Seperti ada dorongan kuat memaksaku kembali membuka blog ini..Ahh..klise...setiap memulai lagi selalu itu kata pembukanya. Sederhana sepertinya penyebab semua ini, hanya masalah batu-bata kemalasan kronis yang perlahan tersusun menjulang, sehingga sulit dirobohkan pada saat keinginan mengetuk kesadaran. Ini adalah posting pertama setelah penyematan gelar SpKK. Aha...bila menapaktlasi blog ini sejak beberapa tahun yang lalu, akan ada benang merah kehidupan terekam yang sejak awal kuulurkan hingga sampai pada detik sekarang. Aneka rupa rasa. Indah untuk dikenang, tak indah untuk diulang :) Terseret, tertatih, menangis, tertawa, semua rupa-rupa rasa
membersamai sejak awal menapaki sekolah dokter kulit hingga jadi dokter
kulit sebenarnya. Tepat tanggal 14 Agustus 2014 bukti hitam di atas
putih sebagai dokter spesialis dapat kubawa kembali, ke sini...ke
haribaan orang-orang tercinta, di bumi melayu yang selalu kurindu. Sejak
pertama menginjak tanah ini, entah mengapa aku sudah jatuh cinta
biarpun kadang kota ini berubah menjadi fog city yang menyesakkan dada. Maka nikmat Allah mana lagi yang bisa aku dustakan. Perjalanan menembus ruang dan waktu itu sudah kulalui, dan episode baru sudah kujalani setelah hampir 1 tahun pulang ke kota ini. Kesibukan berganti. Tanggung jawab pribadi sebagai profesional sudah sepenuhnya di diri. Keluarga, Fakultas kedokteran Universitas Riau, RSUD Arifin Achmad, dan rumah sakit swasta, menjadi bagian amanah yang harus dijalankan dengan sepenuh hati. Aku sedang belajar mencintai episode hidup ini walaupun asing pada awalnya. Semoga cinta yang hadir nanti membuahkan produktifitas dan manfaat bagi semua.
Banyak cerita kehidupan yang kutemui yang mestinya kurangkai sehingga hikmah itu tidak berceceran. Bukankah tema blok ini adalah mengambil hikmah di setiap jengkal langkah? Nafsu memperbaharui blog ini menguap setelah beberapa waktu yang lalu lupa bagaimana cara memperbaiki template blog ini, tapi setelah sedikit diotak-atik Alhamdulillah...bisa menemukan cara bagaimana masuk ke dalamnya dan posting lagi tentunya ! Ada secercah semangat yang menyembul dari balik niat berbagi. Kelak tulisan-tulisan di blog ini menjadi jejak cinta bagi semua yang membaca, dan semoga dapat sedikit banyak menebar manfaat untuk sesama. Mengingatkanku pada suatu kalimat, entah darimana asalnya...tulisan yang dibuat dengan hati, akan sampai pula ke hati. Semoga.
USA, hampir tengah malam
Mumtazah Family
Hikmah itu ada di setiap jengkal langkah.....
Thursday, August 20, 2015
Friday, September 21, 2012
Prajab Kenangan
Kebosanan pada suatu kegiatan mengantarkan ku kembali mencoba membuka blog tercinta ini, sepertinya ini yang disebut takdir karena kalau tidak bosan tentulah blog ini hanya sekedar kupandang. Tepat pada tanggal 21 September 2012 sehari setelah pemilihan gubernur DKI Jakarta aku mulai menulis lagi. Hm...sudah terlalu lama blog ini sepi, sesepi Pusbangtendik ini saat malam menjelang aku susuri jalan selasar menuju graha Arimbi setelah acara makan di Kantin Paramitha.
Sudah kurang lebih 2 minggu sudah kuhabiskan waktu di sini mengikut diklat prajabatan CPNS gelombang 14 kelompok 3B. Kucatat gelombang dan kelas yang kumasuki, karena aku tahu entah beberapa waktu nanti saat kenangan ini kubongkar dalam kesadaran waktu, aku akan menyadari betapa beruntungnya aku bertemu manusia-manusia hebat itu. Syukur yang tidak boleh habis dari kantung jiwa ku, setelah menyadari bahwa sudah sedemikan banyak anugerah diberikan Sang Maha Pemurah. Tidak 1 atau 2 tapi entah berapa kalkulasinya tak mungkin aku hitung hingga detik ini.
Sudah kurang lebih 2 minggu sudah kuhabiskan waktu di sini mengikut diklat prajabatan CPNS gelombang 14 kelompok 3B. Kucatat gelombang dan kelas yang kumasuki, karena aku tahu entah beberapa waktu nanti saat kenangan ini kubongkar dalam kesadaran waktu, aku akan menyadari betapa beruntungnya aku bertemu manusia-manusia hebat itu. Syukur yang tidak boleh habis dari kantung jiwa ku, setelah menyadari bahwa sudah sedemikan banyak anugerah diberikan Sang Maha Pemurah. Tidak 1 atau 2 tapi entah berapa kalkulasinya tak mungkin aku hitung hingga detik ini.
Wajah-wajah di hadapanku adalah wajah masa depan negeri ini. Saat ini kami menyadari bahwa tugas kami sebagai aparat negara adalah melayani seluruh rakyat Indonesia. Apapun yang terjadi ini adalah jalan yang kami pilih sendiri, dengan seribu niat awal di dalamnya. Negeri ini harus kami ubah dari negeri bedebah menjadi negeri anugerah. Berangkat dari pemikiran inilah pelatihan ini kami emban. Saat ini, dua tahun lagi,entah kapan tapi sesuatu yang insyaAllah pasti, bila negeri ini akan lebih baik nanti.
Thursday, September 29, 2011
Semangat Silaturahim
Masih dalam cerita cuti melahirkan 3 bulan kemarin banyak hal yang kualami. Hal ter’gila’ yang aku lakukan adalah mengajak si bungsu pulang kampung saat Idul Fitri kemarin dalam usianya yang baru 30 hari. Jarak Yogya-Belitang, sebuah kecamatan nun jauh di Sumatera Selatan, bukanlah dekat .
Dengan mengendarai mobil pribadi, ribuan kilo kami tempuh melewati pesisir jawa, selat sunda, hingga menyisir hutan sumatera. Bukan pula perjalanan yang mudah karena sepanjang jalan dengan membawa semua anak adalah perjalanan berurai air mata dimana setiap anak pasti akan menangis karena hal apapun, tak terkecuali ibunya yang gemas dengan tingkah mereka :). Belum lagi yang menyedihkan adalah si no-3 yang baru pertama kali di ajak keluar jauh dari habitatnya selama ini. Rasa ‘ketakutan’ dengan suasana baru ditambah lagi kecemburuan dengan si adik baru tumpah ruah dengan kemanjaan dan kekeraskepalaannya selama di perjalanan. Sejenak hal ini membuatku nanar. Perjalanan pulang kali ini yang ditemani oleh kedua orang tuaku menjadi tidak asyik. Mestinya semua menikmati dengan suka cita, tapi dalam hati aku yakin semua akan dimudahkan Allah karena semangat silaturahim lah yang kucoba bawa di niat perjalanan kali ini.
Selama seminggu pertama di kampung adalah cobaan berat bagiku karena si tampan ku tak hendak pergi dari sisi ditemani dengan tangisnya yang menyesak dada. Semuanya mau ummi...!! Jadilah diriku ibu seperti adegan di sinetron saat take gambar menggendong bayi sementara ada anak laki-laki yang kecil memegang ujung baju si ibu kemanapun pergi sambil menangis..what a life.. Mmhnff.... !! Alhamdulillah tak lama kemudian sang abi datang dari Pekanbaru dan dengan semangat cinta menemani hari-hari lelaki kecil kami yang sudah rindu dengan sang ayah.
Setelah seminggu di Belitang, perjalanan lanjut ke Ranau, tanah kelahiran mama di salah satu pojok Lampung Barat. Dengan semangat silaturahim juga kami rela naik kapal motor kecil terombang ambing menyeberangi danau indah permai untuk berkunjung ke tempat saudara di kaki gunung Seminung dan si kecil pun harus rela saat telinganya yang baru 40 hari lebih terpapar kerasnya suara mesin kapal motor yang meraung-raung di depan kendali. Kembali doaku dalam diam memohon Allah menjaga telinganya demi semangat silaturahim yang kami bawa.
Setelah kurang lebih 3 minggu menghabiskan waktu di Belitang, waktunya untuk kembali ke Yogya. Kali ini perjalanan udara yang kami tempuh dengan hanya membawa si kecil, sementara 3 anak yang lain naik mobil diantar oleh orang tuaku, yang baru 3 minggu sebelumnya menjemput kami dari Yogya. Papa yang usianya sudah kepala 6 berjuang menyetir mobil demi mengantar cucu-cucunya pulang ke Yogya, sementara mama yang usianya pun tidak terpaut jauh harus ikut untuk menjaga cucu-cucunya selama perjalanan. Alhamdulillah semua dimudahkan tanpa halangan berarti Allah beri kesehatan kepada Beliau berdua hingga kembali ke Belitang lagi.
Waktu 4 jam di dalam travel yang sesak dan tidak nyaman menuju ke bandara bukanlah waktu yang singkat. Kami mencoba bertahan dengan keadaan itu, sambil sesekali menenangkan si kecil yang sering terbangun karena ketidaknyamanan tersebut. Doaku lagi supaya Allah jaga si kecil dari pengaruh buruk keadaan sekitar demi semangat silaturahim. Di atas pesawat doa yang sama kupinta, semoga tekanan di pesawat tidak berpengaruh pada telinganya.
Allah.. banyak sekali hal yang dapat membuat buah hati ku dan orang tuaku jatuh sakit bila kuingat betapa perjalanan ini tidak ringan. Subhanallah..maka pertolongan siapakah yang kita minta di saat seperti itu? Penjagaan siapakah yang paling baik dari segala macam hal buruk yang mungkin menimpa kami saat itu? Alhamdulillah hingga detik kembali ke Yogya tidak satupun anakku yang sakit atau terjadi hal yang mengkhawatirkan, hanya flu ringan yang mengenai keempatnya. Inilah hasil pulang kampung dengan semangat silaturahim itu.
Pesan moral : Silaturahim akan memanjangkan umur dan memurahkan rezeki (al-hadits)
Srowolan, end of September, 2011
Dengan mengendarai mobil pribadi, ribuan kilo kami tempuh melewati pesisir jawa, selat sunda, hingga menyisir hutan sumatera. Bukan pula perjalanan yang mudah karena sepanjang jalan dengan membawa semua anak adalah perjalanan berurai air mata dimana setiap anak pasti akan menangis karena hal apapun, tak terkecuali ibunya yang gemas dengan tingkah mereka :). Belum lagi yang menyedihkan adalah si no-3 yang baru pertama kali di ajak keluar jauh dari habitatnya selama ini. Rasa ‘ketakutan’ dengan suasana baru ditambah lagi kecemburuan dengan si adik baru tumpah ruah dengan kemanjaan dan kekeraskepalaannya selama di perjalanan. Sejenak hal ini membuatku nanar. Perjalanan pulang kali ini yang ditemani oleh kedua orang tuaku menjadi tidak asyik. Mestinya semua menikmati dengan suka cita, tapi dalam hati aku yakin semua akan dimudahkan Allah karena semangat silaturahim lah yang kucoba bawa di niat perjalanan kali ini.
Selama seminggu pertama di kampung adalah cobaan berat bagiku karena si tampan ku tak hendak pergi dari sisi ditemani dengan tangisnya yang menyesak dada. Semuanya mau ummi...!! Jadilah diriku ibu seperti adegan di sinetron saat take gambar menggendong bayi sementara ada anak laki-laki yang kecil memegang ujung baju si ibu kemanapun pergi sambil menangis..what a life.. Mmhnff.... !! Alhamdulillah tak lama kemudian sang abi datang dari Pekanbaru dan dengan semangat cinta menemani hari-hari lelaki kecil kami yang sudah rindu dengan sang ayah.
Setelah seminggu di Belitang, perjalanan lanjut ke Ranau, tanah kelahiran mama di salah satu pojok Lampung Barat. Dengan semangat silaturahim juga kami rela naik kapal motor kecil terombang ambing menyeberangi danau indah permai untuk berkunjung ke tempat saudara di kaki gunung Seminung dan si kecil pun harus rela saat telinganya yang baru 40 hari lebih terpapar kerasnya suara mesin kapal motor yang meraung-raung di depan kendali. Kembali doaku dalam diam memohon Allah menjaga telinganya demi semangat silaturahim yang kami bawa.
Setelah kurang lebih 3 minggu menghabiskan waktu di Belitang, waktunya untuk kembali ke Yogya. Kali ini perjalanan udara yang kami tempuh dengan hanya membawa si kecil, sementara 3 anak yang lain naik mobil diantar oleh orang tuaku, yang baru 3 minggu sebelumnya menjemput kami dari Yogya. Papa yang usianya sudah kepala 6 berjuang menyetir mobil demi mengantar cucu-cucunya pulang ke Yogya, sementara mama yang usianya pun tidak terpaut jauh harus ikut untuk menjaga cucu-cucunya selama perjalanan. Alhamdulillah semua dimudahkan tanpa halangan berarti Allah beri kesehatan kepada Beliau berdua hingga kembali ke Belitang lagi.
Waktu 4 jam di dalam travel yang sesak dan tidak nyaman menuju ke bandara bukanlah waktu yang singkat. Kami mencoba bertahan dengan keadaan itu, sambil sesekali menenangkan si kecil yang sering terbangun karena ketidaknyamanan tersebut. Doaku lagi supaya Allah jaga si kecil dari pengaruh buruk keadaan sekitar demi semangat silaturahim. Di atas pesawat doa yang sama kupinta, semoga tekanan di pesawat tidak berpengaruh pada telinganya.
Allah.. banyak sekali hal yang dapat membuat buah hati ku dan orang tuaku jatuh sakit bila kuingat betapa perjalanan ini tidak ringan. Subhanallah..maka pertolongan siapakah yang kita minta di saat seperti itu? Penjagaan siapakah yang paling baik dari segala macam hal buruk yang mungkin menimpa kami saat itu? Alhamdulillah hingga detik kembali ke Yogya tidak satupun anakku yang sakit atau terjadi hal yang mengkhawatirkan, hanya flu ringan yang mengenai keempatnya. Inilah hasil pulang kampung dengan semangat silaturahim itu.
Pesan moral : Silaturahim akan memanjangkan umur dan memurahkan rezeki (al-hadits)
Srowolan, end of September, 2011
Episode Baru
Menjelang berakhirnya cuti yang kunikmati selama hampir 3 bulan ini dan kembali kepada kehidupan di dalam belantara pencarian ilmu, aku sempatkan menulis sepenggal episode rasa hati saat ini, sembari memangku si tampan ke-3 ku tulisan ini kubuat.
Shofiyah Hafidhotul Mumtazah, si elok yang lahir dari rahim ibunda pada tanggal 20 Juli 2011 melalui sectio caesaria yang ke-4 -Alhamdulillah tanpa kendala berarti- , memberikan spirit cinta yang baru di aliran darah ibunda dan ayahanda. Menambah semangat kami untuk terus berkarya. Shofiyah, nama itu kami ambil dari nama salah seorang isteri Rasulullah yang berbudi, yang diharapkan dapat menjaga (hafidhotul) syahadah (syahidatul), keikhlasan (kholishotul), dan kekasih hatinya (syauqi) dengan penjagaan terbaik (mumtazah) yang dia punya hingga kelak menemui Sang Pemilik, aamiin.
Berbekal iman lah kehidupan ini akan kembali kujelang, perjuangan tanpa henti bersama empat anak dengan suami nun jauh di sana. Cengeng? Ah tidak juga. Toh semua pasti berlalu, karena pada dasarnya waktu melaju. Hanya bagaimana kualitas hari-hari yang dilalui itulah yang mesti dimaknai lebih baik lagi. Kunikmati hari-hari ini, membaui nafas dan aroma tubuh mereka saat ini, mendengar tangis mereka setiap saat saling bergantian dan bersahut-sahutan dan kadang mengesalkan namun mungkin suatu waktu di hari yang akan datang akan begitu kurindukan. Adalah sebuah pengorbanan saat moment-moment emas di kehidupan mereka berlalu begitu saja dalam lembaran hidup ayahanda. Sebuah keterasingan yang akan dirasa oleh si bungsu kami nanti. Disesali? Ah tidak juga. Bila masih diberi Allah waktu, hutang itu harus terbayar pada saat ada perjumpaan. Berkumpul kembali dalam keadaan normal itu harapan kami. Semua tergantung diriku –dalam sudut pandang manusia-, seberapa cepat selesai selama itulah waktu perpisahan. Menantang bukan?
Tidak semua nasib manusia sama suka dan dukanya. Banyak komentar ketakjuban kudengar dari kiri dan kanan melihat 4 anak dalam genggaman. Ah kupikir itu biasa saja, Allah pasti tahu seberapa besar kemampuan hamba Nya. Menjalani dengan lapang dada, walau emosi kadang meletup dengan tingkah kanak-kanak mereka. Ampuni hamba untuk ketidaksabaran ini, Rabbi. Aku harus banyak belajar menjadi ibu karena aku yakin bila menjadi ibu adalah sekolah berijazah, maka sudah terlalu banyak angka merah aku toreh di rapor tiap semesternya. Melatih si besar untuk lebih disiplin dan bertanggungjawab terhadap adik-adiknya, melatih si kecil untuk menyayangi kakak-kakaknya adalah pekerjaan harian yang rutin kulakukan. Apakah berpikir bagaimana menghidupi mereka kelak mengusik ku? Ah tidak juga. Aku yakin rezeki Allah berlimpah di langit dan di bumi, porsi untuk mereka juga sudah tersedia tinggal bagaimana menggapainya lewat doa dan usaha. Aku percaya rezeki itu tidak bisa diduga dalam hitungan kertas manusia. Bila dengan akal aku berhitung pendapatan dan pengeluaran nanti saat biaya begitu banyak mereka butuhkan, aku akan merasa miskin dan kekurangan. Tapi siapa yang bisa menyangkal rezeki lain di luar akal manusia? Sebelum si bungsu lahir sudah begitu banyak rezeki yang tak terduga datangnya menghampiri kami. Lalu nikmat Allah mana yang bisa kami dustakan?
Time is irreversible and unpredictable, yet enjoyable
So.....enjoy your life as if u have a long age and true heaven inside...
Pelajaran moral dari tulisan ini : jangan takut untuk punya banyak anak, insyaAllah semua akan dimudahkan
Srowolan, akhir September 2011
Shofiyah Hafidhotul Mumtazah, si elok yang lahir dari rahim ibunda pada tanggal 20 Juli 2011 melalui sectio caesaria yang ke-4 -Alhamdulillah tanpa kendala berarti- , memberikan spirit cinta yang baru di aliran darah ibunda dan ayahanda. Menambah semangat kami untuk terus berkarya. Shofiyah, nama itu kami ambil dari nama salah seorang isteri Rasulullah yang berbudi, yang diharapkan dapat menjaga (hafidhotul) syahadah (syahidatul), keikhlasan (kholishotul), dan kekasih hatinya (syauqi) dengan penjagaan terbaik (mumtazah) yang dia punya hingga kelak menemui Sang Pemilik, aamiin.
Berbekal iman lah kehidupan ini akan kembali kujelang, perjuangan tanpa henti bersama empat anak dengan suami nun jauh di sana. Cengeng? Ah tidak juga. Toh semua pasti berlalu, karena pada dasarnya waktu melaju. Hanya bagaimana kualitas hari-hari yang dilalui itulah yang mesti dimaknai lebih baik lagi. Kunikmati hari-hari ini, membaui nafas dan aroma tubuh mereka saat ini, mendengar tangis mereka setiap saat saling bergantian dan bersahut-sahutan dan kadang mengesalkan namun mungkin suatu waktu di hari yang akan datang akan begitu kurindukan. Adalah sebuah pengorbanan saat moment-moment emas di kehidupan mereka berlalu begitu saja dalam lembaran hidup ayahanda. Sebuah keterasingan yang akan dirasa oleh si bungsu kami nanti. Disesali? Ah tidak juga. Bila masih diberi Allah waktu, hutang itu harus terbayar pada saat ada perjumpaan. Berkumpul kembali dalam keadaan normal itu harapan kami. Semua tergantung diriku –dalam sudut pandang manusia-, seberapa cepat selesai selama itulah waktu perpisahan. Menantang bukan?
Tidak semua nasib manusia sama suka dan dukanya. Banyak komentar ketakjuban kudengar dari kiri dan kanan melihat 4 anak dalam genggaman. Ah kupikir itu biasa saja, Allah pasti tahu seberapa besar kemampuan hamba Nya. Menjalani dengan lapang dada, walau emosi kadang meletup dengan tingkah kanak-kanak mereka. Ampuni hamba untuk ketidaksabaran ini, Rabbi. Aku harus banyak belajar menjadi ibu karena aku yakin bila menjadi ibu adalah sekolah berijazah, maka sudah terlalu banyak angka merah aku toreh di rapor tiap semesternya. Melatih si besar untuk lebih disiplin dan bertanggungjawab terhadap adik-adiknya, melatih si kecil untuk menyayangi kakak-kakaknya adalah pekerjaan harian yang rutin kulakukan. Apakah berpikir bagaimana menghidupi mereka kelak mengusik ku? Ah tidak juga. Aku yakin rezeki Allah berlimpah di langit dan di bumi, porsi untuk mereka juga sudah tersedia tinggal bagaimana menggapainya lewat doa dan usaha. Aku percaya rezeki itu tidak bisa diduga dalam hitungan kertas manusia. Bila dengan akal aku berhitung pendapatan dan pengeluaran nanti saat biaya begitu banyak mereka butuhkan, aku akan merasa miskin dan kekurangan. Tapi siapa yang bisa menyangkal rezeki lain di luar akal manusia? Sebelum si bungsu lahir sudah begitu banyak rezeki yang tak terduga datangnya menghampiri kami. Lalu nikmat Allah mana yang bisa kami dustakan?
Time is irreversible and unpredictable, yet enjoyable
So.....enjoy your life as if u have a long age and true heaven inside...
Pelajaran moral dari tulisan ini : jangan takut untuk punya banyak anak, insyaAllah semua akan dimudahkan
Srowolan, akhir September 2011
Wednesday, February 16, 2011
Andai...
Hari ini dirinya kembali berlalu, setelah kurang lebih 5 hari menggenapkan euforiaku atas nama cinta yang terus kami timbun dalam kesadaran semesta. Selalu, perpisahan itu meninggalkan jejak sunyi yang luar biasa menyengat. Menyisakan harap yang senantiasa tumbuh untuk sebuah perjumpaan pada episode berikutnya.
Hari-hari terasa cepat berlalu memaksa kami untuk terjaga bahwasanya setiap perjumpaan akan ada akhir, kebersamaan itu fana bila kita membacanya dalam bahasa materi yang kasat mata. Menarik balik tali masa, ah betapa tidak berdayanya hamba. Semua tidak akan terulang dalam cerita duka dan bahagia yang sama, walau rasanya masih tetap terulang sepanjang masa.
Cinta, bila diri masih diberi izin untuk membersamaimu hingga senja, aku ingin menjadi teman bicara yang menyenangkan di sisimu saat menikmati secangkir teh hangat pada suatu masa nanti, menjadi teman berbagi cerita saat hari beranjak menua dalam dekapan bintang gemintang di angkasa. Menjadi pendengar setia setiap huruf yang kau eja dengan mata cinta. Menjadi teman terbaikmu di setiap waktu.Mendekapi lelahnya jiwamu dengan sepenuh hatiku dan bersama menyaksikan buah hati kita bertumbuh melahirkan penerusmu. Kita akan menikmati senja itu sembari menyelami jiwa, mencari celah hati yang sekiranya butuh sedikit reparasi agar dapat merasakan bahwasanya kasih sayang itu tetap tergenggam kuat hingga kelak berjumpa kembali di akhirat.
Tapi sayang, kita tidak tahu seperti apa masa depan. Merancang dan menapaki jalan itu saja yang bisa kita lakukan. Entah, apakah rasa itu akan tetap sama setelah sekian lama, akankah impian itu terwujud pada masanya, rahasia itu semata ada pada Nya. Takdir. Biarlah itu yang akan membawa kita pada cerita akhir. Doa itu tetap sama Cinta, semoga Allah senantiasa mengekalkan rasa itu untuk kita.
Baik-baik di jalan yaa Mas…semoga Allah selalu menuntun langkah kita selalu menuju Nya. Aamiin..
Never bored to say this, I love you so much..more than words can say..:x
Sudut Poli, February 16th, 2011
Hari-hari terasa cepat berlalu memaksa kami untuk terjaga bahwasanya setiap perjumpaan akan ada akhir, kebersamaan itu fana bila kita membacanya dalam bahasa materi yang kasat mata. Menarik balik tali masa, ah betapa tidak berdayanya hamba. Semua tidak akan terulang dalam cerita duka dan bahagia yang sama, walau rasanya masih tetap terulang sepanjang masa.
Cinta, bila diri masih diberi izin untuk membersamaimu hingga senja, aku ingin menjadi teman bicara yang menyenangkan di sisimu saat menikmati secangkir teh hangat pada suatu masa nanti, menjadi teman berbagi cerita saat hari beranjak menua dalam dekapan bintang gemintang di angkasa. Menjadi pendengar setia setiap huruf yang kau eja dengan mata cinta. Menjadi teman terbaikmu di setiap waktu.Mendekapi lelahnya jiwamu dengan sepenuh hatiku dan bersama menyaksikan buah hati kita bertumbuh melahirkan penerusmu. Kita akan menikmati senja itu sembari menyelami jiwa, mencari celah hati yang sekiranya butuh sedikit reparasi agar dapat merasakan bahwasanya kasih sayang itu tetap tergenggam kuat hingga kelak berjumpa kembali di akhirat.
Tapi sayang, kita tidak tahu seperti apa masa depan. Merancang dan menapaki jalan itu saja yang bisa kita lakukan. Entah, apakah rasa itu akan tetap sama setelah sekian lama, akankah impian itu terwujud pada masanya, rahasia itu semata ada pada Nya. Takdir. Biarlah itu yang akan membawa kita pada cerita akhir. Doa itu tetap sama Cinta, semoga Allah senantiasa mengekalkan rasa itu untuk kita.
Baik-baik di jalan yaa Mas…semoga Allah selalu menuntun langkah kita selalu menuju Nya. Aamiin..
Never bored to say this, I love you so much..more than words can say..:x
Sudut Poli, February 16th, 2011
Saturday, January 22, 2011
Muhammad: Lelaki penggenggam hujan
Muhammad …aku rindu padamu. Kelu. Rasa yang menggerus-gerus hatiku saat larut pada Muhammad: lelaki penggenggam hujan, setebal beratus halaman. Karya unik yang membahasakan biografi laki-laki agung sepanjang masa itu dengan novel tentang seorang pencari kebenaran: Kashva dari Persia.
Sekilas, bila tidak mampu mencari pemisah yang nyata, maka orang akan beranggapan ada pencampuradukan fakta dengan fiksi. Tapi tunggu dulu, sejak awal di sampul buku yang tertera adalah Novel Biografi, yang artinya kita akan berhadapan dengan sebuah realita sejarah yang dibungkus atau dibumbu dengan fiksi semata. Buku ini haruslah ditulis dengan kehati-hatian tingkat tinggi mengingat penulis sendiri tidak memiliki latar belakang keagamaan yang kuat, namun insyaAllah tetap ‘tertuntun’. Wanta-wanti ibu penulis untuk ekses yang ditimbulkan dari buku ini sudah dikupas di awal oleh si penulis. Jawaban si penulis cukup diplomatis“Ibu, jika kelak ada orang yang salah paham dengan terbitnya buku ini, aku yakin itu terjadi karena mereka mencintai Kanjeng Rasul. Dan, percayalah Ibu, aku menulis buku ini disebabkan alasan yang sama.”
Sudah jelas batas antara nyata dan tidak nyata. Setiap bab akan banyak bercerita. Mari kita tinggalkan sejenak kontroversi sedikit itu. Kembali pada esensi yang hendak dibawa. Buku ini ditulis dengan cinta. Aku bisa merasakan karena air mata yang menghentak-hentak ruang rindu dapat terleleh karenanya. Aku membaca buku itu dengan hati. Bila ada kekurangan sana-sini biarlah ‘dosa’ itu ditanggung penulis. Cukuplah si penulis berpahala dengan bertambahnya kecintaan para pembaca terhadap nabinya setelah membaca buku tersebut. Sejarah badar, uhud, lika-liku kehidupan dan keseharian Sang Nabi bersama dengan keluarga dan sahabat-sahabat mulianya hingga romansa yang dilalui laki-laki agung itu dipaparkan dengan cukup berbeda. Mengalir. Tidak menggurui. Tidak formal. Tapi tetap santun dan agung. Buku-buku siroh lain pernah kubaca sebelumnya, tapi entah mengapa menurutku buku-buku itu kurang berkesan kecuali aku harus mampu belajar secara formal dari buku-buku siroh tersebut untuk menambah pengetahuan. Yah kupikir masing-masing buku tetap ingin memberikan hasil yang sama pada tiap pembacanya walau dengan cara papar yang beda. Penilaian itu kembali kita serahkan kepada para pembaca.
Lebih jauh, buku ini memberikan kesimpulan bahwa kehadiran lelaki agung itu sudah menjadi nubuwat di tiap agama besar dunia jauh sebelum lelaki itu dilahirkan. Sudut pandang seorang Parsi bernama Kashva yang diberangus kebebasan dan raganya oleh penguasa tapi tidak dengan pemikirannya atas kebenaran, diceritakan pada bab-bab yang berbeda. Romantisme yang tidak kesampaian menjadi bumbu cerita yang menemani perjalanan religius seorang Kashva menembus hutan belantara dan iklim yang menggila demi sebuah kebenaran yang dibawa sang lelaki penggenggam hujan.
Agama baru yang dibawa lelaki agung itu pun merupakan rahmat bagi semeseta alam. Sayang, tidak semua orang dapat merasakan keindahannya karena hidayah itu tidak dijelang. Bila anda ingin melihat gaya bahasa novel tanpa mengubah esensi sebuah siroh yang akan membedakan dengan buku-buku siroh lain, monggo silahkan dibaca buku ini…komentar anda di nanti…
Poli, 21 Januari 2011
Sekilas, bila tidak mampu mencari pemisah yang nyata, maka orang akan beranggapan ada pencampuradukan fakta dengan fiksi. Tapi tunggu dulu, sejak awal di sampul buku yang tertera adalah Novel Biografi, yang artinya kita akan berhadapan dengan sebuah realita sejarah yang dibungkus atau dibumbu dengan fiksi semata. Buku ini haruslah ditulis dengan kehati-hatian tingkat tinggi mengingat penulis sendiri tidak memiliki latar belakang keagamaan yang kuat, namun insyaAllah tetap ‘tertuntun’. Wanta-wanti ibu penulis untuk ekses yang ditimbulkan dari buku ini sudah dikupas di awal oleh si penulis. Jawaban si penulis cukup diplomatis“Ibu, jika kelak ada orang yang salah paham dengan terbitnya buku ini, aku yakin itu terjadi karena mereka mencintai Kanjeng Rasul. Dan, percayalah Ibu, aku menulis buku ini disebabkan alasan yang sama.”
Sudah jelas batas antara nyata dan tidak nyata. Setiap bab akan banyak bercerita. Mari kita tinggalkan sejenak kontroversi sedikit itu. Kembali pada esensi yang hendak dibawa. Buku ini ditulis dengan cinta. Aku bisa merasakan karena air mata yang menghentak-hentak ruang rindu dapat terleleh karenanya. Aku membaca buku itu dengan hati. Bila ada kekurangan sana-sini biarlah ‘dosa’ itu ditanggung penulis. Cukuplah si penulis berpahala dengan bertambahnya kecintaan para pembaca terhadap nabinya setelah membaca buku tersebut. Sejarah badar, uhud, lika-liku kehidupan dan keseharian Sang Nabi bersama dengan keluarga dan sahabat-sahabat mulianya hingga romansa yang dilalui laki-laki agung itu dipaparkan dengan cukup berbeda. Mengalir. Tidak menggurui. Tidak formal. Tapi tetap santun dan agung. Buku-buku siroh lain pernah kubaca sebelumnya, tapi entah mengapa menurutku buku-buku itu kurang berkesan kecuali aku harus mampu belajar secara formal dari buku-buku siroh tersebut untuk menambah pengetahuan. Yah kupikir masing-masing buku tetap ingin memberikan hasil yang sama pada tiap pembacanya walau dengan cara papar yang beda. Penilaian itu kembali kita serahkan kepada para pembaca.
Lebih jauh, buku ini memberikan kesimpulan bahwa kehadiran lelaki agung itu sudah menjadi nubuwat di tiap agama besar dunia jauh sebelum lelaki itu dilahirkan. Sudut pandang seorang Parsi bernama Kashva yang diberangus kebebasan dan raganya oleh penguasa tapi tidak dengan pemikirannya atas kebenaran, diceritakan pada bab-bab yang berbeda. Romantisme yang tidak kesampaian menjadi bumbu cerita yang menemani perjalanan religius seorang Kashva menembus hutan belantara dan iklim yang menggila demi sebuah kebenaran yang dibawa sang lelaki penggenggam hujan.
Agama baru yang dibawa lelaki agung itu pun merupakan rahmat bagi semeseta alam. Sayang, tidak semua orang dapat merasakan keindahannya karena hidayah itu tidak dijelang. Bila anda ingin melihat gaya bahasa novel tanpa mengubah esensi sebuah siroh yang akan membedakan dengan buku-buku siroh lain, monggo silahkan dibaca buku ini…komentar anda di nanti…
Poli, 21 Januari 2011
Wednesday, January 19, 2011
Menantimu pada suatu masa
Tuntas sudah bacaan Sang Pencerah ku hari itu. Setelah seharian keadaan memaksaku untuk tirah baring, yang kutanggapi dengan setengah hati karena masih berat rasanya meninggalkan tugas-tugas yang ada, tapi tak urung jua kujalani dengan sepenuh hati. Apalagi yang dapat membunuh sepi selain berkelana menembus batas lewat lembaran paperback setebal ratusan halaman ini? Akan aku ceritakan isi buku itu lain waktu. Saat ini aku ingin melakukan monolog dalam diam pada sebentuk makhluk yang kunamai Cinta.
Well, anakku cinta di dalam rahim dan kasih sayang ummi…, jangan nakal di dalam yaaa….kita istirahat hari ini untuk energi lebih banyak esok hari. Bersama-sama kita lalui sesulit apapun keadaannya, insyaAllah ummi yakin semua dapat kita jalani. Ummi tidak akan banyak mengeluh bila ekskresi hormon berlebih disebabkan dirimu sedang bertumbuh di ruang cinta ummi menyebabkan ummi mual dan gampang lelah.
Pada awalnya ummi pasrah melihat bercak dan aliran darah siang itu. Bila Allah berkehendak tentu engkau akan hadir di antara kami Cinta apapun yang terjadi, tapi bila Allah berkehendak lain, kekuatan apa yang bisa menahannya ?? Lalu semangat itu hilang saat membayangkan semua akan sia-sia setelah harap demikian kuat tertambat …tapi betapa tak terbendung rasa bahagia ummi saat melihat gambar dirimu di usg di siang keesokan harinya, Nak. Ummi harus kuat.., lihatlah dirimupun terlihat sehat dan kuat menjalani takdir itu. Artinya ummi harus lebih baik menjagamu hingga sampai hari kemarin dan cukup sehari itu saja kita berbaring seharian menikmati waktu demi dirimu ada, Nak.
Usia menjelang 33, anak ummi insyaAllah berjumlah 4 orang. Kebahagiaan yang tidak semua orang dapat merasakannya dan tidak semua orang dapat merasa bahagia karenanya. Walaupun abi tidak dapat mengikuti perkembanganmu setiap waktu karena jarak yang tidak memungkinkan, ummi yakin cinta Beliau padamu tetap besar, Nak. Ummi juga berusaha tetap tegar tanpa ada abi di sisi, karena ummi percaya Allah sebaik-baik penjaga kita. InsyaAllah, doa dan semangat yang abi salurkan lewat hari-hari mengalir menjadi tambahan energi untuk kita, Sayang. Pernah terbersit rasa tidak rela saat menjalani semua sendiri dan ummi merasa sepertinya abi hanya memetik buah dari ‘kesengsaraan’ yang ummi jalani, karena setiap ummi mengandung pada umumnya selalu dalam kondisi sendiri tanpa dibersamai oleh orang yang seharusnya ikut bertanggungjawab atas kejadian ini, tapi ummi tepis rasa itu, ummi harus belajar ikhlas menjalani semua. Ini takdir bahagia bukan sengsara. Ummi hanya butuh belajar lebih banyak ilmu ikhlas dan ilmu sabar, dimana kurikulumnya tidak akan pernah habis selama hidup untuk dipelajari. Ajari ummi selalu, Cinta...
Lihatlah Cinta, semua akan menyambutmu dengan suka cita. Ada cikwo Ais, kakak tertuamu yang begitu lincah, agak emosional, tapi di suatu masa dapat begitu emas hatinya. Ada cikngah Hafshoh, kakakmu nomor dua yang begitu sensitif perasaannya terhadap apapun juga, tapi juga penyayang. Ada atin Syauqi yang nanti lebih banyak menemanimu karena usia yang terpaut tidak begitu jauh, yang suara tangisnya sering memecah sunyi, tapi kelucuannya selalu menyegarkan hari-hari. Ada ummi dan abi yang akan selalu menjaga dan merawatmu dengan cinta. Ada among-yayi, yangti-yangkung, om-tante, semuanya akan menyambutmu dengan suka cita.
Jangan ragu untuk hadir di sini bersama kami, Cinta. Sungguh, hadirmu adalah berkah yang dipersembahkan bagi masa...
Well, anakku cinta di dalam rahim dan kasih sayang ummi…, jangan nakal di dalam yaaa….kita istirahat hari ini untuk energi lebih banyak esok hari. Bersama-sama kita lalui sesulit apapun keadaannya, insyaAllah ummi yakin semua dapat kita jalani. Ummi tidak akan banyak mengeluh bila ekskresi hormon berlebih disebabkan dirimu sedang bertumbuh di ruang cinta ummi menyebabkan ummi mual dan gampang lelah.
Pada awalnya ummi pasrah melihat bercak dan aliran darah siang itu. Bila Allah berkehendak tentu engkau akan hadir di antara kami Cinta apapun yang terjadi, tapi bila Allah berkehendak lain, kekuatan apa yang bisa menahannya ?? Lalu semangat itu hilang saat membayangkan semua akan sia-sia setelah harap demikian kuat tertambat …tapi betapa tak terbendung rasa bahagia ummi saat melihat gambar dirimu di usg di siang keesokan harinya, Nak. Ummi harus kuat.., lihatlah dirimupun terlihat sehat dan kuat menjalani takdir itu. Artinya ummi harus lebih baik menjagamu hingga sampai hari kemarin dan cukup sehari itu saja kita berbaring seharian menikmati waktu demi dirimu ada, Nak.
Usia menjelang 33, anak ummi insyaAllah berjumlah 4 orang. Kebahagiaan yang tidak semua orang dapat merasakannya dan tidak semua orang dapat merasa bahagia karenanya. Walaupun abi tidak dapat mengikuti perkembanganmu setiap waktu karena jarak yang tidak memungkinkan, ummi yakin cinta Beliau padamu tetap besar, Nak. Ummi juga berusaha tetap tegar tanpa ada abi di sisi, karena ummi percaya Allah sebaik-baik penjaga kita. InsyaAllah, doa dan semangat yang abi salurkan lewat hari-hari mengalir menjadi tambahan energi untuk kita, Sayang. Pernah terbersit rasa tidak rela saat menjalani semua sendiri dan ummi merasa sepertinya abi hanya memetik buah dari ‘kesengsaraan’ yang ummi jalani, karena setiap ummi mengandung pada umumnya selalu dalam kondisi sendiri tanpa dibersamai oleh orang yang seharusnya ikut bertanggungjawab atas kejadian ini, tapi ummi tepis rasa itu, ummi harus belajar ikhlas menjalani semua. Ini takdir bahagia bukan sengsara. Ummi hanya butuh belajar lebih banyak ilmu ikhlas dan ilmu sabar, dimana kurikulumnya tidak akan pernah habis selama hidup untuk dipelajari. Ajari ummi selalu, Cinta...
Lihatlah Cinta, semua akan menyambutmu dengan suka cita. Ada cikwo Ais, kakak tertuamu yang begitu lincah, agak emosional, tapi di suatu masa dapat begitu emas hatinya. Ada cikngah Hafshoh, kakakmu nomor dua yang begitu sensitif perasaannya terhadap apapun juga, tapi juga penyayang. Ada atin Syauqi yang nanti lebih banyak menemanimu karena usia yang terpaut tidak begitu jauh, yang suara tangisnya sering memecah sunyi, tapi kelucuannya selalu menyegarkan hari-hari. Ada ummi dan abi yang akan selalu menjaga dan merawatmu dengan cinta. Ada among-yayi, yangti-yangkung, om-tante, semuanya akan menyambutmu dengan suka cita.
Jangan ragu untuk hadir di sini bersama kami, Cinta. Sungguh, hadirmu adalah berkah yang dipersembahkan bagi masa...
Thursday, January 06, 2011
Ehmm..Rindu
Sunday, December 26, 2010
Harap dan Jawab
Perasaan malas menulis merupakan momok untuk seorang penulis..well, apa iya diriku sudah jadi penulis?? Mmm…sebuah mimpi yang entah kapan terwujud dalam karya nyata. Sebuah buku. Paling tidak. Biarlah untuk sementara aku menjauh dari keluh kesah yang sudah basi itu. Terlalu sering angan itu kuurai tapi kenapa hanya dalam mimpi ??
Mungkin sudah cukup dengan kebahagiaan apa-apa yang Allah beri saat ini. Jangan pernah berhenti untuk bersyukur Yuni…, syukur itu mahal harganya. Lihatlah semua pinta itu terkabul bahkan diberi bonus pula sama Allah. Harapan jadi dosen FK terkabul dengan diterimanya jadi CPNS periode tahun ini, lalu beasiswa dari Kementrian Pendidikan Nasional untuk sekolah spesialis ini, lalu tak habis pula Allah beri calon buah hati ke-4 ini. Walaupun untuk berkah yang terakhir ini jauh dari dugaan. Tetap semua tidak terjadi secara kebetulan, karena skenario Allah jualah semua terjadi. Sekali lagi, bukan untuk disesali. Lalu nikmat Allah manakah yang bisa aku dustakan ?? Suami hebat, anak-anak yang membanggakan, keluarga yang saling menyayangi….kesehatan…kemurahan rezeki…kemudahan urusan….
Aku tidak ingin berlebihan mengapreseasi semua itu. Bukan dengan potong sapi atau potong kambing, karena aku merasa itu awal untuk sebuah amanah yang berat. Menjadi abdi negara dalam mendidik calon-calon dokter masa depan lalu menjadi ibu untuk generasi baru yang akan kulahirkan nanti, sementara tiga orang lagi masih harus terus kubersamai. Dengan setumpuk tugas anak sekolah, setumpuk tugas ibu rumah tangga, setumpuk tugas sebagai hamba, semua mencari hak nya yang berserakan untuk dirangkum dalam keseimbangan. Berkejaran dengan waktu. Tanpa suami di sisi, tapi sungguh dukungan dan doa beliau dari jauh sudah cukup berarti.
Banyak hal yang masih belum rampung kupelajari. Kesabaran. Ketabahan. Pengorbanan. Kesetiaan. Keikhlasan. Kesyukuran. Semua adalah kata kunci mengarungi hidup ini. Bukan banyak yang kupinta, cukup kan aku dengan semua yang ada Wahai Pemberi Cinta, agara aku semakin paham bagaimana memaknai keterbatasan sebagai hamba. Terlalu banyak kekurangan diri terungkap saat berkah itu meluap membanjiri asa. Tetapkankan lah langkahku ke sana. Keababadian itu yang baka.
Srowolan, 25 Desember 2010
Mungkin sudah cukup dengan kebahagiaan apa-apa yang Allah beri saat ini. Jangan pernah berhenti untuk bersyukur Yuni…, syukur itu mahal harganya. Lihatlah semua pinta itu terkabul bahkan diberi bonus pula sama Allah. Harapan jadi dosen FK terkabul dengan diterimanya jadi CPNS periode tahun ini, lalu beasiswa dari Kementrian Pendidikan Nasional untuk sekolah spesialis ini, lalu tak habis pula Allah beri calon buah hati ke-4 ini. Walaupun untuk berkah yang terakhir ini jauh dari dugaan. Tetap semua tidak terjadi secara kebetulan, karena skenario Allah jualah semua terjadi. Sekali lagi, bukan untuk disesali. Lalu nikmat Allah manakah yang bisa aku dustakan ?? Suami hebat, anak-anak yang membanggakan, keluarga yang saling menyayangi….kesehatan…kemurahan rezeki…kemudahan urusan….
Aku tidak ingin berlebihan mengapreseasi semua itu. Bukan dengan potong sapi atau potong kambing, karena aku merasa itu awal untuk sebuah amanah yang berat. Menjadi abdi negara dalam mendidik calon-calon dokter masa depan lalu menjadi ibu untuk generasi baru yang akan kulahirkan nanti, sementara tiga orang lagi masih harus terus kubersamai. Dengan setumpuk tugas anak sekolah, setumpuk tugas ibu rumah tangga, setumpuk tugas sebagai hamba, semua mencari hak nya yang berserakan untuk dirangkum dalam keseimbangan. Berkejaran dengan waktu. Tanpa suami di sisi, tapi sungguh dukungan dan doa beliau dari jauh sudah cukup berarti.
Banyak hal yang masih belum rampung kupelajari. Kesabaran. Ketabahan. Pengorbanan. Kesetiaan. Keikhlasan. Kesyukuran. Semua adalah kata kunci mengarungi hidup ini. Bukan banyak yang kupinta, cukup kan aku dengan semua yang ada Wahai Pemberi Cinta, agara aku semakin paham bagaimana memaknai keterbatasan sebagai hamba. Terlalu banyak kekurangan diri terungkap saat berkah itu meluap membanjiri asa. Tetapkankan lah langkahku ke sana. Keababadian itu yang baka.
Srowolan, 25 Desember 2010
Thursday, November 04, 2010
Rapuh
(song by: Opick)
Detik waktu terus berjalan berhias gelap dan terang
Suka dan duka , tangis dan tawa, tergores bagai lukisan
Seribu mimpi berjuta sepi
Hadir bagai teman sejati
Di antara lelahnya jiwa dalam resah dan air mata
Kupersembahkan yang terindah dalam hidupku
Meski ku rapuh dalam langkah
Kadang tak setia kepada Mu
Namun cinta dalam jiwa hanyalah pada Mu
Maafkanlah bila hati tak sempurna mencintai Mu
Dalam dada kuharap hanya diri Mu yang bertahta
Detik waktu terus berlalu
Semua berakhir pada Mu
Detik waktu terus berjalan berhias gelap dan terang
Suka dan duka , tangis dan tawa, tergores bagai lukisan
Seribu mimpi berjuta sepi
Hadir bagai teman sejati
Di antara lelahnya jiwa dalam resah dan air mata
Kupersembahkan yang terindah dalam hidupku
Meski ku rapuh dalam langkah
Kadang tak setia kepada Mu
Namun cinta dalam jiwa hanyalah pada Mu
Maafkanlah bila hati tak sempurna mencintai Mu
Dalam dada kuharap hanya diri Mu yang bertahta
Detik waktu terus berlalu
Semua berakhir pada Mu
Membaca Merapi
Pagi itu…Sabtu, 30 Oktober 2010 merupakan hari bersejarah untuk ku dan penduduk Jogja pada umumnya. Lihatlah, warna kelabu mendominasi hampir seluruh jengkal tanah Jogja, sekelabu hati-hati kami saat itu.
Merapi tengah menggeliat dari tidurnya, terjaga untuk memenuhi titah Tuhannya dalam rangka merangkaikan takdir dengan kehidupan anak manusia. Sayang, kadangkala keselarasan yang hendak dijalin alam diartikan salah oleh kita. Sungguh, saat ini alam tengah mengaktualisasikan dirinya di tengah masa dan massa sebagai pengingat ampuh terhadap kesombongan manusia. Itulah kiranya perandaian yang lebih sesuai menurutku daripada bahasa merusak yang akan dikonotasikan jahat oleh semua pihak.
Pagi itu kembali kurasakan gigil yang menggigit dan mencubit kesadaranku tentang waktu. Kapanpun, akhir dunia itu adalah sesuatu yang baku dengan segudang cerita kengerian tak terperi tentang gunung yang tercerabut dan diterbangkan layaknya kapas tertiup angin. Terseret-seret pada segala kelemahan yang disandingkan pada perkasanya fenomena alam, membuat ku tak malu untuk meraung sepanjang perjalanan pagi itu menuju rumah sakit tempatku menuntut ilmu. Berkecamuk rasa di dada yang sulit untuk kuungkap lewat kata. Lunglai raga, letih jiwa. Helmku kabur..tertutup abu bercampur air mata yang memerihkan mata, namun tak seperih jiwaku saat itu. Aku mencoba lamat-lamat mengeja alam dengan bahasa keimanan yang tak seberapa ini.
Gunung itu..sekuat dan sehebat apapun tak sanggup memikul beban amanah menjadi pewaris bumi sesungguhnya..lalu manusialah yang terpilih pada akhirnya. Tapi hal tersebut tidak serta merta akan membuat manusia lebih digdaya… Lihatlah…manusia begitu tanpa daya saat awan panas menyapu kehidupan yang selama ini lelah dijaga dan diperjuangkan dengan keringat, air mata, dan seribu pengorbanan lainnya.
Jarak tempat tinggalku dengan sang perkasa itu tidak lebih dari 20 km, radius yang masih “aman” untuk saat ini, tapi entah esok hari. Sang Penguasa alam mempunyai skenario luar biasa untuk seluruh ciptaan Nya,pun termasuk beberapa gunung-gunung lain yang ikut tergelitik untuk beraktivitas yang sama dengan Merapi. Tentu semua ini terjadi dengan tujuan… yang kadang di luar kekuasaan manusia untuk memahaminya. Hingga tulisan ini kubuat, Merapi masih menggeliat entah sampai kapan.
Srowolan, Awal November 2010
Merapi tengah menggeliat dari tidurnya, terjaga untuk memenuhi titah Tuhannya dalam rangka merangkaikan takdir dengan kehidupan anak manusia. Sayang, kadangkala keselarasan yang hendak dijalin alam diartikan salah oleh kita. Sungguh, saat ini alam tengah mengaktualisasikan dirinya di tengah masa dan massa sebagai pengingat ampuh terhadap kesombongan manusia. Itulah kiranya perandaian yang lebih sesuai menurutku daripada bahasa merusak yang akan dikonotasikan jahat oleh semua pihak.
Pagi itu kembali kurasakan gigil yang menggigit dan mencubit kesadaranku tentang waktu. Kapanpun, akhir dunia itu adalah sesuatu yang baku dengan segudang cerita kengerian tak terperi tentang gunung yang tercerabut dan diterbangkan layaknya kapas tertiup angin. Terseret-seret pada segala kelemahan yang disandingkan pada perkasanya fenomena alam, membuat ku tak malu untuk meraung sepanjang perjalanan pagi itu menuju rumah sakit tempatku menuntut ilmu. Berkecamuk rasa di dada yang sulit untuk kuungkap lewat kata. Lunglai raga, letih jiwa. Helmku kabur..tertutup abu bercampur air mata yang memerihkan mata, namun tak seperih jiwaku saat itu. Aku mencoba lamat-lamat mengeja alam dengan bahasa keimanan yang tak seberapa ini.
Gunung itu..sekuat dan sehebat apapun tak sanggup memikul beban amanah menjadi pewaris bumi sesungguhnya..lalu manusialah yang terpilih pada akhirnya. Tapi hal tersebut tidak serta merta akan membuat manusia lebih digdaya… Lihatlah…manusia begitu tanpa daya saat awan panas menyapu kehidupan yang selama ini lelah dijaga dan diperjuangkan dengan keringat, air mata, dan seribu pengorbanan lainnya.
Jarak tempat tinggalku dengan sang perkasa itu tidak lebih dari 20 km, radius yang masih “aman” untuk saat ini, tapi entah esok hari. Sang Penguasa alam mempunyai skenario luar biasa untuk seluruh ciptaan Nya,pun termasuk beberapa gunung-gunung lain yang ikut tergelitik untuk beraktivitas yang sama dengan Merapi. Tentu semua ini terjadi dengan tujuan… yang kadang di luar kekuasaan manusia untuk memahaminya. Hingga tulisan ini kubuat, Merapi masih menggeliat entah sampai kapan.
Srowolan, Awal November 2010
Thursday, September 23, 2010
Kematian
Kematian…Betapa kadang kalimat itu terasa asing dan menakutkan. Saat diri menyadari bahwa hidup ada masanya, bahwa masa sendiri akan membatasi hak nya untuk tetap ada. Terputus sudah kenikmatan itu sampai pada titik dimana kita tidak mampu menyangkalnya. Kesepian panjang itu akan kita jelang tanpa tahu gelap atau benderangkah warna yang menyertai sepi itu. Hari ini, kembali kueja kematian di dalam episode hidup seorang bude…
Menyentakkan kembali langkah yang kadang lena pada dunia. Semua akan ada akhirnya. Perjumpaan, perpisahan adalah irama yang terjadi di luar kehendak kita. Ukuran-ukuran nisbi tidak akan pernah bisa memprediksi cepat atau lambat itu terjadi. Tiba-tiba dan menyesakkan. Siap atau tidak - meninggalkan dan ditinggalkan itu adalah kepastian. Sungguh, bukan kematian itu sendiri yang terkadang membuatku ciut nyali, tapi kehidupan setelah kematian yang masih misteri lah yang membuatku ngeri.
Bila kematian itu kubaca dalam keimanan yang belum seberapa ini, lunglai rasanya. Hasrat hati begitu besar untuk dapat sempurna menjalani dunia dalam rangka ketaatan pada Nya, tapi pada saat yang sama kemalasan terlalu berkuasa pada jiwa. Pemaafan diri menjadi tameng nafsu yang masih dengan sadar kuikuti. Munafikkah aku , Tuhan ? Sementara itu dengan senyap… mengendap… tanpa suara, dalam diam… perlahan….bayang kematian itu mengikuti. Lalu kemana aku akan berlari ?? Tidak ada satupun dinding yang dapat mengisolasi wujud dari maut. Aku tergugu. Berkecamuk rasa di dada tanpa kata.
Isakku di sore yang basah itu……
Tuhan, aku ingin saat kematian itu menyergap hanya nama-Mu lah yang terucap.
Thursday, August 05, 2010
Ikrar pada Masa
Pencuri kehangatan itu telah berlalu. Sepi. Air mata saat itu menganak merelakan sebentuk perpisahan yang harus dapat kami tangguhkan nyerinya. Kali ini aku tengah berkejaran dengan waktu. Klise.
Rekaman memori keindahan, kedukaan,saat-saat mata cinta itu bersinar, akan tetap jelas hidup dalam rentang ribuan kilo jarak yang memisahkan. Saat itu aku berpesan, tetaplah aku dikenang dalam kesendirian. Pesona sakinah yang lahir dari ketulusan kami simpan dalam belenggu kepercayaan tingkat tinggi di haribaan Sang Pemilik Janji. Tak perlu diucapkan, tapi jiwa telah saling menggenggam, itu lebih dari cukup untuk mengungkapkan betapa kesetiaan itu tidak serta merta dapat ditakar dan ditukar dengan materi yang relatif kadarnya.
Jarak bukan belenggu, waktu juga bukanlah perancu. Aku hidup dalam bayang-bayang cinta yang selalu dihembuskan disetiap desah napasnya, begitu pun sebaliknya. Sementara buah-buah cinta itu mengawal setiap langkah kami untuk tetap kembali. Pengorbanan menjadi kata ajaib yang memicu ketulusan untuk berbuat. Harganya mahal, pun memaknai perpisahan dengan kelapangan dada bukanlah perkara membalik telapak tangan. Menekan sekuat-kuatnya rindu yang menyeruak mencari ruang nafas lega di antara tarikan senyumnya sungguh tidak mudah. Berdamai dengan kesendirian raga yang sejatinya tertaut pada suatu raga yang lain, akan melelahkan pada suatu masa.
Pencuri kehangatan itu telah berlalu. Sementara tentu. Kutahankan semua rasa untuk sesuatu yang lebih besar pada akhirnya. Pada sebuah kalimat yang kupinjam dari Mbak Helvy, kuucap lagi padamu saat ini saat raga bertemu hanya di alam maya. Sungguh, aku hanya ingin menikahi jiwamu selalu.
PA, Awal Agustus 2010
Rekaman memori keindahan, kedukaan,saat-saat mata cinta itu bersinar, akan tetap jelas hidup dalam rentang ribuan kilo jarak yang memisahkan. Saat itu aku berpesan, tetaplah aku dikenang dalam kesendirian. Pesona sakinah yang lahir dari ketulusan kami simpan dalam belenggu kepercayaan tingkat tinggi di haribaan Sang Pemilik Janji. Tak perlu diucapkan, tapi jiwa telah saling menggenggam, itu lebih dari cukup untuk mengungkapkan betapa kesetiaan itu tidak serta merta dapat ditakar dan ditukar dengan materi yang relatif kadarnya.
Jarak bukan belenggu, waktu juga bukanlah perancu. Aku hidup dalam bayang-bayang cinta yang selalu dihembuskan disetiap desah napasnya, begitu pun sebaliknya. Sementara buah-buah cinta itu mengawal setiap langkah kami untuk tetap kembali. Pengorbanan menjadi kata ajaib yang memicu ketulusan untuk berbuat. Harganya mahal, pun memaknai perpisahan dengan kelapangan dada bukanlah perkara membalik telapak tangan. Menekan sekuat-kuatnya rindu yang menyeruak mencari ruang nafas lega di antara tarikan senyumnya sungguh tidak mudah. Berdamai dengan kesendirian raga yang sejatinya tertaut pada suatu raga yang lain, akan melelahkan pada suatu masa.
Pencuri kehangatan itu telah berlalu. Sementara tentu. Kutahankan semua rasa untuk sesuatu yang lebih besar pada akhirnya. Pada sebuah kalimat yang kupinjam dari Mbak Helvy, kuucap lagi padamu saat ini saat raga bertemu hanya di alam maya. Sungguh, aku hanya ingin menikahi jiwamu selalu.
PA, Awal Agustus 2010
Dwilogi Padang Bulan
Apa kabarmu hari ini, Kawan ?? Rasanya kepenatan itu membutuhkan jenak, sekedar jeda dalam mengarungi hidup. Kali ini kuajak Kawan untuk tersenyum sekaligus tertawa segar menikmati secangkir humor-humor khas nuansa melayu pada Dwilogi Padang Bulan – goresan budaya dalam cerita – yang dengan indah mengular di setiap goresan pena (baca: tuts keyboard.red) Andrea Hirata.
Buku ini adalah buku yang pertama kali kupegang saat memasuki toko buku diskon di kota Jogja ini di suatu sore yang basah. Sungguh, hanya dengan membaca nama pengarang aku bisa terhipnotis untuk membelinya.Begitu kuat daya pikat setiap kalimat yang lahir dari pikiran makhluk melayu satu ini. Ditambah lagi, lihatlah amboi.. uniknya sampul buku itu, depan-belakang oke, ibarat tarian dwimuka-nya Dhidhik Nini Towok.
Walaupun setting cerita tidak jauh berbeda dengan tetralogi sebelumnya, dimana pemeran utamanya adalah Ikal dan Maryamah ( nama untuk judul tetralogi yang paling terakhir keluar) ditambah dengan pemain-pemain baru lainnya, buku ini masih tetap layak untuk mendapat pujian. Tidak salah barangkali bila tetralogi dan dwilogi buku tersebut kelak digabung menjadi satu lalu lahirlah heksalogi (maksa.com).
Suamiku sampai heran saat melihatku tertawa terbahak-bahak tanpa henti saat membaca buku itu. Kalimat – kalimat yang menggelitik syaraf geli itu yang selalu ingin kucari di setiap barisnya. Humor yang mengalir tanpa paksaan tanpa basa-basi. Semacam candu menurutku. Hebat!
Sudah menjadi ciri khas, di setiap ceritanya, Andrea ingin berbagi semangat dengan para pembaca. Pesan moral selalu disampaikan dalam bahasa universal berbau Islam (tapi bukankah Islam sendiri bersifat universal ? Rasanya tidak perlu diperdebatkan). Semangat yang dapat membuat orang percaya bahwa sesuatu yang dirasa tidak mungkin bukanlah mustahil saat kita yakin bahwa kita mampu melakukannya. Bagaimana Enong alias Maryamah, seorang wanita perkasa baik fisik maupun mental berpantang untuk menyerah pada nasib (istilah yang umum dikonotasikan kepada nasib yang kurang beruntung) dituturkan dengan baik oleh penulis.
Penempatan sudut pandang yang berubah-ubah sesuka hati di setiap bab tanpa memberikan identitas jelas siapa pelakunya, membuat buku ini semakin unik menurutku. Layak kiranya karya spektakuler penulis sebelumnya seperti Laskar Pelangi dialihbahasakan agar dapat dinikmati oleh penduduk dunia di belahan bumi yang berbeda. Lihatlah, judulnya alih rupa menjadi Troops of Rainbow, gagah bukan kedengarannya??! Akan tetapi, melihat ruh latar belakang budaya melayu yang selalu ditiupkan pada buku-bukunya, sepertinya aku pesimis buku itu mampu memikat pembaca yang tidak mempunyai keterikatan ras yang sama dengan penulis. Hei, tapi tunggu dulu, aku jadi ingat buku-buku lain yang kubaca dengan latar belakang budaya beraneka ragam, mulai dari budaya Irlandia, Myanmar, Afganistan, Palestina, dan Pakistan, aku dapat kembali optimis hal tersebut bukanlah halangan yang berarti karena nyatanya aku tetap bisa tersihir dengan buku-buku tersebut. Bukumu dapat membawamu berkelana menembus batas, ruang, dan waktu. Membuatmu merdeka dari belenggu materi yang membatasi.
Kembali kepada isi buku Dwilogi Padang Bulan ini. Ada bagian yang sama sekali aku tidak pahami dan memang aku tidak berniat memahaminya yaitu tentang bagaimana permainan catur itu dijalankan dan dimainkan dengan berbagai macam model yang membingungkan. Aku buta sama sekali. Bila seorang GM membaca buku ini mungkin paham apa kelemahan teknis yang dibicarakan penulis tentang catur yang sekiranya dapat menjadi titik lemah penulis itu sendiri. Tapi aku tidak butuh itu, aku hanya butuh semangat yang mengalir di setiap kalimat penulis dalam mendramatisir setiap langkah-langkah catur yang sedang dimainkan dengan metafora-metafora di luar jaungkauan pikiranku. Itu sudah cukup. Walau sedikitpun aku tak tahu bagaimana perangkat-perangkat catur itu bekerja, anehnya aku dapat larut menanti dengan debaran dan keingintahuan seperti apa kelak si penulis menetapkan nasib karakter pemain-pemain catur tersebut, hingga kemudian Maryamah meraih kemenangan telak di atas papan catur yang serta merta meruntuhkan arogansi sang mantan suami. Satu lagi poin keunggulan di tunjukkan sang penulis.
Bumbu-bumbu romansa yang ditutup rapat dengan kesopanan budaya melayu menjadi bunga buku ini. Biarlah harap cinta itu tetap digantung dalam kesendirian bujang lapuk seorang Ikal. Tanpa berpanjang-panjang mengapreseasi buku ini, ada baiknya bila langsung Anda baca tanpa perlu bertanya.
Buku ini adalah buku yang pertama kali kupegang saat memasuki toko buku diskon di kota Jogja ini di suatu sore yang basah. Sungguh, hanya dengan membaca nama pengarang aku bisa terhipnotis untuk membelinya.Begitu kuat daya pikat setiap kalimat yang lahir dari pikiran makhluk melayu satu ini. Ditambah lagi, lihatlah amboi.. uniknya sampul buku itu, depan-belakang oke, ibarat tarian dwimuka-nya Dhidhik Nini Towok.
Walaupun setting cerita tidak jauh berbeda dengan tetralogi sebelumnya, dimana pemeran utamanya adalah Ikal dan Maryamah ( nama untuk judul tetralogi yang paling terakhir keluar) ditambah dengan pemain-pemain baru lainnya, buku ini masih tetap layak untuk mendapat pujian. Tidak salah barangkali bila tetralogi dan dwilogi buku tersebut kelak digabung menjadi satu lalu lahirlah heksalogi (maksa.com).
Suamiku sampai heran saat melihatku tertawa terbahak-bahak tanpa henti saat membaca buku itu. Kalimat – kalimat yang menggelitik syaraf geli itu yang selalu ingin kucari di setiap barisnya. Humor yang mengalir tanpa paksaan tanpa basa-basi. Semacam candu menurutku. Hebat!
Sudah menjadi ciri khas, di setiap ceritanya, Andrea ingin berbagi semangat dengan para pembaca. Pesan moral selalu disampaikan dalam bahasa universal berbau Islam (tapi bukankah Islam sendiri bersifat universal ? Rasanya tidak perlu diperdebatkan). Semangat yang dapat membuat orang percaya bahwa sesuatu yang dirasa tidak mungkin bukanlah mustahil saat kita yakin bahwa kita mampu melakukannya. Bagaimana Enong alias Maryamah, seorang wanita perkasa baik fisik maupun mental berpantang untuk menyerah pada nasib (istilah yang umum dikonotasikan kepada nasib yang kurang beruntung) dituturkan dengan baik oleh penulis.
Penempatan sudut pandang yang berubah-ubah sesuka hati di setiap bab tanpa memberikan identitas jelas siapa pelakunya, membuat buku ini semakin unik menurutku. Layak kiranya karya spektakuler penulis sebelumnya seperti Laskar Pelangi dialihbahasakan agar dapat dinikmati oleh penduduk dunia di belahan bumi yang berbeda. Lihatlah, judulnya alih rupa menjadi Troops of Rainbow, gagah bukan kedengarannya??! Akan tetapi, melihat ruh latar belakang budaya melayu yang selalu ditiupkan pada buku-bukunya, sepertinya aku pesimis buku itu mampu memikat pembaca yang tidak mempunyai keterikatan ras yang sama dengan penulis. Hei, tapi tunggu dulu, aku jadi ingat buku-buku lain yang kubaca dengan latar belakang budaya beraneka ragam, mulai dari budaya Irlandia, Myanmar, Afganistan, Palestina, dan Pakistan, aku dapat kembali optimis hal tersebut bukanlah halangan yang berarti karena nyatanya aku tetap bisa tersihir dengan buku-buku tersebut. Bukumu dapat membawamu berkelana menembus batas, ruang, dan waktu. Membuatmu merdeka dari belenggu materi yang membatasi.
Kembali kepada isi buku Dwilogi Padang Bulan ini. Ada bagian yang sama sekali aku tidak pahami dan memang aku tidak berniat memahaminya yaitu tentang bagaimana permainan catur itu dijalankan dan dimainkan dengan berbagai macam model yang membingungkan. Aku buta sama sekali. Bila seorang GM membaca buku ini mungkin paham apa kelemahan teknis yang dibicarakan penulis tentang catur yang sekiranya dapat menjadi titik lemah penulis itu sendiri. Tapi aku tidak butuh itu, aku hanya butuh semangat yang mengalir di setiap kalimat penulis dalam mendramatisir setiap langkah-langkah catur yang sedang dimainkan dengan metafora-metafora di luar jaungkauan pikiranku. Itu sudah cukup. Walau sedikitpun aku tak tahu bagaimana perangkat-perangkat catur itu bekerja, anehnya aku dapat larut menanti dengan debaran dan keingintahuan seperti apa kelak si penulis menetapkan nasib karakter pemain-pemain catur tersebut, hingga kemudian Maryamah meraih kemenangan telak di atas papan catur yang serta merta meruntuhkan arogansi sang mantan suami. Satu lagi poin keunggulan di tunjukkan sang penulis.
Bumbu-bumbu romansa yang ditutup rapat dengan kesopanan budaya melayu menjadi bunga buku ini. Biarlah harap cinta itu tetap digantung dalam kesendirian bujang lapuk seorang Ikal. Tanpa berpanjang-panjang mengapreseasi buku ini, ada baiknya bila langsung Anda baca tanpa perlu bertanya.
Wednesday, June 30, 2010
A Thousand Splendid Suns
Mariam. Seorang perempuan sederhana yang terlatih sejak dini menyembunyikan lara seberapapun beratnya. Yang mampu mengatupkan mulutnya tanpa bicara menghadapi deraan pedih jiwa dan raga. Aziza. Seorang perempuan cerdas namun kandas oleh takdir yang membawanya pada pengalaman hidup pahit dan berliku hingga kembali menemukan cinta’lama’ yang dimaknai dengan lebih dewasa.
Dua tokoh wanita dengan latar belakang budaya dan carut marut nya pemerintah Afghanistan tersebut digambarkan dengan apik oleh si pengarang buku, Khaled Hossein. Spektakuler. Bahasa yang dipakai adalah bahasa jiwa, yang menurutku hanya dapat dipahami oleh jiwa pula. Aku tersenyum saat suamiku berkomentar,” Baca sekilas aja ngga paham isinya ngomong apa.” Yah..gaya bahasa yang dituturkan penulis tidak serta merta akan disukai oleh tipe orang-orang lugas dan tidak bertele-tele dalam berbahasa. Kenyataannya buku itu mampu menyedot perhatianku sejenak dari aktivitas lain. Uff…tugas-tugas sekolah jadi agak tertunda hanya untuk buku itu.
Mariam dan Aziza dipertemukan oleh takdir, dimana keduanya masuk dalam skenario pengarang untuk menjadi isteri dari pria yang sama, seorang pria lanjut usia yang ter-stigma sebagai lelaki kasar, egois, dan tidak berperasaan. Keduanya terpuruk di dalam kooptasi seorang laki-laki yang hanya memberikan kontribusi kecil pada kebahagiaan hidup mereka, namun secara tidak langsung menjadi perantara bagi kuatnya jiwa dan kayanya pengalaman batin yang dipunya. Yah..kaya dengan derita.
Perasaan senasib membawa keduanya ke dalam ikatan jiwa yang indah, walaupun pada awalnya kebencian dan prasangka menjadi bagian dari perkenalan kedua wanita yang beda usia nya terpaut jauh tersebut. Tariq. Laki-laki cinta yang dibawa Aziza dalam setiap desah napasnya untuk beberapa saat hilang dari kehidupannya selama menjadi isteri Rasheed, tiba-tiba kembali muncul masih membawa cinta yang sama seperti sejak mereka kanak-kanak. Happy ending pada akhirnya untuk kedua wanita tersebut, tapi penetapan bahagia itu dijalani dengan cara berbeda. Aziza kembali bersatu dengan Tariq, sementara Mariam menemukan kebahagiaan lain di tiang gantungan karena menghilangkan nyawa Rasheed, matahari bagi Zalmai, buah hati Aziza dan Rasheed. Hukuman itu layak menurut Mariam, dan tidak ada penyesalan sesudahnya, karena dia pernah merasakan bahagia di dalam hidupnya saat bersama Aziza beserta anak-anaknya.
Well, hidup adalah skenario besar yang sudah ditetapkan Pencipta. Memaknai setiap peristiwa dengan kacamata ilahiyah adalah tuntutan untuk sebuah kedewasaan dalam arti sebenarnya. Hidup hanyalah pilihan sejak pertama kali mata kita mampu membuka hingga kegelapan pada akhirnya. Setiap pilihan dituntut sebuah pertanggungjawaban. Pertanyaannya, siapkah kita dengan pertanggungjawaban itu ??
Dua tokoh wanita dengan latar belakang budaya dan carut marut nya pemerintah Afghanistan tersebut digambarkan dengan apik oleh si pengarang buku, Khaled Hossein. Spektakuler. Bahasa yang dipakai adalah bahasa jiwa, yang menurutku hanya dapat dipahami oleh jiwa pula. Aku tersenyum saat suamiku berkomentar,” Baca sekilas aja ngga paham isinya ngomong apa.” Yah..gaya bahasa yang dituturkan penulis tidak serta merta akan disukai oleh tipe orang-orang lugas dan tidak bertele-tele dalam berbahasa. Kenyataannya buku itu mampu menyedot perhatianku sejenak dari aktivitas lain. Uff…tugas-tugas sekolah jadi agak tertunda hanya untuk buku itu.
Mariam dan Aziza dipertemukan oleh takdir, dimana keduanya masuk dalam skenario pengarang untuk menjadi isteri dari pria yang sama, seorang pria lanjut usia yang ter-stigma sebagai lelaki kasar, egois, dan tidak berperasaan. Keduanya terpuruk di dalam kooptasi seorang laki-laki yang hanya memberikan kontribusi kecil pada kebahagiaan hidup mereka, namun secara tidak langsung menjadi perantara bagi kuatnya jiwa dan kayanya pengalaman batin yang dipunya. Yah..kaya dengan derita.
Perasaan senasib membawa keduanya ke dalam ikatan jiwa yang indah, walaupun pada awalnya kebencian dan prasangka menjadi bagian dari perkenalan kedua wanita yang beda usia nya terpaut jauh tersebut. Tariq. Laki-laki cinta yang dibawa Aziza dalam setiap desah napasnya untuk beberapa saat hilang dari kehidupannya selama menjadi isteri Rasheed, tiba-tiba kembali muncul masih membawa cinta yang sama seperti sejak mereka kanak-kanak. Happy ending pada akhirnya untuk kedua wanita tersebut, tapi penetapan bahagia itu dijalani dengan cara berbeda. Aziza kembali bersatu dengan Tariq, sementara Mariam menemukan kebahagiaan lain di tiang gantungan karena menghilangkan nyawa Rasheed, matahari bagi Zalmai, buah hati Aziza dan Rasheed. Hukuman itu layak menurut Mariam, dan tidak ada penyesalan sesudahnya, karena dia pernah merasakan bahagia di dalam hidupnya saat bersama Aziza beserta anak-anaknya.
Well, hidup adalah skenario besar yang sudah ditetapkan Pencipta. Memaknai setiap peristiwa dengan kacamata ilahiyah adalah tuntutan untuk sebuah kedewasaan dalam arti sebenarnya. Hidup hanyalah pilihan sejak pertama kali mata kita mampu membuka hingga kegelapan pada akhirnya. Setiap pilihan dituntut sebuah pertanggungjawaban. Pertanyaannya, siapkah kita dengan pertanggungjawaban itu ??
Subscribe to:
Posts (Atom)
Kusemat cinta berbalut doa di kedalaman samudera hati orang - orang terkasih.......