Saturday, December 26, 2009

Feeling Guilty

Pagi yang cerah untuk online. Buka Facebook. Inbox ada satu pesan. Wahh..ini pasti balasan dari temen yang kirim pesan kemaren.Buka ahh….!! Terkesiap…,ooohh…what kind of mess I’ve done hikss…, ada yang terluka karena diriku di facebook. MasyaAllah…sedih sekali, baru saja diriku mendapat teman baru, sudah kulukai perasaannya karena kekhilafan yang tidak aku sadari. Rasa bersalah itu trus menghantui….berlanjut hingga selesai sujud ku pada dhuha itu. Permintaan maaf bertubi-tubi kukirimkan pada teman baru ku itu. Harap-harap cemas, menunggu seperti apa reaksi beliau.

Sungguh, manusia itu gudangnya salah. Kita pernah terluka dan melukai orang lain baik sengaja atau tidak. Allah, hari Ini aku diingatkan kembali. Hari ini aku mendapat pelajaran berharga : Sebelum bertindak dengan lisan atau tulisan, pikirkan dulu baik-baik jauh ke depan apakah sekiranya hal tersebut patut atau tidak. Kadangkala hal sederhana dalam anggapan kita memberikan dampak yang tidak sederhana pada orang lain. Kecil menurut kita, besar menurut orang lain.Berpikirlah melalui perspektif orang lain, bukan keakuan yang dikedepankan. Ah…aku sendiri sering merasakan hal seperti ini. Terluka karena hal kecil yang dibuat oleh orang lain. Terlalu perasa. Cap itu yang diberikan suami untukku. Lalu setelah kejadian ini, aku tahu seperti apa rasanya. Betapa tidak adilnya aku.

Anyway, terimakasih Mbak..untuk mengingatkan. Seandainya pesan itu tidak ada, barangkali sampai detik ini aku masih merasa nyaman dengan kesalahan yang tidak kusadari itu.

(Teriring salam ukhuwah untuk mbak…
)

Friday, December 25, 2009

Scar of David, Scar of Palestine

Jenin. Shabra. Shatila. Nama-nama itu adalah prasasti duka yang yang didirikan di atas perjuangan, pengorbanan, air mata dan darah bangsa Palestina –pemilik sah tanah Pelestina -- puluhan tahun silam. Pahatannya dibangun oleh kebencian, penindasan, penyiksaan dan ketidakadilan oleh bangsa yang mengaku terbaik di antara bangsa lain. Yahudi.

Genosida yang dilakukan Yahudi pada kamp-kamp pengungsian tersebut menjadi latar belakang novel fiksi sejarah ini. Buku setebal 478 halaman yang mengalami cetakan pertama pada April 2009, terbitanHikmah , karangan Susan Abulhawa ini menorehkan luka, sama halnya dengan luka parut yang dimiliki oleh David, seorang Palestina yang ‘terpaksa’ menjadi Yahudi di luar kehendaknya. Di bagian cerita lain, keluarga David yang asli, keluarga Palestina, harus berjuang mempertahankan hidup di balik kekejian tentara Yahudi. Termasuk pelaku kekejian tersebut adalah David, si anak hilang yang ketika bayi direnggut oleh tentara Yahudi dari pelukan ibunya.

David alias Ismael bediri di antara dua identitas samar yang harus dilakoninya puluhan tahun , sebuah kenyataan hidup yang menyakitkan. Amal, si adik yang yang kelak dijumpainya, tertempa hari-hari penuh trauma. Kejadian demi kejadian hidup yang dialaminya membingkai erat karakter besinya di kemudian hari hingga ajal menjemputnya saat menjadi tameng peluru Yahudi bagi sang anak yang dicintainya dalam diam. Cinta itu dalam tak berdasar, jauh tak berbatas, namun sulit dipahami seketika itu juga.

Membaca gaya bahasa penulis (atau penerjemah ?? ) ibarat melihat film bergenre suspense yang membuat kita bersiap untuk kejutan-kejutan rasa. Latar belakang sejarah yang nyata diramu ke dalam fiksi mampu membuatku meneteskan air mata saat membaca bagian pembantaian Shabra dan Shatila. Kekejaman jenis apa yang tengah dipertontonkan bangsa barbar itu ?? Emosi ku teraduk. Ingin rasanya pedih itu kugenggam dan rasakan di sekujur tubuhku. Sungguh tak ada yang dapat diharapkan dari keadilan dunia yang ambigu ini. Tetaplah bersabar saudara-saudaraku. Allah Maha Tahu. Lukamu adalah lukaku. Doa selalu teriring di setiap sujudku.

Wednesday, December 09, 2009

Gak Penting !

I hate of being abandoned
Just because you used to see me everyday
You acted as if I deserve your ignorance
for a small thing which meant a lot to me
When you were entering your untouchable palace, everything was put at the back as useless- broken shoes

I hate of being abandoned whether or not your business is important
Sometimes it irritates me badly
What if ‘the small thing’ informed you ‘the great thing’ while you were abandoning me
Still was I about to be blamed

Being abandoned is such a misery to me
It can be obviously seen through my truthful eyes
Please be realized

If you are trying to be a good one for everyone you love
Not even once leave us behind

(for everyone abandoned by beloved one)

Sunday, December 06, 2009

Happy Milad to My Beloved Mas

Hari ini genap 33 tahun usiamu
Tidak muda lagi tentu
Sudah ada tiga permata kecil yang akan selalu membuntuti jejakmu
Menyusuri pahit, manis dan rupa-rupa rasa
yang semuanya tercipta berkat hadirmu di sini

Selaksa doa lahir dari cinta-cinta kami
Menguntainya indah lewat kecup sayang di pipi
Semoga abi panjang umur
Ucap si sulung

Kuteruskan dengan doa yang lain
Semoga terus jadi abi sholih kebanggaan kami
Tetap istiqomah menakhodai kapal kecil ini menuju ridho Ilahi
Menjadi naungan letih jiwa-jiwa kami
Menjadi ayahku hebat versi seluruh awak

Sudah 33 tahun, Mas
7,5 tahun di antaranya kita bersama
Masih panjang perjalanan kebersamaan itu
Bila Allah berkenan memberi waktu
Kami berharap
adanya kami
Akan menjadi pelecut semangat hidupmu
selalu...

Sungguh….
di antara riuh rendah jiwa-jiwa kami
kau begitu berarti

Happy milad abi tersayang, mas tercinta

The Road of Lost Innocence

Dari sekian banyak buku yang kubaca, sepertinya buku ini menempati peringkat teratas dalam hal waktu penyelesaiannya. Hanya cukup satu malam saja aku habiskan untuk membaca buku ini. Ada 2 alasan mengapa aku mampu menghabiskannya dalam satu malam, yang pertama karena buku ini tidak terlalu tebal, hanya 286 saja. Kedua adalah bahwa buku ini begitu menariknya menurutku. Sebuah kisah hidup tragis yang mampu diceritakan ulang, walaupun itu berarti pengarangnya seolah merobek kembali luka lama yang sudah kering. Nyeri sudah pasti.
The road of Lost Innocence buah karya Somaly Mam & Ruth Marshall, terbitan Hikmah, mengalami cetakan pertama pada bulan April 2009, akan tetapi aslinya buku ini terbit pada tahun 2005.

Buku ini bercerita tentang seorang perempuan dari suku terasing dan dikenal sebagai suku liar, suku Phnong, di pedalaman Kamboja. Perempuan ini tak mengerti asal usul hidupnya, karena hidup dan dibesarkan oleh alam hutan hujan tropis tanpa kedua orang tuanya. Nama Somaly Mam dilekatkan padanya oleh orang lain, yang kemudian di bawanya hingga dewasa sebagai suatu kebanggaan.

Somaly memulai hidup tragisnya saat dijual kehormatannya pada usia 10 tahun oleh orang yang dianggapnya kakek. Beberapa tahun sejak saat itu Somaly mengalami banyak kekerasan fisik dan seksual, terutama setelah menikah paksa di usia 14 tahun. Kehidupan tragis itu terus dibawanya hingga terjebak menjadi korban dalam perdagangan manusia, yang membuatku bergidik, miris, dan marah saat membacanya.
Anak-anak yang masih berusia 12 tahun ke bawah adalah target trafficking , karena mitos bodoh orang-orang di sana adalah, apabila meniduri seorang perawan maka vitalitas akan terjaga dan terhindar dari AIDS. Padahal bagi umumnya orang Kamboja yang juga memegang adat ketimuran, menjaga keperawanan dan kehormatan adalah sesuatu yang sakral. Sayangnya di sisi lain, mereka pun tak segan-segan menjual anak, isteri, atau keponakannya untuk menjadi barang komoditi terlarang itu demi segenggam uang. Ironi.

Kekerasan yang dialami Somaly berhenti dan kehidupannya menjadi lebih baik saat bertemu dengan lelaki berkebangsaan Prancis yang kemudian menikahinya. Belajar dari kegetiran hidup yang dialaminya Somaly bertekad untuk mengabdikan dirinya dalam membantu perempuan-perempuan lain yang mengalami nasib sama dengan dirinya. Diperdagangkan. Berkat perannya tersebut, Somaly mendapatkan penghargaan internasional Asturias untuk kemanusiaan dari pemerintah Spanyol.

Somaly adalah satu dari sekian banyak perempuan yang mampu bangkit dari keterpurukannya. Tekad , semangat dan motivasi untuk memperbaiki hidupnya selalu kuat tertanam dalam diri Somaly. Walaupun perubahan besar mengembalikan harga diri dan kepercayaan dirinya sendiri memakan waktu yang tidak singkat, Somaly tidak pantang menyerah. Kemauan kuatnya untuk lepas dari tirani perbudakan hawa nafsu menjadi orang baik-baik dan kemudian mengabdikan diri untuk membantu teman-teman senasib nya melalui aksi kemanusiaan yang rajin dilakukannya hingga saat ini. Melompat dari rumah bordil satu ke rumah bordil lainnya untuk tidak hanya ‘sekedar’ membagikan kondom sebagai sarana pencegahan penyakit menular seksual, tetapi juga membantu para perempuan yang ‘terjual’ dan ‘terpaksa’ untuk keluar dari tempat itu.

Saat ini Somaly menjadi presiden bagi yayasan yang dibangunnya : AFESIP (Aksi bagi perempuan dalam kesulitan). Percayalah, siapapun perempuan yang membaca buku ini pasti akan banyak bersyukur karena tidak mengalami penderitaan maha dahsyat itu. Tak terkecuali aku, dan doaku semoga anak-anak Indonesia terlindung dari perdagangan manusia yang keji itu.

Love in a Torn Land

Joana, seorang perempuan Kurdi yang berusaha memperjuangkan hidup dan cinta nya di tengah pertikaian etnis yang tak kunjung usai. Harapan untuk kebahagiaan dan kehidupan lebih baik harus dibayar mahal dengan pengorbanan yang tidak sedikit. Kematian dan penderitaan bangsa Kurdi di tengah pemerintahan Iraq yang kejam adalah pemandangan yang biasa di sekitarnya.

Kesalahan orang-orang sipil yang mengalami penderitaan itu hanyalah karena mereka dilahirkan sebagai etnis Kurdi, satu dari sekian banyak etnis yang terusir dari tanahnya sendiri. Setelah mengalami penantian panjang dan pasang surut sebuah kesetiaan terhadap kepastian cintanya yang luruh karena puisi bertubi-tubi, Joana mantap menentukan pilihan hidupnya untuk membersamai kekasih hati menjadi peshmerga, sebutan untuk pejuang Kurdi yang berjuang untuk kemerdekaan tanah airnya.

Perempuan keras kepala itu siap dengan resiko apapun yang akan dihadapi dalam perjalanannya menembus hutan dan gunung termasuk resiko hampir kehilangan penglihatannya akibat bom kimia yang ditebar pemerintah Saddam Husein untuk melenyapkan etnis yang dianggap sebagai duri dalam daging tersebut. Pada akhirnya, setelah perjuangan yang nyaris tak berujung itu, Joana dan Sarbast, suaminya, mendapatkan jalan untuk hidup di negara lain yang menjanjikan kehidupan lebih baik untuk mereka.

Kisah di atas adalah sebuah memoar tentang pilihan hidup, perjuangan, dan cinta yang mempunyai konsekuensi logis saat berketetapan hati menapaki satu-satu takdir yang menyelimutinya. Terlepas dari semangat reliji yang kurang dimiliki oleh seorang Joana – terlihat dari tak pernah sedikitpun disinggung ritual ibadah yang dilakukannya sebagai seorang muslim sepanjang cerita hidupnya– Joana adalah sosok perempuan tangguh dan tanpa keluh. Suatu sikap yang patut untuk kita tiru dalam menapaki semua cobaan hidup, yang mungkin lebih ringan dibanding cobaan Joana.

Walaupun ada bagian-bagian deskripsi tempat kurang tajam diungkap sehingga aku agak kesusahan melambungkan imajinanasi saat membacanya, seperti pada saat Joana mengembara di setiap desa dan hutan di wilayah Kurdistan, secara umum buku setebal 573 halaman, karangan Jean P. Sasson, terbitan Ramala Books dan mengalami cetakan pertama pada tahun 2009 ini dan dilengkapi beberapa ilustrasi, adalah buku yang patut untuk dibaca para pecinta buku.

Wednesday, November 25, 2009

Take Me Out (of this show)

Yak..sekarang giliranku untuk urun komentar tentang acara TV yang setiap akhir minggu ditayangkan oleh Indosiar dengan dipandu oleh Bung Choky yang elegan dan Mbak Yuanita yang selalu membuka bagian dada . Kadang ada juga pertanyaan iseng dalam hati melihat pemandu acara (apapun itu) yang menggunakan topless, adakah mereka tidak merasa risih, kedinginan atau masuk angin ??

Aku mulai mengenal acara ‘Take me/him Out Indonesia’ ini sejak bulan Ramadhan yang lalu.Itupun tanpa disengaja. Pertamanya malah bertanya pada suami acara apa ini saat beberapa kali kuperhatikan Beliau begitu seksama mengamati acara ini, berhubung tidak ada acara berita yang disukainya pada jam itu. Aku tidak perlu menceritakan seperti apa kronologis acara tersebut , selain karena mungkin rata-rata orang Indonesia yang bisa mengakses media elektronik menonton acara ini , aku pun tidak begitu intens mengikuti dan paham dengan alur acara ini sampai akhir. Aku hanya mengamati silih bergantinya laki-laki atau perempuan yang dipajang, dinilai, dan dipilih di atas panggung lewat lampu-lampu hidup dan mati. Dan sekilas melihat acara ‘dating’ yang disiarkan sore di akhir minggu, dimana beberapa pasangan tampak bercengkerama seperti sepasang pengantin baru yang berbulan madu ??? Sepertinya ada iming-iming hadiah yang cukup besar apabila ada pasangan yang bisa sampai ke jenjang lebih lanjut atau menikah. Hal ini tentu menjadi pemicu agar banyak orang yang mendaftar menjadi kontestan. Bagi para kontestan sendiri ada 2 keuntungan yang ingin diperoleh, syukur-syukur bisa 3, yaitu : hadiah, ketenaran (karena masuk tv) , dan dapat jodoh (seandainya beruntung).

Berawal dari rasa ingin tahu, aku mulai rajin memperhatikan acara ini walau tidak pernah secara keseluruhan. Dimana-mana, tema perjodohan itu selalu menarik minat orang untuk tahu lebih jauh tidak terkecuali diriku. Banyak komentar yang sering terlontar saat melihat para kontestan menentukan pilihan dimana paling umum terlihat adalalah mereka memilih pasangan hanya berdasarkan pada pandangan fisik sekilas, pekerjaan,atau kemapanan. Tak lebih. Aku dan suami hanya menggeleng-geleng melihat fenomena tersebut, karena paradigma yang mereka pakai sama sekali tidak sesuai dengan apa yang kami pahami selama ini. Paradigma yang berdasarkan keimanan dan tuntuan Islam. Yang lebih mengenaskan lagi adalah, bahwa orang-orang yang mencari pasangan itu bukanlah orang ‘biasa-biasa’ saja. Rata-rata mereka memiliki fisik dan kemapanan yang lumayan, tapi mengapa di usia-usia dimana seharusnya mereka sudah mapan berkeluarga, masih juga berkeliaran mencari jodoh hingga masuk ke acara itu. Aneh. Betapa jodoh itu misteri.

Pada akhirnya keimananku pula yang berbicara, saat pada acara ‘dating’ terlihat bagaimana mesranya pasangan-pasangan itu menjalani kehidupan mereka, layaknya pengantin baru. Hal ini membuatku jijik, bagaimanapun juga hubungan seperti itu sangat-sangat dilarang dalam agama. Mendekati zina. Tapi sepertinya media ingin mengaburkan opini tersebut melalui tayangan itu. Proses awal dan akhir acara yang jauh dari nilai pendidikan ini ,mau tidak mau membuatku gatal untuk mengkritisi ketidakpatutannya dari segi isi. Beberapa hal menjadi catatan pinggirku, sekaligus keprihatinan mengingat tipu daya untuk menjerumuskan anak-anak manusia ini justeru digandrungi dan didukung oleh umat manusia di Indonesia . Bisa dibayangkan bila banyak yang suka, rating akan meningkat. Semakin tinggi rating, semakin banyak pemasang iklan. Harga jual slot siaran niaga pun semakin mahal. Ini berarti semakin besar pemasukan. Sebaliknya, jika ratingnya terus-menerus rendah, dapat dipastikan sebuah stasiun televisi takkan bisa bertahan. Rating adalah hidup-mati stasiun televisi. Sehingga dampaknya adalah, bila rating tinggi mau tidak mau acara ini akan terus bertahan dalam rentang waktu yang cukup lama seiring dengan pengikisan nilai-nilai yang terjadi akibat acara tersebut.

Dari pengamatan yang aku lakukan selama beberapa waktu terhadap acara yang mentah-mentah menjiplak Eropa (Denmark) tersebut, aku yakin bahwa ini lah bentuk ghazwul fiqr (perang pemikiran) itu. Mengubah opini suatu kaum terhadap nilai (dalam hal ini nilai Islam) dengan mengemasnya dalam bentuk kemegahan dan keindahan semu mengatasnamakan bisnis hiburan. Berikut hal-hal yang menjadi catatanku:

1. Acara ini adalah bentuk eksploitasi baik terhadap perempuan. Hal ini terlihat dari penampilan para kontestan perempuan yang di make-over menjadi cantik dan seksi di setiap episodnya. Alih-alih ditutup rapat, tanpa malu-malu mereka mempertontonkan keterbukaan aggota tubuh di hadapan hadapan jutaan pasang mata di seluruh Indonesia. Para penonton pun lama kelamaan terbiasa deng an pemandangan pamer aurat seperti itu. Padahal menurut aturan agama hal tersebut dilarang. Inilah pembelokan opini tersebut. Dengan penampilan fisik itulah diharapkan laki-laki akan tertarik saat pertama kali melihat perempuan dan secara sadar, perempuan telah membiarkan dirinya ditaksir berdasarkan proporsi bentuk tubuh yang telah ditakdirkan oleh Allah.Murah bukan ?? Apakah ada seorang perempuan berjilbab suka rela masuk menjadi kontestannya?? Kita lihat saja nanti. Naudzubillahimindzaalik. Sempurna sudah ikhtiar industri bisnis hiburan tersebut bila hal itu terjadi.

2. Budaya hedonis disebarluaskan melalui acara ini. Ketertarikan itu didasarkan pada keduniawian semata, terlepas dari identitas agama yang sering disebutkan pada awal perkenalan. Semakin mapan seorang calon yang menjadi pilihan yang diperlihatkan melalui gambaran kehidupan sehari-harinya, semakin banyak pula lampu yang tidak mati. Semakin mudah bagi si laki-laki untuk memilih. Sebaliknya, jangan berharap banyak bila secara seorang laki-laki pas-pas an dalam hal finansial. Dia akan gagal mencapai peruntungannya.

3. Berzina-lah, kami akan mendukungmu ! Kalimat kasar itulah yang mungkin secara implisit diberikan para pendukung sms untuk pasangan-pasangan tersebut. Semakin jelas kemesraan yang terlihat saat acara ‘dating’ itu, semakin banyak orang-orang yang bersimpati dan mendukung pasangan tersebut, kans kemenangannya pun akan semakin besar. Lucunya lagi, orang tua para kontestan yang dihadirkan di panggung itu kadang-kadang tampil dalam bentuk orang tua yang paham agama, tapi mengapa mendukung tingkah laku anaknya yang melanggar agama ?? Dukungan yang luar biasa aneh lagi bila datang dari seorang yang dianggap sebagian rakyat sebagai pemuka agama, seperti beberapa waktu lalu ada seorang yang mengaku ‘ustadz cinta’ yang mengamini pasangan-pasangan di luar nikah tersbut. Apa jadinya agama ini, kalau ayat-ayat Allah diperdagangkan dengan harga yang murah ?

4. Sudahi tontonan ini. Jangan sampai kita tertipu dengan bungkus luar, tanpa bisa mem-filter isi di dalamnya. Kita jaga anak-anak kita dari tontonan yang tidak mendidik ini. Ubah chanel televisi kepada tontonan yang lebih sehat, dan matikan televisi bila tidak ada tontonan lain selain itu.

Alhamdulillah, proses penyadaran itu timbul dari masih hidupnya keimanan yang aku punya.
Apabila kemaksiatan itu di depan mata, ubahlah dengan tanganmu. Bila tidak bisa di ubah dengan tanganmu, maka ubahlah dengan mulutmu. Bila tidak bisa juga dengan mulutmu, maka ubahlah dengan hatimu. Dan itulah selemah-lemah iman. (Al-hadits)
Wallahu’alam bis showab.

Friday, November 13, 2009

November Rain

Ah..segar nian rasanya bau tanah yang terlumur air hujan, menguap memenuhi rongga dada. Hari ini, Alhamdulillah, setelah beberapa waktu mentari digdaya di singgasananya sepanjang hari sembari menyisakan panas dan haus, akhirnya datang juga tumpahan hujan kiriman Sang Penguasa langit di bulan November ini. Hujan dimana-mana sama, berupa butiran air yang tercipta dari kondensasi uap di awan lalu turun berkejar-kejaran yang kadang tanpa henti selama beberapa menit hingga beberapa jam. Tapi sungguh, cerita yang di bawa di setiap musimnya nya berbeda. Ada rupa-rupa rasa yang pernah menghinggapi diri seiring titik-titiknya yang menderu-deru.

Bersama hujan pula di musim panas yang basah, semangat menuntut ilmu di Sydney Uni memenuhi langkahku menyusuri Paramatta road yang ramai, melintas danau Victoria Park sambil memandang itik – itik hitam yang diam kedinginan, lalu berbelok menuju Arundel St yang mendaki. Sepanjang jalan aku mendengar kecipak air yang tertampar sepatu ketsku bila melalui genangan air. Setelah lepas dari canda hujan, aku menutup payung dan mengibaskan coat memasuki Mackie Building dimana proses pembelajaranku berlangsung.


Pada hujan di musim gugur yang basah dulu pernah kutitip rindu untuk orang-orang terkasih lewat jendela di rumah tinggalku nun jauh di benua Australia sana. Kala itu bersama hujan, kurasakan sepi yang sangat, hingga hanya mampu kumaknai dengan air mata. Mapple yang mulai berubah warna menjadi coklat muram, turun satu-satu seiring hujan dan angin yang dingin, sedingin hatiku. Waktu itu bulan Juni, dimana seharusnya banyak peristiwa indah yang ingin kunikmati bersama orang-orang tercinta di seberang sana, sehingga hujannya memberikan lebih banyak arti buatku. Perasaan asing, indah, sekaligus menyakitkan untuk dikenang dalam kesendirian melingkupiku saat itu.


Bersama hujan di musim dingin menggigit pula, ukhuwah kurasakan demikian indah. Rinainya yang halus menemani ku di jendela kereta cityRail menuju Lakemba, Bankstown dan Punchbowl dimana perasaan sepi itu mampu terobati dengan menyatunya hati-hati kami menuju Ilahi. Ada kehangatan yang kurasa di balik dinginnya. Hujan juga yang menemani Id kurban ku pada waktu itu. Penuh haru.


Ditemani hujan pula, pada musim semi yang basah, aku mengagumi ciptaan Nya di Bondi Beach yang indah bersama teman-teman penerima beasiswa Depkominfo dari Melbourne. Menikmati coastal walk menuju Bronte Beach di sela-sela gerimis halus. Belum pernah aku melihat gerimis yang begitu halusnya ibarat debu basah yang bersusun meyerupai tirai tipis. Aku hanya pernah menjumpai itu di Sydney. Sungguh, sepertinya aku akan merindukan hujan itu.


Kembali pada musim panas yang basah, hampir setahun kemudian aku menghabiskan sore yang basah menatap Darling Harbor yang bercahaya bersama suami tercinta dan janin tujuh bulan di dalam kandunganku, menyusuri tiap sisinya dengan bergumpal rindu yang tumpah ruah, setelah sekian lama berpisah . Bulan madu yang sempat tertunda itu rasanya mustahil terulang lagi. Bersama hujan pula kami terjebak di Monas,setelah pulang ke Indonesia. Menghitung detik dan menguji kesabaran dalam menyikapi waktu kapan kiranya hujan tropis ganas yang dapat membuat Jakarta banjir itu dapat berhenti.


Bersama hujan pula kurasakan bahagia, saat kembali menikmatinya dengan canda tawa bersama dengan keluarga. Tak ada yang lebih membahagiakan selain menikmati hujan bersama dengan orang-orang terkasih. Hujan jua lah yang mampu mengeluarkan sisi-sisi melankolisku sehingga mampu mengubah rasa menjadi penuh makna . Benarlah kiranya, bila pada hujan, rahmat dan kasih sayang Allah sedemikan besar tak terhingga.

.


Beloved Ones

Di buku hari-hariku kalian hadir
Menggoreskan cerita yang berbeda di setiap lembarnya
Namun tetap memberikan kesan yang sama
Kusebut itu bahagia

Ada bianglala tercipta saat membaca jejak
Yang kalian tinggalkan di setiap langkah
Ada suka ada duka menjelma
Kusebut itu cinta

Aku tak tahu apa yang terjadi
Bila kutapaki waktu ini sendiri
Pastilah tersisa lara
Yang susah kucari obatnya

Entah itu di dunia atau di kesudahannya
Bersama kalian ingin kubangun surga

Thursday, November 12, 2009

I Love You, You Love Me


I Love You, You Love Me (from the Barney cartoon show)

(Lyrics by Lee Bernstein [BMI])

I love you
You love me
We're a happy family
With a great big hug

And a kiss from me to you

Won't you say you love me too?



I love you
You love me
We're best friends

Like friends should be

With a great big hug

And a kiss from me to you

Won't you say you love me too?


Much loves for my beloved ones

Monday, November 09, 2009

Negeri Lima Menara

Satu lagi buku pembakar semangat telah aku baca. Kali ini adalah buah pena A. Fuad dengan judul Negeri Lima Menara, penerbit Gramedia . Buku setebal 416 halaman dan memulai cetakan pertamanya tahun 2009 ini adalah buku fiksi yang diangkat dari kisah hidup penulis yang berhasil mencapai mimpinya bersama dengan beberapa orang temannya untuk menginjak Trafalgar Square, London. Suatu impian yang nyaris mustahil untuk anak-anak daerah yang belajar di pesantren pada masa itu.

Perjuangan Alif Fikri, tokoh sentral buku ini, menapaki takdir –yang awalnya diterima dengan setengah hati - untuk belajar di sebuah pesantren di Jawa, tersuguh apik dalam buku ini. Percikan-percikan mimpi yang sering dibagi bersama lima orang teman-temannya di bawah menara masjid pesantren itu , yang kelak di kemudian hari menjelma menjadi sebuah kenyataan hidup yang sungguh manis untuk dikenang, terus menerus mewarnai dan melecut hari-hari mereka. Kehidupan di pesantren beserta suka dukanya adalah episode yang sebagian besar tergambar di dalam buku ini. Bermula dari mantra ajaib ‘Man jadda wajada ‘ (Siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan sukses ) yang sering diperdengarkan di pesantren tersebut hingga mau tak mau meresap senyap di setiap aliran darah para penghuninya, Alif dan teman-temannya mencoba melarung mimpi untuk menginjak bumi di benua yang berbeda-beda. Pada akhirnya mimpi itu pun tunai dengan suksenya mereka menapaki karir dan hidup masing-masing.

Gaya bahasa jurnalistik yang mengedepankan deskripsi membuat buku ini lebih hidup untuk dirasakan. Ada guyonan-guyonan jenaka yang bisa membuatku tertawa. Walaupun saat sudah berada di tengah, mulai ada sedikit kebosanan dengan isi cerita , hal ini tidak mengurungkanku untuk menuntaskan buku ini. Membaca buku ini, terjawab sudah apriori yang sering terjadi di masyarakat (termasuk diriku) tentang gambaran pesantren yang identik dengan kaum puritan, kampungan dan ketidak-higienis-an. Apa yang digambarkan penulis tentang pesantren di buku ini, menambah rasa hormatku dengan institusi bernama pesantren itu. Karena ternyata pesantren itu tidak sekolot yang aku kira, justeru banyak kelebihan-kelebihan yang bisa dibawa untuk bersaing dengan kehidupan global seperti sekarang ini.

Buku ini mengingatkanku pada buku Laskar Pelangi milik Andrea Hirata yang menginspirasi. Bagaimana ruh semangat, perjuangan ,kesungguhan, dan doa itu mampu membelokkan mimpi menjadi kenyataan. Hal ini lah yang membuatku tak pernah berhenti untuk bermimpi. Bahagia. Itulah yang kurasakan saat mimpi itu tiba-tiba nyata setelah tergantung lama menemani hari-hariku. Pada bagian akhir buku ini aku bisa merasakan getar semangat dan harap penulis merambati hatiku untuk kemudian menjelma jadi titik air mata saat membaca kata-kata indah : ‘Kun fayakun, maka semula awan impian, kini hidup yang nyata. Jadi jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apapun. Tuhan sungguh Maha Mendengar.’

Buku ini layak untuk dibaca ! Aku yakin beberapa waktu ke depan buku ini akan menjadi best seller.


Sunday, November 01, 2009

Sheila Marcia Hamil ??

Sudah lama sebenarnya aku ingin menulis tentang hal ini, tapi sepertinya waktu belum berpihak kepadaku hingga akhirnya tulisan ini kubuat. Ini bukan blog infotainment. Bukan pula blog gossip. Aku hanya tergelitik saat melihat fenomena keartisan beserta seluruh image yang ada di dalamnya melalui kacamataku. Ini hanya pendapat pribadi yang setiap orang mungkin berbeda. Kadangkala aku masih ternganga-nganga tak mengerti, mengapa aib yang terjadi sedemikian rupa, dapat dengan ringan diakui oleh seorang artis, yang notabene masih tinggal di Indonesia, yang katanya orang Indonesia itu masih memegang adat ketimuran dan moral yang tinggi.

Hamil bukanlah perkara yang aneh bila itu dialami oleh seorang wanita yang telah bersuami dan kehamilan nya terjadi setelah pasangan itu sah sebagai suami dan isteri. Tetapi hal itu seharusnya akan menjadi sangat aneh bila seorang wanita hamil tanpa ada suami –kecuali ibunda Siti Maryam tentu. Melihat hal ini, sudah sepatutnya kita menentang dan membenci perbuatan yang melanggar norma agama dan masyarakat itu.

Di semua agama yang kutemui di Indonesia ini, rasanya semua mengajarkan hal yang sama tentang moral dan menjaga kesucian. Apakah perkiraanku ini salah ? Sudah sedemikian tebalkah nurani kita, sehingga ambang peka kita terhadap nilai-nilai luhur menjaga kesucian itu menjadi demikian tinggi. Hingga saat nurani kita dicubit dengan kejadian itu, kita sama sekali tidak merasa nyeri. Semua media infotainment yang kutemui tidak ada yang secara eksplisit menghujat hal tersebut, malah mengesankan mereka membuat kejadian ini menjadi hal yang lumrah. Sehingga masyarakat yang seharusnya menjadi kontrol moral pun terlihat menganggap ‘biasa’ apa bila ada kejadian serupa menimpa orang-orang kebanyakan.

Dengan senyum dan bangganya si calon ibu yang berperut buncit menyatakan kebahagiaan dan kesediaannya mengasuh calon jabang bayi. Tak ada sedikitpun tersirat kesedihan dan penyesalan di sana. Tak ketinggalan pula ibu si artis yang urun rasa bangga dengan kehamilan putrinya. What ??!! Sehingga aku pun tidak merasa keberatan menulis langsung namanya tanpa perlu memakai inisial, sebagai contoh yang sangat tidak penting dan tidak pantas untuk ditiru. MasyaAllah. Gejala apakah ini sebenarnya ? Kejadian ini tidak sekali dua kita dengar dan lihat. Ada banyak kejadian serupa yang justeru membuat si artis bertambah tenar. Apakah ini juga dalam rangka mendongkrak kepopularitasan ? Pendapatku tentang permasalahan zina ini secara detail pernah kuungkapkan di posting beberapa waktu lalu.

Banyak faktor yang membuat kepekaan kita terhadap dosa itu semakin rendah. Semua berawal dari keluarga, dimana keluarga memegang peran kunci kontrol dan pendidikan moral anak. Nilai itu adalah pembiasaan dan penanaman yang terus menerus sejak kecil, tidak serta merta dapat melekat pada si anak. Kalaupun ada seorang anak yang menjadi baik dalam arti sebenarnya, tetapi berasal dari keluarga yang sama sekali tidak peduli dengan nilai moral, inilah yang disebut anugerah yang tak ternilai, karena hidayah itu disambutnya sepenuh hati. Kalaupun ada kejadian sebaliknya, orang tua nya baik dan beriman serta berusaha terus memperbaiki anak-anaknya, akan tetapi anak-anaknya tetap bermasalah - yang ini persentasenya tidak banyak- tentu ini adalah ujian untuk orang tua. Seperti halnya Nabi Nuh dan anaknya.

Berkaca pada ajaran Islam yang melingkupi segala aspek hidup, Allah meminta setiap anggota keluarga untuk menjaga diri dan keluarganya dari api neraka. Seandainya semua keluarga muslim Indonesia patuh tunduk dengan perintah itu, insyaAllah tidak akan ada korban Sheila Sheila yang lain. Wallahu’alam.

Three Cups of Tea

Buku ke-2 yang kubaca adalah Three Cups of Tea, buah karya Greg Mortenson &David Oliver Rein, penerbit Hikmah, setebal 629 halaman. Buku yang sudah memasuki cetakan ke-3 tahun 2009 ini adalah buku terlaris versi New York Times. Penyematan gelar buku terlaris bukanlah hal yang berlebihan menurutku, karena buku yang berisi kisah kemanusiaan yang menjembatani barat dan timur ini memang luar biasa. Buku ini juga merupakan kisah nyata yang diambil dari penulisnya sendiri, Greg Mortenson.

Seorang Amerika mantan pendaki gunung yang gagal memenuhi ambisinya menaklukkan K2,puncak tertinggi no.2 di pegunungan Karakoram Pakistan. Alih-alih mendulang kegagalan yang telak itu, Mortenson sukses ‘mendaki’ gunung lain yang belum pernah terbersit di benaknya. Gunung nurani. Saat tersesat dan menemukan sebuah dusun bernama Korphe di tebing Karakoram, Mortenson melihat fenomena yang mengguggah rasa kemanusiaannya. Anak-anak Korphe dengan telanjang kaki belajar di tengah lapangan salju tanpa guru ! Sontak, sebuah tekad terpatri di dadanya, bahwa dia akan membangun sebuah sekolah di dusun terisolir tersebut.

Kerja kemanusiaan itu bukanlah kerja ringan seringan ucapan janjinya pada kepala dusun Korphe, yang kemudian kelak dianggapnya sebagai keluarga kedua dan Korphe sebagai rumah kedua. Setelah memakan waktu yang tidak singkat, memberikan pengorbanan materi dan immateri yang tidak sedikit, sekolah yang menjadi perintis berdirinya sekolah-sekolah lain di daerah-daerah terisolir itu berdiri.

Sejak saat itu kehidupan Mortenson berubah. Dia dengan rela mendedikasikan seluruh hidupnya untuk melakukan kerja kemanusiaan di daerah Pakistan di tengah pertikaian kelompok –yang notabene muslim-, terlepas dari perbedaan keimanan dan latar belakang budaya yang dimilikinya. Keterbelakangan pendidikan disinyalir menjadi salah satu penyebab munculnya terorisme. Hal ini lah yang selalu didengungkan Mortenson pada elit-elit di negerinya, agar melawan terorisme dengan pendidikan bukan dengan kekerasan. Tapi tentu hal ini akan dianggap angin lalu mengingat Amerika sendiri bukanlah negeri para Santo.

Lalu kemanakah orang Islam berada ? Di saat orang ‘kafir’ mengejawantahkan nilai-nilai kemanusiaan dengan demikian indah, pemerintaI Islam di negeri itu justeru malah sibuk mengeluarkan dana tak terhingga untuk membiyai peperangan tak berujung antar orang Islam sendiri. Ironi.
Buku ini selayaknya dibaca oleh-orang yang masih mempunyai nurani dan yakin bahwa pendidikan adalah pintu gerbang untuk lari dari kebodohan.

Saturday, October 31, 2009

Wawancara yang Aneh


Inilah cerita itu. Kucoba kurangkai dalam untaian kata yang sudah beberapa pekan ini sepertinya enggan meninggalkan jejaknya di rumah mayaku nan indah ini. Dan hal ini memaksaku untuk mau tidak mau mengulas kembali kisah ‘pilu’ beberapa waktu lalu. Dengan separuh hati waktu itu aku menerima sebuah kenyataan bahwa harapanku untuk menjadi dokter spesialis kandungan harus berhenti di awal-karena suatu keharusan yang sulit untuk kuubah -- memakai bahasa penolakan halus yang dipakai salah satu staf bagian tersebut : berkarir tak harus di obgyn, bisa mencoba karir di bagian lain.Well, setelah beberapa waktu berlalu aku baru bisa memahami dan menyadari, berjuta hikmah yang tak ternilai harganya berselang antara setelah ‘hari’ itu dengan saat ini.

De javu. Itulah yang kurasakan saat kembali ujian akan kulakukan dengan memilih jurusan yang berbeda kali ini. Bagian yang gampang-gampang susah, karena aku harus bersaing memperebutkan 2 kursi dengan 11 pesaing lainnya. Entah inilah jalan itu atau ada jalan lain yang diberi oleh Allah, sampai detik ini pun aku tak tahu. Yang pasti, aku akan terus berusaha berdamai dengan takdirku. Indah bukan ?

Bersama salah seorang peserta ujian yang lain, sebut saja si X, aku memasuki sebuah ruangan dingin, dimana telah duduk seorang lelaki paruh baya, berkulit gelap, berkumis sedang, Pak Dosen, dalam senyum misteriusnya menyambut kami seolah tengah bersiap memuntahkan amunisinya untuk melakukan fit & proper test sebelum kami diterima menjadi pasukan berani belajar di bagian kulit dan kelamin ini. Bagian kecil ,tapi peminatnya banyak dan menurutku bagian ini cocok untuk ibu berbuntut 3 sepertiku mengingat ritme kerja bagian tersebut yang masih memberi kita kesempatan untuk menyisakan waktu dengan keluarga. Halo ??!! Menyisakan waktu ?? Tepatkah istilah itu ?

Detik dan menit berlalu, pertanyaan awal lebih banyak ditujukan pada si X. Hingga sampai pada pertanyaan yang jawabannya cukup menohokku sehingga membuatku limbung sesaat. Dialog yang kurekam kemudian kurang lebihnya demikian :


Pak Dosen :“Siapa yang akan membiayaimu nanti selama pendidikan?”

Si X : “ Saya dan orang tua, Dok.”

Pak Dosen : “ Kok masih orang tua yang membiayai ?

Si X : “Ya, karena saya belum mampu untuk membiayai semua, Dok.”

Pak Dosen: “ Berapa? 50-50??” Pertanyaan menyelidik itu berlanjut.

Si X : “ Yah, saya kurang dari 50, Dok.Orangtua saya yang lebih banyak membiayai”

Pak Dosen : “Orang tuamu bekerja apa?”

Si X : “Bapak saya pegawai negeri, ibu saya pengusaha”

Pak Dosen : “ Pengusaha apa ?? “

Si X : “Pengusaha kebun buah, sawit, dan karet.” (Menjawab dengan antusias).

Pak Dosen :“Ayahmu umurnya berapa ?” Pak Dosen bertanya kepada si X dengan lembut tetapi dengan nada menusuk dan dingin sesuai dengan gaya Pak Dosen selama ini yang kukenal sebagai mantan dosenku saat S1 dulu.

Si X : ( Terdiam lama, dan berpikir )”Sepertinya 54 tahun, Dok. Soalnya 2 tahun lagi pensiun.” Si X menjawab dengan agak ragu. Jawaban ini adalah hal pertama yang mengusik rasa ke-anak-anku.

Pak Dosen : “Trus Bapakmu lahir kapan? Tanggal berapa, tahun berapa ? “ Pak Dosen memuntahkan pertanyaan lanjutannya.

Si X: ( Sedikit bingung dan grogi, mencoba mengingat angka)“ Nggak tahu, Dok !

Gubrakz! Jawaban kedua ini tiba2 mengiris-iris hatiku. Nyeri. How come??!! Bagaimana mungkin dia melupakan jejak lelaki yang telah banyak berkontribusi dalam hidupnya sejak sebelum lahir hingga detik dia berdiri saat ini. Lelaki yang telah menorehkan banyak cerita di kehidupannya sehingga membuatnya mampu tetap bertahan hidup, terlepas dari carut marut atau tidaknya hubungan dia dengan si bapak. Mengapa yang diingat hanya kekayaan orangtuanya dan usia pensiun Sang Bapak – saat dimana pendapatan sang Bapak akan berkurang nantinya.

Materialistis.Hedonis.Narsis.Kurangajaris. (Istilah terakhir adalah ciptaanku). Beragam istilah itu terbersit di benakku , yang mungkin akan diamini oleh Pak Dosen yang masih sibuk dengan senyum misteriusnya.

Detik itu, terbayang di benakku wajah laki-laki tua termakan usia, disana-sini penuh kerut dan gelambir, rambut putih pendek dengan bagian tengah nyaris botak karena dulunya sangat hobi meminta sang anak untuk mencabut ubannya , mata sipit,dan senyum manis pamer barisan gigi putih rapi yang akan kuingat sepanjang hidupku. Sungguh, barangkali tidak banyak cerita indah yang bisa kukenang selama kebersamaan dengan Beliau di masa lalu. Tapi kesungguhan, kasih sayang dan pengorbanan Beliau untukku, anak perempuan satu-satunya akan tetap hidup di urat darahku. Aku sayang papaku. Aku ingat ulang tahun Beliau. Aku ingat tanggal dan tahun Beliau lahir. Aduhai, seburuk-buruk orang tua kita, jangan pernah kita melupakan mereka. Sebesar apapun materi yang kita beri untuk mereka tidak akan dapat menggantikan segala hal yang sudah dilakukan untuk kita.

Perasaan gempita kesedihan itu perlahan tapi pasti merambati sekujur tubuh ku, berakhir dengan panas nya mataku, hingga tak sadar keluarlah isak kecil dari mulutku. Susah payah sekali rasanya menahan air mata itu untuk tidak jatuh apalagi di saat genting seperti sekarang ini, hingga aku merasa sepertinya mulutku serong ke kiri dan ke kanan demi menjaga tegak lurusnya wajahku yang sudah basah. Aku hanya mampu berdialog dengan batin, walau rasanya saat itu aku ingin berteriak keras sekali. Berteriak di telinga Si X, mengumpatnya, menasihatinya, entah apapun itu. Kelu.

Aku hanya mampu tergugu, mengumpulkan seluruh kekuatanku setelah terdiam cukup lama meredam isak, agar mampu kembali menjawab pertanyaan Pak Dosen. Saat Beliau bertanya kenapa mewek, aku hanya menjawab lirih, “Saya ingat tanggal lahir Bapak saya, Pak.” Barangkali logikanya Pak Dosen terusik, bagaimana mungkin mengingat tanggal lahir bisa membuat menangis ?? Tak mungkin rasanya aku curhat panjang lebar mengklarifikasikan apa -apa yang aku rasakan saat itu. Biarlah Pak Dosen beranggapan aku berurai air mata karena membayangkan biaya pendidikan yang mahal nantinya, yang tak sanggup kutanggung karena aku miskin sekali. Biarlah Pak Dosen beranggapan aku tengah sakit gigi yang sedemikian hebat hingga membuatku bersedu sedan. Terserah apapun prasangka yang ada di benak Pak Dosen dan teman wawancaraku. OMG, wawancara ini sungguh aneh, aku seperti tengah melakoni kisah drama pilu yang menguras airmata dan menghentak-hentak nuraniku.

Hingga selesai wawancara itu, mataku belum kering sepenuhnya. Ternyata aku masih harus mendengar another surprise dari teman wawancaraku. Saat ada pertanyaan :

Pak Dosen : “Bapakmu isterinya berapa ?” Pak Dosen setengah bercanda.

Si X :” Setahu saya sih satu, nggak tau kalo ada yang lain yang saya nggak tahu !” (Menjawab dengan ringan sambil tersenyum kecil ). Hah ??!!! Gubrakz again. Seandainya aku berbentuk kartun, pasti aku sudah pingsan dua kali dengan bintang-bintang di atas kepalaku. Aku hanya mampu istighfar dalam hati. Tega nian kau, Nak. Huh !...

Radioputro, medio Oktober2009


Angela's Ashes


Beberapa waktu yang lalu secara sadar aku telah menggantikan aktivitas blogging dan facebooking dengan membaca. Kegiatan yang dulu pernah kucintai pada suatu masa ini cukup menyita waktuku, sehingga memunculkan syaraf engganku menyentuh internet dan isinya. Kucuri waktu di sela-sela mengurusi keluarga untuk membaca buku, bahkan saat menyusui si kecil yang tidak bisa protes melihat ibunda asik memegang buku, sementara dia meringkuk di bawah ketiak memuaskan dahaga. Tak pelak, karena membaca buku ini terpotong-potong di antara rengekan, tangisan, dapur dan tetek bengek lainnya, maka butuh waktu kurang lebih seminggu untuk menuntaskan buku ini. Waktu yang terlalu lama sebenarnya buatku untuk mencerna sebuah buku. Bukan hal yang berlebihan bila aku terus menerus membaca buku, karena memang sampai detik ini aku masih belum punya aktivitas ‘lain’ yang berbau aktualisasi diri atau bahasa sederhananya masih 'jobless'. Cukup kusyukuri, karena banyak juga yang ternyata menginginkan semboyan 'everyday is holiday' ini. Hal ini juga dalam rangka membalas bolongnya waktu kebersamaanku dengan keluarga di tahun yang lalu karena harus menjadi mahasiswa S2 di benua Aborigin. Masih belum impas barangkali. Ada lembaran hidup anak-anakku yang pernah kosong dari sentuhan ibunya.

Buku pertama yang kubaca adalah Angela’s Ashes. Judulnya menarik. Kalau diartikan ke bahasa Indonesia kurang lebih Abu nya Angela. Buku karya Frank McCourt setebal 616 halaman yang dinobatkan sebagai international bestseller dan dianugerahi penghargaan Pulitzer (suatu penghargaan bergengsi internasional di bidang jurnalistik) telah memikat hatiku. Thumb up buat Pak McCourt, yang mengangkat kisah hidupnya dalam buku ini serta sekaligus sebagai tokoh sentral buku ini. Angela sendiri adalah nama ibu McCourt, yang apabila merasakan suatu kesedihan mendalam dia akan berbaring menghadap perapian sambil menatap abu perapian yang telah padam.Dari sinilah judul buku ini berasal.

Ilustrasi perjalanan hidup McCourt sebagai seorang anak Irish yang miskin, menderita dan agak religius tergambar apik dalam bahasa buku ini. Menyikapi kemiskinan dengan kepolosan kanak-kanak, yang tak berharap terlalu muluk kecuali dapat memenuhi kebutuhan yang paling mendasar sebagai makhluk yaitu makan. Kelaparan jua yang memaksanya untuk menjadi pencuri kecil-kecilan, atau melakukan ketidakjujuran 'ringan' demi mengganjal perutnya dan adik-adiknya.


Membaca buku ini, kita seperti di ajak masuk ke dimensi yang sungguh sulit dibayangkan di tengah pertikaian yang tak kunjung usai antara Irish dan British.

Latar belakang budaya yang berbeda dengan adat ketimuran tapi membungkus kesamaan nasib sekelompok umat di seluruh dunia yang menyandang predikat miskin dalam arti sebenarnya , membuatku gemas. Ayah pemabuk dan menghabiskan sebagian besar uangnya untuk sejenak melupakan permasalahan hidup dengan minum minuman keras –yang notabene sudah membudaya di tempatnya. Ibu yang satu persatu kehilangan anak-anaknya yang mati secara tragis dalam pelukan sendiri karena kebodohan dan ketidakpedulian yang keterlaluan. Keluarga besar yang tidak bisa saling peduli dan mengasihi di tengah penderitaan, serta keangkuhan para elit religi yang mendiskriminasi orang-orang miskin seakan tidak layak masuk surga padahal mereka seharusnya menjadi rujukan umatnya. Semua itu adalah hal-hal menyedihkan yang di bawa McCourt menemui pembacanya. Miris.

Tapi di balik semua itu, di balik kenakalannya sebagai remaja, yang secara sadar melepas keperjakaannya di usia belum genap 17 setelah sebelumnya secara vulgar menceritakan hobinya mencari kenikmatan seksual dengan cara manual, McCourt adalah sosok yang punya mimpi, tekad dan usaha. Kegemarannya membaca sejak kecil adalah salah satu modal besar yang akan menuntunnya menemukan jalan sebagai penulis kelak. Semangat dan mimpi untuk lepas dari belenggu kemiskinan itulah kiranya yang patut kita acungi jempol. Dia tidak ingin bersahabat dengan kemiskinan dan kebodohan seumur hidupnya. Mimpi itulah kelak yang melarungkan asa McCourt untuk mengadu nasib di belantara Amerika. Sebuah buku yang memang layak untuk dibaca. Lalu, kemanakah saat ini kita larungkan mimpi-mimpi yang kita punya ??

Thursday, October 01, 2009

Opera Dapur


Kesedihan karena gempa di Sumatera Barat sedikit terobati dengan tingkah laku putriku sore tadi. Kami, aku dan suami, baru saja mendapat 2 ekor ikan nila yang besar-besar, kira-kira 2 kilo seekor. Kami (baca: suami) menangkapnya memakai jaring kecil di kolam ikan milik mertua yang karena kemarau mengalami penyusutan sehingga menjadi dangkal. Air kolam akan penuh saat musim penghujan sehingga untuk mendapatkan ikan kami biasanya memancing. Bukan perkara yang gampang untuk memancing, karena ikan-ikan di kolam itu kurang doyan dengan kail beserta isinya . Apakah mereka telah banyak belajar dari pengalaman pendahulunya, apabila kau mendekati kail itu artinya hidupmu akan berakhir, kalau tidak di penggorengan , rebusan air, atau di dalam daun-daun yang membuatmu bertransformasi menjadi pepes. Ditambah lagi aku dan suami bukan tipe orang yang setia menguji kesabaran di depan kolam sembari bergelut dengan nyamuk-nyamuk kebun yang nakal.

Setelah ikan itu ditangkap dan dibersihkan, tibalah waktunya untuk dimasak. Kali ini sebagai teman berbuka puasa, aku meminta pada suami untuk digoreng. Terbayang goreng ikan nila bersama sambal mentah, akan menerbitkan air liur kami. Untuk melihat apakah air liur itu bertambah volumenya, cukup dengan mengajak suamiku berbicara tentang niat untuk memakan ikan goreng itu beserta sambal, maka akan ada kecipak air liur yang mencair dari suaranya saat menimpali perkataanku. Itu artinya air liur telah bertambah volumenya. Suamiku menggoreng ikan, dan saat itulah putriku menghampiri. Lalu terjadilah percakapan ringan antara ibu, ayah, dan anaknya. Bermula dari si adik yang pergi dengan kakek dan neneknya ke sebuah acara tanpa menyertakan si kakak, maka timbullah dialog-dialog di bawah ini :

Anak : “ Adik pergi kemana, Mi ?” ( bertanya ingin tahu, padahal seharusnya pertanyaan itu diajukan jauh sebelum nya, karena si kakak pulang sekolah sudah lama ).

Ibu : “ Kok baru nanya adik kemana ? Bukannya dari tadi ditanyain ? “ (Si Ibu menjawab sambil mengupas sebuah labu siam yang akan dikorbankan ke dalam air mendidih, sebagai teman makan ikan ).

Anak : “ Habis nggak kangen ,sih..” (si anak menjawab dengan ringan, sekedar info bahwa kadang-kadang kakak dan adik ini kurang akur dalam keseharian, sehingga yang satu kadang lebih suka ditinggal yang lain, terutama bila sedang bertengkar).

Ibu: “ Tapi kalo ummi pergi gak bilang kok suka ditangisi ?” (si Ibu bertanya lagi, sambil asyik memotong labu siam muda menjadi empat bagian).

Anak : “ Ya iyalah, kan ummi yang melahirkan Cikwo (panggilan untuk kakak). Jadi cikwo kangen kalo ummi pergi.” (si Anak menjawab dengan nada yang begitu meyakinkan, dan cukup mengharukan si ibu. Jawaban ini, tentu saja mengusik eksistensi si ayah yang lagi asyik menggoreng ikan nila gemuk itu. Sehingga si ayah tergelitik untuk menimpali.

Ayah: “ Kalo Abi pergi kangen gak ?” (si Ayah bertanya dengan harap-harap cemas akan jawaban si anak).

Anak :” Nggak, kan abi gak ngelahirin Cikwo.” (si Anak menjawab spontan, sepertinya tanpa berpikir panjang atau memang betul-betul tidak kangen ?? Masih jadi pertanyaan besar).

Ayah : “ Loh, Abi kan yang membuat ummi hamil ?” (si Ayah sengit menjawab karena terlanjur bête dengan jawaban si anak). Pada saat yang bersamaan si Ibu mendelik ke si Ayah untuk mengoreksi kata-katanya yang dirasa belum pantas untuk anak yang belum genap 6,5 tahun. Tiba-tiba si anak berlari ke arah ruang tengah sambil berteriak-teriak berulang-ulang : “ Apa Iyaa ??? Apa iyaa ???” (suaranya nyaring terdengar, lalu si anak kembali lagi berlari ke ayahnya dengan penjelasan yang cukup membuat si ayah kalah telak.

Anak : “ Abi itu salah !! Yang membuat ummi hamil itu Allah, yang membuat ummi melahirkan itu Allah, semua kan dari Allah !” (si anak menjawab bertubi-tubi dengan keyakinan tauhid yang begitu tinggi ). Tiba-tiba kami serentak tertawa terkekeh-kekeh.

Ibu: “ Subhanallah…Alhamdulillah.. jawaban Cikwo benar sekali, Cikwo pintar sekali yaa.. Subhanallah..!” ( Si Ibu menimpali dengan tasbih dan tahmid menyadari bahwa putri sulungnya berpikir demikian jauh memakai logika ketuhanan menurut umur dan persepsinya. Si ibu dan si ayah saling melirik dan tersenyum –pahit barangkali buat si ayah- karena potensi ke-ayahannya tidak diakui si anak . Tapi jauh di lubuk hati keduanya, terselip kebanggaan yang dapat di-iri-kan oleh orang tua lain, bahwa si anak sejak kecil telah tertanam tauhid rububiyahnya ). Maka nikmat Allah yang manahkah yang akan kami dustakan ? Demikianlah opera dapur itu, menambah nikmat puasa syawal kami pada hari ini.

Buat cinta ummi dan abi : kami bangga padamu, Nak


Minangkabau-ku Sayang, Minangkabau-ku Malang

Sekali lagi berita duka itu terulang. Ah.. tidak sampai hitungan berbulan-bulan rupanya bila Allah berkehendak menjungkirbalikkan hati kita dengan bencana. Kali ini daerah lain yang berakhiran Barat di pulau tempat asal harimau langka berada, Sumatera Barat, kembali diluluhlantakkan gempa, setelah kemarin kita tersedu sedan karena gempa di Tasikmalaya, Jawa Barat. Saat gempa ini terjadi, aku pun tengah sakit, ada benjolan bisul di kelopak mataku bagian dalam atau istilah kerennya hordeolum internum, bahasa merakyatnya timbilen atau bintitan.


Subhanallah, aku tahu pasti, sakitnya timbil ini –yang konon katanya dikarenakan suka mengintip- pasti tidak sesakit jiwa saudara-saudara kita di sana, yang boleh jadi sudah kehilangan banyak atau mungkin segalanya. Ada air yang merebak-rebak di pelupuk mataku yang tengah bengkak, menambah pedih mataku saat melihat seorang ibu dan beberapa anaknya menangis tersedu-sedu di pinggir jalan sambil menatap rumahnya yang sudah rata oleh tanah. "Nak, berdoa ya untuk Saudara-Saudara kita di sana supaya diberi kesabara." Aku berkata pada buah hatiku yang pertama,berumur 6 tahun lebih sedikit, saat kami bersama-sama melihat tayangannya di televisi. "Didoakan biar masuk surga, ya Mi.." Anakku menjawab dengan nada prihatin, saat mendengar pula banyak yang menjadi korban jiwa di sana. Aku mengamini perkataanya.


Para peneliti bilang, gempa ini kekuatannya 30 kali lebih kuat daripada gempa di Jogja. Guncangannya dapat dirasakan hingga ke Singapura dan Malaysia. Dapat dibayangkan apa yang terjadi di sana. Di Jogja, kurang lebih 5000 jiwa menemui Tuhannya,lalu sekarang ?? Sampai tulisan ini aku buat, perhitungan nyawa yang melayang sedang dalam progress nya. Aku tahu, seburuk apapun bencana itu, tentulah banyak hal yang bisa kita petik hikmahnya, entah itu untuk orang yang mengalami, atau kita yang hingga saat ini hanya bisa jadi penonton setia. Allah punya rahasia dari segala bencana, tanpa perlu kita banyak bertanya. Kehilangan, kesedihan, apapun itu bila tetap teriring keikhlasan, insyaAllah akan ada balasan yang jauhhh lebih besar dari Allah, di luar perkiraan kita manusia. Deep condolescence to all of my sisters and brothers there, in Minangkabau land. Ishbir, pertolongan Allah itu dekat.

Monday, September 21, 2009

Wasiat untuk Lelaki Kecilku


Lelaki kecilku
Tahukah dirimu
Saat matamu melihat dunia
Itu adalah bukan sebenarnya
Keindahannya , kemolekannya, hanyalah tipuan belaka
Tak rela diri ini bila semuanya membuatmu buta
Karena sungguh kampung akhirat lah
Yang layak untuk kita puja
Lelaki kecilku
Kutitipkan surgaku padamu
Melalui 5 wasiat yang harus selalu
tersemat di aliran darahmu
Yang pertama
Jadikanlah Allah sebagai tujuan hidupmu
Yang kedua
Tetapkanlah Muhammad sebagai teladan lakumu
Yang ketiga
Berjanjilah selalu untuk menjadikan Alquran
Sebagai pedoman hidupmu
Yang keempat
Berjihadlah di jalan Nya demi kemuliaan itu
Yang kelima
Bercita-citalah tinggi agar syahid menghiasi akhir hidupmu


Lelaki kecilku
Doa kami selalu menyertaimu

Sunday, September 20, 2009

Salam Perpisahan

Hari ini
Seperti ada yang tercerabut
Sedih
Haru
Rindu
Tamu agung itu berlalu
Bersama seluruh asaku
Duhai
Gulana ini tengah mencari bentuknya
Seiring Al Ghasiah pada pagi ini
Sungai takut dan harapku
Luruh dalam samudera keagunganMu
Sekali lagi
Kurangkum ketidakniscayaanku
Dalam tanya tak berjawab
kelu
Akankah kelak kembali kita bertemu ???


In Memoriam: Ramadhan 1430 H

Monday, September 14, 2009

BUBAR FK UGM 96

Berawal dari rasa rinduku bertemu dengan teman-teman seperjuangan saat dahulu menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran UGM mulai dari tahun 1996, maka timbullah keinginan untuk mengajak teman-teman , yang sudah kurang lebih 6 tahun tidak berjumpa, untuk mengikuti buka bersama mumpung masih berada dalam range bulan Ramadhan. Ide spontanitasku timbul begitu saja. Berbekal ide itulah aku menulis pengumuman di status facebook ku mengundang teman-teman FK 96 untuk berbuka bersama di restoran Boyong Kalegan, Pakem, Jogja pada tanggal 12 September 2009 kemarin. Beberapa tanggapan positif kuterima, dari sekian banyak yang sepertinya tertarik, Alhamdulillah ada 8 orang dapat terkumpul termasuk diriku. Berhubung belum ada pihak yang bersedia menjadi sponsor, maka sepakatlah kami untuk melakukan iuran membayar harga hidangan pada restoran tersebut.


Koordinasi yang kulakukan tidak sia-sia. Pada hari H, satu persatu teman-temanku bermunculan. Bahagia. Itulah yang kurasakan,walaupun jumlah yang hadir jauh di bawah jumlah mahasiswa yang dulu ada di FK . Biarlah, aku pikir ini adalah awal yang baik untuk mempererat silaturahim antarkami, mengingat tempat tinggal teman-teman sudah berpencar kemana-mana, tentu kehadiran teman-teman saat ini sangat berarti. Aku sebagai koordinator acara ini datang paling awal, bersama suami dan 3 matahariku. Aku bertanggungjawab menyambut kedatangan mereka dan mempersiapkan segala sesuatunya.

Sariyunita adalah temanku yang pertama hadir, Beliau datang dengan membawa 2 orang anak , dan 2 orang asistennya. Subhanallah, anak-anaknya yang keduanya perempuan terlihat sehat dan lucu. Menggemaskan. Aku gembira melihatnya. Sariyunita sendiri saat ini sedang melanjutkan PPDS Patologi Klinik semester awal, asal dari Bengkulu. Giliran yang kedua hadir adalah Dwi Rohmawati dan keluarganya. Wanita sholihah ini adalah teman baikku saat dulu masih kuliah. Tak banyak yang berubah pada dirinya, hanya tubuhnya yang terlihat lebih ringkih. Aku hanya berpikir, apakah PPDS interna telah membuatnya sedemikan tidak suka makan ?? (heheh..piss wi..). Beliau hadir ditemani dengan suami, dan 2 anak nya , laki-laki dan perempuan . Keduanya kalem, persis seperti ibundanya. Dwi asli Jogja menikah dengan laki-laki asal Palembang. Kebalikan diriku, yang berasal dari Sumatera-Selatan dan bersuamikan laki-laki Jogja. Indah sekali takdir kami .

Tidak berapa lama kemudian, kulihat kedatangan temanku yang ke-3, Tien Indra Navarone. Beliau datang tanpa ditemani siapa-siapa. Tien berasal dari Blitar Jawa Timur yang kebetulan bekerja di Jogja sebagai dokter pada salah satu klinik kecantikan. Tidak banyak yang berubah pada dirinya kecuali penampilan ibu-ibu pada umumnya. Menjelang beberapa menit sebelum berbuka, datanglah Apriana Setyawati beserta suami dan kedua jagoannya, yang berumur paling tua di antara anak-anak yang ada. Hebatnya lagi, berhubung sudah demikian lama berada di luar negeri, anak tertua Ria ini fasih berbahasa Inggris. Waduh, tante jadi iri neh.. Ria sendiri asli Jogja, tapi sudah melanglang buana mengikuti suaminya yang bekerja di luar negeri. Demi buah hati pun Ria rela meninggalkan sekolahnya pada PPDS Ilmu Penyakit Mata, untuk sementara waktu sampai batas waktu yang tidak bisa diperkirakan, karena setiap ditanya jawabnya itu nanti.. itu nanti.. hehe..

Bersama dengan Ria, demikian panggilan Apriana, adalah Erlina Hidayati. Erlin demikian kami memanggilnya, datang tanpa pendamping atau buntut, karena memang beliau lah yang masih single di antara kami. Sepanjang pertemuan itu tak lupa aku selalu menyemangatinya untuk tidak melanjutkan kesendirian itu. Waduuh, semua sudah pada punya buntut, ini sayap aja belum punya. Ayo Erlin, kami mendukungmu !!

Giliran berikutnya adalah Taufik Joni Prasetyo, atau kami biasa memanggilnya Topik. Pemuda yang berasal dari Lampung dan sudah tidak lajang ini pun datang tanpa ditemani isteri dan anak-anaknya, karena memang saat ini keluarganya sedang berada di lampung, sementara beliau sedang melanjutkan sekolah PPDS Anak di RSU Sardjito. Topik beristerikan Sri Indah Aruminingsih atau Indah, yang juga teman seangkatan kami dan masuk dalam daftar teman dekatku saat kuliah dulu. Mereka menjadi PNS di Lampung dan baru mempunyai 2 anak laki-laki. Aku yakin suatu saat mereka akan menambah buntut lagi heheh..

Last but not least, jauh setelah hidangan akan habis , datanglah Metta Dyah Ningrum atau Metta, teman yang saat ini sedang berada di puncak karirnya dalam per-resident-an karena menjabat Chief resident Obgyn, bersama dengan satu anak laki-laki kesayangannya (karena baru satu ya Met), dan seorang asistenya. Kasihan juga Metta, dia datang menjelang semua piring kosong, tapi dengan senang hati aku memesan kembali nila bakar khusus buatnya. Kali ini beliau masih harus disibukkan dengan junior yang Subhanallah, aktif sekali. Persis emaknya (piss..met ! hehe..).

Setelah menyantap semua hidangan, dan sholat maghrib. Acara kami teruskan dengan foto bareng memperlihatkan kenarsisan kami yang sekian lama tersembunyi. Setelah itu,kami bersalaman mengucap salam perpisahan dan berharap akan ada lagi pertemuan-pertemuan istimewa seperti ini . Aku sangat senang dengan terlaksananya acara tersebut. Terlepas dari nombok atau tidaknya diriku selaku koordinator , aku tahu kebersamaan ini mahal harganya, aku sudah berusaha menyambung tali yang penuh berkah itu , yaitu tali silaturahim, yang akan memanjangkan umur dan memurahkan rejeki kami. InsyaAllah,aamiin.

Saturday, September 12, 2009

Senyummu

Aku suka melihatmu tersenyum
Di sana ada gula-gula
Manis terasa
Disana ada cahaya
Terang kulihat
Aku suka melihatmu tersenyum
Renyah dan tidak mungkin ada duplikatnya
Pada bibir tersenyum itu
Tertulis kesucian fitrahmu


Aku suka melihatmu tersenyum
Senyum seperti balon udara
Yang melambungkanku menuju Tuhanku
Senyum seperti semburan kata-kata bijak pujangga
Yang mampu mengisi kekosongan jiwa-jiwa


Dan pada senyummu itu
kutitipkan surgaku


Buat: matahari2 ku yang selalu tersenyum

Thursday, September 10, 2009

Aku Hanya Butuh Dimengerti

Aku hanya butuh dimengerti
Kadangkala ada hal-hal yang mengganggu jiwa
Menyergapku dalam kekecewaan yang mendalam
Mencakar-cakar imanku yang masih tersisa
Meluluhlantakkan kepercayaan
Sehingga melahirkan kengerian sengeri-ngerinya
Hingga mampu menghamburkan bulir-bulir air mata
Berserakan di setiap sudut keterpanaan


Aku hanya butuh dimengerti
Kadang jiwaku tak seiring dengan ragaku
Saat ragaku mengatakan iya
Tapi pada saat yang bersamaan jiwaku berontak berkata tidak
Aku tak kuasa
Karena jiwa adalah ruh raga
Saat dia menderita..saat itu pula raga ku lelah tak terkira


Aku hanya butuh dimengerti
Untuk merenungi apa-apa yang sudah terjadi tadi
Dekap ketakutanku dalam pengertianmu
Karena saat ini aku tengah bermain dengan selemah-lemah imanku
Lalu..
Bagaimana denganmu cintaku ?
Sudahkah hatipun beku karena waktu dan ketidakpedulian itu
hingga bermain dengan selemah-lemah imanpun kau tak mampu


Adalah bencana
Bila hari ini kau menjawah iya..


Teriring cinta karena Nya

Keluarga formal-Tradisional-Sekuler (II)

Sibling Social Control

Pada tulisan sebelumnya, aku menggambarkan hubungan antara orangtua dan anak pada keluarga formal-tradisional-sekuler. Kali ini yang akan kusoroti adalah hubungan antar saudara kandung dalam keluarga bentukan semacam itu. Pada keluarga ini terjadi sentralisasi kontrol , dimana orang tua menjadi supervisor langsung untuk setiap anak-anaknya, yang tanpa sadar menanamkan pengertian pada anak-anaknya bahwa yang mempunyai hak untuk memberi nasihat dan teguran kepada mereka hanya orang tua. Sehingga terdapat keengganan dari tiap-tiap saudara kandung untuk saling mengingatkan antarmereka bila terjadi kesalahan.
Bagaimana mereka bisa menegur (seandainya mereka menganggap perbuatan saudara kandung nya tidak baik), sementara orang tua mereka sendiri tidak bermasalah dengan hal tersebut. Bagaimana mereka bisa memberi nasihat, sementara orang tua sendiri tidak pernah menasihati. Sesuatu yang sulit. Bukan tidak mungkin justeru akan terjadi clash antara orang tua dan anak yang berusaha memberi teguran pada saudaranya yang lain. Jadi tidaklah heran bila hubungan antarsaudara kandung pun terasa hilang ruhnya, berujung pada ketidakpedulian akan setiap maksiat dan kemungkaran yang dilakukan saudara kandung, padahal itu terjadi di depan mata.


Hal ini lah yang kadang membuatku tercenung. Sebuah ironi, mengapa justeru saat kita berada di tengah-tengah keluarga, saat itu pula kita berada pada titik selemah-lemah iman, dimana kita seperti tidak punya kekuatan mengubahnya dengan tangan dan mulut yang ada. Sementara berdakwah di luar, kita begitu pandainya mempermainkan retorika. Berapa banyak yang kita dengar para dai yang begitu disegani di luar, ternyata tidak mampu mengubah keluarganya sendiri. Pelajaran kembali kutarik dari hasil pengamatanku, bahwa sibling social control atau kontrol sosial dari saudara kandung sangatlah penting untuk menjaga agar anak-anak tetap berada dalam koridornya.


Aku pikir hal ini penting untuk diterapkan sejak dini. Kadang aku mengamini apa yang dilakukan oleh matahariku yang pertama : bila adiknya berbuat hal yang tidak baik, dia akan memberi pelajaran pada adiknya, walaupun hal tersebut akan menghasilkan deraian air mata pada sang adik. Sekali-sekali aku tidak pernah memarahinya, karena itu adalah kontrol sosial yang dilakukan sang kakak terhadap adiknya. Aku selalu berusaha mengingatkan dia untuk selalu memberi contoh yang baik bagi adiknya, dan meluruskan hal-hal salah yang dilakukan adiknya dengan cara yang baik. Aku berharap, semua anggota keluarga mempunyai kesadaran untuk saling menjaga dan bekerjasama berdasarkan kecintaan mereka kepada Allah, sehingga yang terbentuk adalah keluarga yang selalu penuh dengan kehangatan dan cinta.


Indah betul Alquran itu, di salah satu ayatnya kita diminta untuk menjaga anggota keluarga dari api neraka. Tentulah perintah ini ditujukan untuk masing-masing anggota keluarga. Karena pada hakikatnya keluarga bentukan ini adalah biduk dimana masing-masing awak harus menjaga keseimbangannya, hingga dapat terus berlayar menuju surga.

Keluarga Formal-Tradisional-Sekuler (I)


Parent –Children Relationship

Judul di atas barangkali terasa aneh, tapi banyak hal yang ingin kuungkapkan. Berawal dari pengalaman, pengamatan dan analisa yang kucoba tarik dari lingkungan sekitarku. Secara psikologis, sungguh aku merasa terganggu dan menjadi pikiranku di setiap waktu. Karena ketidakmampuanku mengubahnya. Dari beberapa pengamatan yang kulakukan pada beberapa bentukan keluarga, aku berkesimpulan bahwa pada umumnya keluarga-keluarga yang ada di Indonesia adalah keluarga ‘formal-tradisional-sekular’ dalam arti bahwa seorang ayah dan ibu akan membesarkan anak-anaknya ‘apa adanya’ sesuai dengan kaidah standard dan formal di mayarakat hingga mereka mencapai tahap ‘berhasil’ dari segi materi atau duniawi.

Sementara seperti apa perjalanan menuju keberhasilan yang dibanggakan itu sepertinya tidak begitu dihiraukan, agama pun hanya sebatas ritual yang tidak diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari dalam membesarkan anak-anaknya. Hasil lebih dilihat daripada proses. Inilah yang sering dilupakan keluarga Indonesia. Hal itu bisa kita lihat bila dua orang atau lebih ibu-ibu berkumpul atau bisa jadi bapak-bapak berkumpul membicarakan anak-anaknya, sudah sesuatu yang lumrah bila yang ditanyakan adalah seberapa jauh sudah kesukesan duniawi yang sudah anak mereka raih. Karena disitulah ‘status sosial’ keluarga bisa menempati rankingnya. Perkara apakah keberhasilan anak diimbangi dengan keberhasilan akhiratnya kelak bukan lah menjadi persoalan, selama anak tersebut tidak membuat ‘aib’ keluarga. Saat ini akan terdengar aneh rasanya bila ada dua ibu rumah tangga atau kepala keluarga bertemu saling menanyakan apakah anak-anak nya sudah mendirikan sholat atau berinfaq.


‘Aib’ yang dimaksud di sini adalah segala sesuatu yang sekiranya secara moral kemasyarakatan (baca: adat ketimuran), dapat mencoreng nama baik keluarga. Seperti contoh bila ada anak perempuannya pacaran, itu sudah dianggap sesuatu yang lumrah sekaligus dapat menjadi sesuatu yang dibanggakan karena merasa anaknya bisa mencari pasangan , daripada nanti-nanti menjadi perawan tua. Toh pacaran adalah sesuatu yang biasa sekali , selama anak tersebut tidak hamil di luar nikah. Perkara selama pacaran itu melakukan hal-hal yang dilarang agama tidaklah masalah, asal JANGAN HAMIL, karena secara sosial kemasyarakatan itu merupakan aib yang sangat-sangat memalukan. Padahal kehamilan itu sendiri hanya ekses dari pergaulan bebas, sementara esensi pergaulan bebas yang dilarang agama itu sendiri sama sekali kurang dihiraukan. Berdua-dua an berpacaran beserta seluruh aktivitas di dalamnya adalah salah satu hal yang sangat di larang dalam agama, akan tetapi diamini oleh orang tua. Aneh. Atau anak perempuan pulang hingga larut malam setiap harinya tidak lah masalah, selama anak tersebut mempunyai alasan mempunyai ‘kesibukan luar biasa’ dengan sekolahnya maka orang tua pun mempunyai permakluman yang tiada batas, padahal sebagai orang tua seharusnya memiliki aturan kedisiplinan dalam masalah waktu terhadap anak-anaknya, bahkan kebersamaan si anak dengan keluarganya yang sangat sedikit pun sudah dimaklumi, semua demi ‘kesuksesan’ anak nantinya.


Contoh lain, masalah sholat yang seharusnya menjadi ‘aib’ buat keluarga apabila tidak dijalankan oleh semua anggota di dalamnya, bukanlah menjadi perkara yang besar. Anak tidak sholat bukanlah menjadi beban derita, karena sholat tidak dapat dilihat lewat kacamata moral kemasyarakatan. Yang penting si anak dilihat ‘berhasil’ secara materi oleh orang lain itu sudah cukup membanggakan.



Hubungan yang terlihat antar anggota keluarga dalam keluarga semacam ini terasa formal cenderung kaku. Kehangatan antara orang tua dan anak, atau di antara anak-anaknya hilang ruhnya. Anak-anak hanya akan mendekat bila mereka butuh ‘materi’ dari orangtuanya atau sekedar formalitas belaka, bukan butuh ‘cinta’ hakiki orangtua yang akan mengantarkan ke surga lewat pagar-pagar agama yang dipancangkan di sepanjang langkah mereka atau mendekat kepada orang tua karena kecintaan yang mendalam pada mereka. Bagaimana mungkin cinta seperti itu dimiliki oleh orang tua yang memisahkan agama dengan kehidupannya? Sementara orang tua pun seperti tidak begitu peduli dengan apa-apa yang dilakukan oleh anaknya selama secara kasat mata mereka masih ‘baik-baik’ saja. Apatah lagi menanyakan, sudahkah kalian wahai ananda mendoakan ayah dan bunda hari ini supaya Allah sayang pada kami ? Sudahkah kalian doakan agar semua dosa kami terampuni ? Alangkah malangnya orang tua yang tidak mendapatkan doa anak-anaknya. Bukankah doa anak yang sholih dan sholihat adalah salah satu modal untuk mencapai surga ? Bentuk keluarga semacam ini secara sadar atau tidak akan diwarisi oleh anak-anaknya kelak, bukan tidak mungkin akan terulang kembali dan kembali, pada generasi berikutnya, hingga suatu saat ada yang memutuskan rantainya.


Oh..aku tidak bisa membayangkan, betapa sengsaranya kami nanti bila bukan anak-anak sholih dan sholihat yang kami punya pada akhirnya. Naudzubillahimindzaliik. Aku bertekad akan membesarkan anak-anakku dengan paradigma cinta. Aku ingin mereka tahu, apa-apa yang aku lakukan pada mereka semata-mata karena kecintaanku pada Allah. Demikian pula aku ingin mereka hormat pada kami orangtuanya karena cinta mereka kepada Allah jua, bukan semata karena formalitas yang dibangun lewat didikan tradisional yang kehilangan ruhnya.

Monday, September 07, 2009

Sensasi Roller Coaster

Pernah kah anda merasakan sensasi roller coaster ? Bagi yang sudah pernah menaiki benda tersebut pasti merasakan bagaimana rasanya dunia berputar dan jungkir balik. Sungguh mengasyikkan sekali, apalagi bila ditambah dengan teriakan-teriakan takut sekaligus senang. Itu yang kita rasakan kalau naik roller coaster. Tapi, kalau tiba-tiba dunia berputar dan jungkir balik pada saat kita tidak naik benda tersebut, kemudian ditambah mual yang berujung pada muntah, mungkinkah hal tersebut masih dirasa menyenangkan ? Sensasi seperti inilah yang akan kita rasakan saat vertigo menyerang. Vertigo sendiri secara istilah didefinisikan sebagai sensasi berputar (subjective vertigo) atau kita merasakan benda-benda di sekitar kita yang berputar (objective vertigo). Jadi di sini vertigo adalah sebuah gejala, bukan penyakit, sama halnya seperti demam. Dari sudut pandang manapun perputaran itu, tetap tidak ada yang lebih baik. Kadang aku sendiri tidak bisa membedakan kedua definisi itu. Pokoknya berputar. Vertigo biasanya terjadi sebagai reaksi dari adanya gangguan pada sistem vestibuler (keseimbangan) perifer atau pusat. Sistem vestibuler perifer contohnya pada struktur telinga dalam, sedangkan sistem vestibuler pusat contohnya adalah syaraf vestibuler, batang otak dan serebelum. Pada beberapa kasus, penyebab vertigo sendiri sering tidak diketahui.


Untuk vertigo karena gangguan vestibuler perifer, kasus paling banyak ditemui adalah BPPV (Benign Paroxysmal Positional Vertigo), dimana BPPV dapat terjadi saat debris yang terbentuk dari kalsium karbonat dan proten (otolith) bergerak di sekitar kanal semisirkularis. Saat kepala bergerak ke arah tertentu, kristal kalsium iatu akan bergerak dan memicu sensor telinga dalam, menyebabkan sensasi berputar. Sepertinya aku mengalami vertigo jenis ini. Tapi melihat beberapa penyebab BPPV antara lain degenerasi telinga dalam, trauma kepala, dan infeksi telinga dalam, rasanya tidak salah satu penyebab pun yang pernah jadi pemicu pada vertigo ku.


Aku adalah manusia yang tengah berusaha bersahabat dengan vertigo. Aku tidak tahu persis sejak kapan gejala ini muncul. Yang kuingat, dulu sewaktu aku masih kuliah, sepertinya aku tidak mengalami hal tersebut, buktinya aku mampu menaiki hampir semua wahana di Dufan, Ancol yang bisa membolak-balikkan isi perut tanpa berakhir dengan vertigo sama sekali !! Tapi mengapa sejak menjadi emak-emak ini aku menyerah bila harus memutar kepala terlalu cepat..tuing..tuing..hey..sepertinya aku merasakan tengah mengelilingi bumi heheh...Aneh nya sampai detik ini pun aku masih belum tergerak untuk memeriksakan diri. Dasar dokter ! Aku Cuma bisa tersenyum . Semoga ini bukan pertanda buruk. Aamiin.


Kusemat cinta berbalut doa di kedalaman samudera hati orang - orang terkasih.......