yang dikedepankan. Ah…aku sendiri sering merasakan hal seperti ini. Terluka karena hal kecil yang dibuat oleh orang lain. Terlalu perasa. Cap itu yang diberikan suami untukku. Lalu setelah kejadian ini, aku tahu seperti apa rasanya. Betapa tidak adilnya aku.

Anyway, terimakasih Mbak..untuk mengingatkan. Seandainya pesan itu tidak ada, barangkali sampai detik ini aku masih merasa nyaman dengan kesalahan yang tidak kusadari itu.

(Teriring salam ukhuwah untuk mbak…
)

Friday, December 25, 2009

Scar of David, Scar of Palestine

Jenin. Shabra. Shatila. Nama-nama itu adalah prasasti duka yang yang didirikan di atas perjuangan, pengorbanan, air mata dan darah bangsa Palestina –pemilik sah tanah Pelestina -- puluhan tahun silam. Pahatannya dibangun oleh kebencian, penindasan, penyiksaan dan ketidakadilan oleh bangsa yang mengaku terbaik di antara bangsa lain. Yahudi.

Genosida yang dilakukan Yahudi pada kamp-kamp pengungsian tersebut menjadi latar belakang novel fiksi sejarah ini. Buku setebal 478 halaman yang mengalami cetakan pertama pada April 2009, terbitanHikmah , karangan Susan Abulhawa ini menorehkan luka, sama halnya dengan luka parut yang dimiliki oleh David, seorang Palestina yang ‘terpaksa’ menjadi Yahudi di luar kehendaknya. Di bagian cerita lain, keluarga David yang asli, keluarga Palestina, harus berjuang mempertahankan hidup di balik kekejian tentara Yahudi. Termasuk pelaku kekejian tersebut adalah David, si anak hilang yang ketika bayi direnggut oleh tentara Yahudi dari pelukan ibunya.

David alias Ismael bediri di antara dua identitas samar yang harus dilakoninya puluhan tahun , sebuah kenyataan hidup yang menyakitkan. Amal, si adik yang yang kelak dijumpainya, tertempa hari-hari penuh trauma. Kejadian demi kejadian hidup yang dialaminya membingkai erat karakter besinya di kemudian hari hingga ajal menjemputnya saat menjadi tameng peluru Yahudi bagi sang anak yang dicintainya dalam diam. Cinta itu dalam tak berdasar, jauh tak berbatas, namun sulit dipahami seketika itu juga.

Membaca gaya bahasa penulis (atau penerjemah ?? ) ibarat melihat film bergenre suspense yang membuat kita bersiap untuk kejutan-kejutan rasa. Latar belakang sejarah yang nyata diramu ke dalam fiksi mampu membuatku meneteskan air mata saat membaca bagian pembantaian Shabra dan Shatila. Kekejaman jenis apa yang tengah dipertontonkan bangsa barbar itu ?? Emosi ku teraduk. Ingin rasanya pedih itu kugenggam dan rasakan di sekujur tubuhku. Sungguh tak ada yang dapat diharapkan dari keadilan dunia yang ambigu ini. Tetaplah bersabar saudara-saudaraku. Allah Maha Tahu. Lukamu adalah lukaku. Doa selalu teriring di setiap sujudku.

Wednesday, December 09, 2009

Gak Penting !

I hate of being abandoned
Just because you used to see me everyday
You acted as if I deserve your ignorance
for a small thing which meant a lot to me
When you were entering your untouchable palace, everything was put at the back as useless- broken shoes

I hate of being abandoned whether or not your business is important
Sometimes it irritates me badly
What if ‘the small thing’ informed you ‘the great thing’ while you were abandoning me
Still was I about to be blamed

Being abandoned is such a misery to me
It can be obviously seen through my truthful eyes
Please be realized

If you are trying to be a good one for everyone you love
Not even once leave us behind

(for everyone abandoned by beloved one)

Sunday, December 06, 2009

Happy Milad to My Beloved Mas

Hari ini genap 33 tahun usiamu
Tidak muda lagi tentu
Sudah ada tiga permata kecil yang akan selalu membuntuti jejakmu
Menyusuri pahit, manis dan rupa-rupa rasa
yang semuanya tercipta berkat hadirmu di sini

Selaksa doa lahir dari cinta-cinta kami
Menguntainya indah lewat kecup sayang di pipi
Semoga abi panjang umur
Ucap si sulung

Kuteruskan dengan doa yang lain
Semoga terus jadi abi sholih kebanggaan kami
Tetap istiqomah menakhodai kapal kecil ini menuju ridho Ilahi
Menjadi naungan letih jiwa-jiwa kami
Menjadi ayahku hebat versi seluruh awak

Sudah 33 tahun, Mas
7,5 tahun di antaranya kita bersama
Masih panjang perjalanan kebersamaan itu
Bila Allah berkenan memberi waktu
Kami berharap
adanya kami
Akan menjadi pelecut semangat hidupmu
selalu...

Sungguh….
di antara riuh rendah jiwa-jiwa kami
kau begitu berarti

Happy milad abi tersayang, mas tercinta

The Road of Lost Innocence

Dari sekian banyak buku yang kubaca, sepertinya buku ini menempati peringkat teratas dalam hal waktu penyelesaiannya. Hanya cukup satu malam saja aku habiskan untuk membaca buku ini. Ada 2 alasan mengapa aku mampu menghabiskannya dalam satu malam, yang pertama karena buku ini tidak terlalu tebal, hanya 286 saja. Kedua adalah bahwa buku ini begitu menariknya menurutku. Sebuah kisah hidup tragis yang mampu diceritakan ulang, walaupun itu berarti pengarangnya seolah merobek kembali luka lama yang sudah kering. Nyeri sudah pasti.
The road of Lost Innocence buah karya Somaly Mam & Ruth Marshall, terbitan Hikmah, mengalami cetakan pertama pada bulan April 2009, akan tetapi aslinya buku ini terbit pada tahun 2005.

Buku ini bercerita tentang seorang perempuan dari suku terasing dan dikenal sebagai suku liar, suku Phnong, di pedalaman Kamboja. Perempuan ini tak mengerti asal usul hidupnya, karena hidup dan dibesarkan oleh alam hutan hujan tropis tanpa kedua orang tuanya. Nama Somaly Mam dilekatkan padanya oleh orang lain, yang kemudian di bawanya hingga dewasa sebagai suatu kebanggaan.

Somaly memulai hidup tragisnya saat dijual kehormatannya pada usia 10 tahun oleh orang yang dianggapnya kakek. Beberapa tahun sejak saat itu Somaly mengalami banyak kekerasan fisik dan seksual, terutama setelah menikah paksa di usia 14 tahun. Kehidupan tragis itu terus dibawanya hingga terjebak menjadi korban dalam perdagangan manusia, yang membuatku bergidik, miris, dan marah saat membacanya.
Anak-anak yang masih berusia 12 tahun ke bawah adalah target trafficking , karena mitos bodoh orang-orang di sana adalah, apabila meniduri seorang perawan maka vitalitas akan terjaga dan terhindar dari AIDS. Padahal bagi umumnya orang Kamboja yang juga memegang adat ketimuran, menjaga keperawanan dan kehormatan adalah sesuatu yang sakral. Sayangnya di sisi lain, mereka pun tak segan-segan menjual anak, isteri, atau keponakannya untuk menjadi barang komoditi terlarang itu demi segenggam uang. Ironi.

Kekerasan yang dialami Somaly berhenti dan kehidupannya menjadi lebih baik saat bertemu dengan lelaki berkebangsaan Prancis yang kemudian menikahinya. Belajar dari kegetiran hidup yang dialaminya Somaly bertekad untuk mengabdikan dirinya dalam membantu perempuan-perempuan lain yang mengalami nasib sama dengan dirinya. Diperdagangkan. Berkat perannya tersebut, Somaly mendapatkan penghargaan internasional Asturias untuk kemanusiaan dari pemerintah Spanyol.

Somaly adalah satu dari sekian banyak perempuan yang mampu bangkit dari keterpurukannya. Tekad , semangat dan motivasi untuk memperbaiki hidupnya selalu kuat tertanam dalam diri Somaly. Walaupun perubahan besar mengembalikan harga diri dan kepercayaan dirinya sendiri memakan waktu yang tidak singkat, Somaly tidak pantang menyerah. Kemauan kuatnya untuk lepas dari tirani perbudakan hawa nafsu menjadi orang baik-baik dan kemudian mengabdikan diri untuk membantu teman-teman senasib nya melalui aksi kemanusiaan yang rajin dilakukannya hingga saat ini. Melompat dari rumah bordil satu ke rumah bordil lainnya untuk tidak hanya ‘sekedar’ membagikan kondom sebagai sarana pencegahan penyakit menular seksual, tetapi juga membantu para perempuan yang ‘terjual’ dan ‘terpaksa’ untuk keluar dari tempat itu.

Saat ini Somaly menjadi presiden bagi yayasan yang dibangunnya : AFESIP (Aksi bagi perempuan dalam kesulitan). Percayalah, siapapun perempuan yang membaca buku ini pasti akan banyak bersyukur karena tidak mengalami penderitaan maha dahsyat itu. Tak terkecuali aku, dan doaku semoga anak-anak Indonesia terlindung dari perdagangan manusia yang keji itu.

Love in a Torn Land

Joana, seorang perempuan Kurdi yang berusaha memperjuangkan hidup dan cinta nya di tengah pertikaian etnis yang tak kunjung usai. Harapan untuk kebahagiaan dan kehidupan lebih baik harus dibayar mahal dengan pengorbanan yang tidak sedikit. Kematian dan penderitaan bangsa Kurdi di tengah pemerintahan Iraq yang kejam adalah pemandangan yang biasa di sekitarnya.

Kesalahan orang-orang sipil yang mengalami penderitaan itu hanyalah karena mereka dilahirkan sebagai etnis Kurdi, satu dari sekian banyak etnis yang terusir dari tanahnya sendiri. Setelah mengalami penantian panjang dan pasang surut sebuah kesetiaan terhadap kepastian cintanya yang luruh karena puisi bertubi-tubi, Joana mantap menentukan pilihan hidupnya untuk membersamai kekasih hati menjadi peshmerga, sebutan untuk pejuang Kurdi yang berjuang untuk kemerdekaan tanah airnya.

Perempuan keras kepala itu siap dengan resiko apapun yang akan dihadapi dalam perjalanannya menembus hutan dan gunung termasuk resiko hampir kehilangan penglihatannya akibat bom kimia yang ditebar pemerintah Saddam Husein untuk melenyapkan etnis yang dianggap sebagai duri dalam daging tersebut. Pada akhirnya, setelah perjuangan yang nyaris tak berujung itu, Joana dan Sarbast, suaminya, mendapatkan jalan untuk hidup di negara lain yang menjanjikan kehidupan lebih baik untuk mereka.

Kisah di atas adalah sebuah memoar tentang pilihan hidup, perjuangan, dan cinta yang mempunyai konsekuensi logis saat berketetapan hati menapaki satu-satu takdir yang menyelimutinya. Terlepas dari semangat reliji yang kurang dimiliki oleh seorang Joana – terlihat dari tak pernah sedikitpun disinggung ritual ibadah yang dilakukannya sebagai seorang muslim sepanjang cerita hidupnya– Joana adalah sosok perempuan tangguh dan tanpa keluh. Suatu sikap yang patut untuk kita tiru dalam menapaki semua cobaan hidup, yang mungkin lebih ringan dibanding cobaan Joana.

Walaupun ada bagian-bagian deskripsi tempat kurang tajam diungkap sehingga aku agak kesusahan melambungkan imajinanasi saat membacanya, seperti pada saat Joana mengembara di setiap desa dan hutan di wilayah Kurdistan, secara umum buku setebal 573 halaman, karangan Jean P. Sasson, terbitan Ramala Books dan mengalami cetakan pertama pada tahun 2009 ini dan dilengkapi beberapa ilustrasi, adalah buku yang patut untuk dibaca para pecinta buku.
Kusemat cinta berbalut doa di kedalaman samudera hati orang - orang terkasih.......