Parent –Children Relationship
Judul di atas barangkali terasa aneh, tapi banyak hal yang ingin kuungkapkan. Berawal dari pengalaman, pengamatan dan analisa yang kucoba tarik dari lingkungan sekitarku. Secara psikologis, sungguh aku merasa terganggu dan menjadi pikiranku di setiap waktu. Karena ketidakmampuanku mengubahnya. Dari beberapa pengamatan yang kulakukan pada beberapa bentukan keluarga, aku berkesimpulan bahwa pada umumnya keluarga-keluarga yang ada di Indonesia adalah keluarga ‘formal-tradisional-sekular’ dalam arti bahwa seorang ayah dan ibu akan membesarkan anak-anaknya ‘apa adanya’ sesuai dengan kaidah standard dan formal di mayarakat hingga mereka mencapai tahap ‘berhasil’ dari segi materi atau duniawi.
Sementara seperti apa perjalanan menuju keberhasilan yang dibanggakan itu sepertinya tidak begitu dihiraukan, agama pun hanya sebatas ritual yang tidak diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari dalam membesarkan anak-anaknya. Hasil lebih dilihat daripada proses. Inilah yang sering dilupakan keluarga Indonesia. Hal itu bisa kita lihat bila dua orang atau lebih ibu-ibu berkumpul atau bisa jadi bapak-bapak berkumpul membicarakan anak-anaknya, sudah sesuatu yang lumrah bila yang ditanyakan adalah seberapa jauh sudah kesukesan duniawi yang sudah anak mereka raih. Karena disitulah ‘status sosial’ keluarga bisa menempati rankingnya. Perkara apakah keberhasilan anak diimbangi dengan keberhasilan akhiratnya kelak bukan lah menjadi persoalan, selama anak tersebut tidak membuat ‘aib’ keluarga. Saat ini akan terdengar aneh rasanya bila ada dua ibu rumah tangga atau kepala keluarga bertemu saling menanyakan apakah anak-anak nya sudah mendirikan sholat atau berinfaq.
‘Aib’ yang dimaksud di sini adalah segala sesuatu yang sekiranya secara moral kemasyarakatan (baca: adat ketimuran), dapat mencoreng nama baik keluarga. Seperti contoh bila ada anak perempuannya pacaran, itu sudah dianggap sesuatu yang lumrah sekaligus dapat menjadi sesuatu yang dibanggakan karena merasa anaknya bisa mencari pasangan , daripada nanti-nanti menjadi perawan tua. Toh pacaran adalah sesuatu yang biasa sekali , selama anak tersebut tidak hamil di luar nikah. Perkara selama pacaran itu melakukan hal-hal yang dilarang agama tidaklah masalah, asal JANGAN HAMIL, karena secara sosial kemasyarakatan itu merupakan aib yang sangat-sangat memalukan. Padahal kehamilan itu sendiri hanya ekses dari pergaulan bebas, sementara esensi pergaulan bebas yang dilarang agama itu sendiri sama sekali kurang dihiraukan. Berdua-dua an berpacaran beserta seluruh aktivitas di dalamnya adalah salah satu hal yang sangat di larang dalam agama, akan tetapi diamini oleh orang tua. Aneh. Atau anak perempuan pulang hingga larut malam setiap harinya tidak lah masalah, selama anak tersebut mempunyai alasan mempunyai ‘kesibukan luar biasa’ dengan sekolahnya maka orang tua pun mempunyai permakluman yang tiada batas, padahal sebagai orang tua seharusnya memiliki aturan kedisiplinan dalam masalah waktu terhadap anak-anaknya, bahkan kebersamaan si anak dengan keluarganya yang sangat sedikit pun sudah dimaklumi, semua demi ‘kesuksesan’ anak nantinya.
Contoh lain, masalah sholat yang seharusnya menjadi ‘aib’ buat keluarga apabila tidak dijalankan oleh semua anggota di dalamnya, bukanlah menjadi perkara yang besar. Anak tidak sholat bukanlah menjadi beban derita, karena sholat tidak dapat dilihat lewat kacamata moral kemasyarakatan. Yang penting si anak dilihat ‘berhasil’ secara materi oleh orang lain itu sudah cukup membanggakan.
Hubungan yang terlihat antar anggota keluarga dalam keluarga semacam ini terasa formal cenderung kaku. Kehangatan antara orang tua dan anak, atau di antara anak-anaknya hilang ruhnya. Anak-anak hanya akan mendekat bila mereka butuh ‘materi’ dari orangtuanya atau sekedar formalitas belaka, bukan butuh ‘cinta’ hakiki orangtua yang akan mengantarkan ke surga lewat pagar-pagar agama yang dipancangkan di sepanjang langkah mereka atau mendekat kepada orang tua karena kecintaan yang mendalam pada mereka. Bagaimana mungkin cinta seperti itu dimiliki oleh orang tua yang memisahkan agama dengan kehidupannya? Sementara orang tua pun seperti tidak begitu peduli dengan apa-apa yang dilakukan oleh anaknya selama secara kasat mata mereka masih ‘baik-baik’ saja. Apatah lagi menanyakan, sudahkah kalian wahai ananda mendoakan ayah dan bunda hari ini supaya Allah sayang pada kami ? Sudahkah kalian doakan agar semua dosa kami terampuni ? Alangkah malangnya orang tua yang tidak mendapatkan doa anak-anaknya. Bukankah doa anak yang sholih dan sholihat adalah salah satu modal untuk mencapai surga ? Bentuk keluarga semacam ini secara sadar atau tidak akan diwarisi oleh anak-anaknya kelak, bukan tidak mungkin akan terulang kembali dan kembali, pada generasi berikutnya, hingga suatu saat ada yang memutuskan rantainya.
Oh..aku tidak bisa membayangkan, betapa sengsaranya kami nanti bila bukan anak-anak sholih dan sholihat yang kami punya pada akhirnya. Naudzubillahimindzaliik. Aku bertekad akan membesarkan anak-anakku dengan paradigma cinta. Aku ingin mereka tahu, apa-apa yang aku lakukan pada mereka semata-mata karena kecintaanku pada Allah. Demikian pula aku ingin mereka hormat pada kami orangtuanya karena cinta mereka kepada Allah jua, bukan semata karena formalitas yang dibangun lewat didikan tradisional yang kehilangan ruhnya.
‘Aib’ yang dimaksud di sini adalah segala sesuatu yang sekiranya secara moral kemasyarakatan (baca: adat ketimuran), dapat mencoreng nama baik keluarga. Seperti contoh bila ada anak perempuannya pacaran, itu sudah dianggap sesuatu yang lumrah sekaligus dapat menjadi sesuatu yang dibanggakan karena merasa anaknya bisa mencari pasangan , daripada nanti-nanti menjadi perawan tua. Toh pacaran adalah sesuatu yang biasa sekali , selama anak tersebut tidak hamil di luar nikah. Perkara selama pacaran itu melakukan hal-hal yang dilarang agama tidaklah masalah, asal JANGAN HAMIL, karena secara sosial kemasyarakatan itu merupakan aib yang sangat-sangat memalukan. Padahal kehamilan itu sendiri hanya ekses dari pergaulan bebas, sementara esensi pergaulan bebas yang dilarang agama itu sendiri sama sekali kurang dihiraukan. Berdua-dua an berpacaran beserta seluruh aktivitas di dalamnya adalah salah satu hal yang sangat di larang dalam agama, akan tetapi diamini oleh orang tua. Aneh. Atau anak perempuan pulang hingga larut malam setiap harinya tidak lah masalah, selama anak tersebut mempunyai alasan mempunyai ‘kesibukan luar biasa’ dengan sekolahnya maka orang tua pun mempunyai permakluman yang tiada batas, padahal sebagai orang tua seharusnya memiliki aturan kedisiplinan dalam masalah waktu terhadap anak-anaknya, bahkan kebersamaan si anak dengan keluarganya yang sangat sedikit pun sudah dimaklumi, semua demi ‘kesuksesan’ anak nantinya.
Contoh lain, masalah sholat yang seharusnya menjadi ‘aib’ buat keluarga apabila tidak dijalankan oleh semua anggota di dalamnya, bukanlah menjadi perkara yang besar. Anak tidak sholat bukanlah menjadi beban derita, karena sholat tidak dapat dilihat lewat kacamata moral kemasyarakatan. Yang penting si anak dilihat ‘berhasil’ secara materi oleh orang lain itu sudah cukup membanggakan.
Hubungan yang terlihat antar anggota keluarga dalam keluarga semacam ini terasa formal cenderung kaku. Kehangatan antara orang tua dan anak, atau di antara anak-anaknya hilang ruhnya. Anak-anak hanya akan mendekat bila mereka butuh ‘materi’ dari orangtuanya atau sekedar formalitas belaka, bukan butuh ‘cinta’ hakiki orangtua yang akan mengantarkan ke surga lewat pagar-pagar agama yang dipancangkan di sepanjang langkah mereka atau mendekat kepada orang tua karena kecintaan yang mendalam pada mereka. Bagaimana mungkin cinta seperti itu dimiliki oleh orang tua yang memisahkan agama dengan kehidupannya? Sementara orang tua pun seperti tidak begitu peduli dengan apa-apa yang dilakukan oleh anaknya selama secara kasat mata mereka masih ‘baik-baik’ saja. Apatah lagi menanyakan, sudahkah kalian wahai ananda mendoakan ayah dan bunda hari ini supaya Allah sayang pada kami ? Sudahkah kalian doakan agar semua dosa kami terampuni ? Alangkah malangnya orang tua yang tidak mendapatkan doa anak-anaknya. Bukankah doa anak yang sholih dan sholihat adalah salah satu modal untuk mencapai surga ? Bentuk keluarga semacam ini secara sadar atau tidak akan diwarisi oleh anak-anaknya kelak, bukan tidak mungkin akan terulang kembali dan kembali, pada generasi berikutnya, hingga suatu saat ada yang memutuskan rantainya.
Oh..aku tidak bisa membayangkan, betapa sengsaranya kami nanti bila bukan anak-anak sholih dan sholihat yang kami punya pada akhirnya. Naudzubillahimindzaliik. Aku bertekad akan membesarkan anak-anakku dengan paradigma cinta. Aku ingin mereka tahu, apa-apa yang aku lakukan pada mereka semata-mata karena kecintaanku pada Allah. Demikian pula aku ingin mereka hormat pada kami orangtuanya karena cinta mereka kepada Allah jua, bukan semata karena formalitas yang dibangun lewat didikan tradisional yang kehilangan ruhnya.
No comments:
Post a Comment