Bersama hujan pula di musim panas yang basah, semangat menuntut ilmu di Sydney Uni memenuhi langkahku menyusuri Paramatta road yang ramai, melintas danau Victoria Park sambil memandang itik – itik hitam yang diam kedinginan, lalu berbelok menuju Arundel St yang mendaki. Sepanjang jalan aku mendengar kecipak air yang tertampar sepatu ketsku bila melalui genangan air. Setelah lepas dari canda hujan, aku menutup payung dan mengibaskan coat memasuki Mackie Building dimana proses pembelajaranku berlangsung.
Pada hujan di musim gugur yang basah dulu pernah kutitip rindu untuk orang-orang terkasih lewat jendela di rumah tinggalku nun jauh di benua Australia sana. Kala itu bersama hujan, kurasakan sepi yang sangat, hingga hanya mampu kumaknai dengan air mata. Mapple yang mulai berubah warna menjadi coklat muram, turun satu-satu seiring hujan dan angin yang dingin, sedingin hatiku. Waktu itu bulan Juni, dimana seharusnya banyak peristiwa indah yang ingin kunikmati bersama orang-orang tercinta di seberang sana, sehingga hujannya memberikan lebih banyak arti buatku. Perasaan asing, indah, sekaligus menyakitkan untuk dikenang dalam kesendirian melingkupiku saat itu.
Bersama hujan di musim dingin menggigit pula, ukhuwah kurasakan demikian indah. Rinainya yang halus menemani ku di jendela kereta cityRail menuju Lakemba, Bankstown dan Punchbowl dimana perasaan sepi itu mampu terobati dengan menyatunya hati-hati kami menuju Ilahi. Ada kehangatan yang kurasa di balik dinginnya. Hujan juga yang menemani Id kurban ku pada waktu itu. Penuh haru.
Ditemani hujan pula, pada musim semi yang basah, aku mengagumi ciptaan Nya di Bondi Beach yang indah bersama teman-teman penerima beasiswa Depkominfo dari Melbourne. Menikmati coastal walk menuju Bronte Beach di sela-sela gerimis halus. Belum pernah aku melihat gerimis yang begitu halusnya ibarat debu basah yang bersusun meyerupai tirai tipis. Aku hanya pernah menjumpai itu di Sydney. Sungguh, sepertinya aku akan merindukan hujan itu.
Kembali pada musim panas yang basah, hampir setahun kemudian aku menghabiskan sore yang basah menatap Darling Harbor yang bercahaya bersama suami tercinta dan janin tujuh bulan di dalam kandunganku, menyusuri tiap sisinya dengan bergumpal rindu yang tumpah ruah, setelah sekian lama berpisah . Bulan madu yang sempat tertunda itu rasanya mustahil terulang lagi. Bersama hujan pula kami terjebak di Monas,setelah pulang ke Indonesia. Menghitung detik dan menguji kesabaran dalam menyikapi waktu kapan kiranya hujan tropis ganas yang dapat membuat Jakarta banjir itu dapat berhenti.
Bersama hujan pula kurasakan bahagia, saat kembali menikmatinya dengan canda tawa bersama dengan keluarga. Tak ada yang lebih membahagiakan selain menikmati hujan bersama dengan orang-orang terkasih. Hujan jua lah yang mampu mengeluarkan sisi-sisi melankolisku sehingga mampu mengubah rasa menjadi penuh makna . Benarlah kiranya, bila pada hujan, rahmat dan kasih sayang Allah sedemikan besar tak terhingga.
2 comments:
sekarang aku nie yun yg lagi menikmati dinginnya udara sehabis hujan tanpa kekasih hati. hiks...jd tambah dingin rasanya :p
well...nikmati say tiap detik kebersamaan kita dengan keluarga
heheh..itulah bedanya ndah..Hujan nya gak sama :) Bertahun2 rasanya nunggu hujan kalo jauh dari orang2 tercinta. Lah..sekarang aku udah hampir setahun bareng kelauarga , gak berasaaa..., coba kalo sendiri..bisa bertahun2 rasanya.
Post a Comment