Wednesday, November 25, 2009

Take Me Out (of this show)

Yak..sekarang giliranku untuk urun komentar tentang acara TV yang setiap akhir minggu ditayangkan oleh Indosiar dengan dipandu oleh Bung Choky yang elegan dan Mbak Yuanita yang selalu membuka bagian dada . Kadang ada juga pertanyaan iseng dalam hati melihat pemandu acara (apapun itu) yang menggunakan topless, adakah mereka tidak merasa risih, kedinginan atau masuk angin ??

Aku mulai mengenal acara ‘Take me/him Out Indonesia’ ini sejak bulan Ramadhan yang lalu.Itupun tanpa disengaja. Pertamanya malah bertanya pada suami acara apa ini saat beberapa kali kuperhatikan Beliau begitu seksama mengamati acara ini, berhubung tidak ada acara berita yang disukainya pada jam itu. Aku tidak perlu menceritakan seperti apa kronologis acara tersebut , selain karena mungkin rata-rata orang Indonesia yang bisa mengakses media elektronik menonton acara ini , aku pun tidak begitu intens mengikuti dan paham dengan alur acara ini sampai akhir. Aku hanya mengamati silih bergantinya laki-laki atau perempuan yang dipajang, dinilai, dan dipilih di atas panggung lewat lampu-lampu hidup dan mati. Dan sekilas melihat acara ‘dating’ yang disiarkan sore di akhir minggu, dimana beberapa pasangan tampak bercengkerama seperti sepasang pengantin baru yang berbulan madu ??? Sepertinya ada iming-iming hadiah yang cukup besar apabila ada pasangan yang bisa sampai ke jenjang lebih lanjut atau menikah. Hal ini tentu menjadi pemicu agar banyak orang yang mendaftar menjadi kontestan. Bagi para kontestan sendiri ada 2 keuntungan yang ingin diperoleh, syukur-syukur bisa 3, yaitu : hadiah, ketenaran (karena masuk tv) , dan dapat jodoh (seandainya beruntung).

Berawal dari rasa ingin tahu, aku mulai rajin memperhatikan acara ini walau tidak pernah secara keseluruhan. Dimana-mana, tema perjodohan itu selalu menarik minat orang untuk tahu lebih jauh tidak terkecuali diriku. Banyak komentar yang sering terlontar saat melihat para kontestan menentukan pilihan dimana paling umum terlihat adalalah mereka memilih pasangan hanya berdasarkan pada pandangan fisik sekilas, pekerjaan,atau kemapanan. Tak lebih. Aku dan suami hanya menggeleng-geleng melihat fenomena tersebut, karena paradigma yang mereka pakai sama sekali tidak sesuai dengan apa yang kami pahami selama ini. Paradigma yang berdasarkan keimanan dan tuntuan Islam. Yang lebih mengenaskan lagi adalah, bahwa orang-orang yang mencari pasangan itu bukanlah orang ‘biasa-biasa’ saja. Rata-rata mereka memiliki fisik dan kemapanan yang lumayan, tapi mengapa di usia-usia dimana seharusnya mereka sudah mapan berkeluarga, masih juga berkeliaran mencari jodoh hingga masuk ke acara itu. Aneh. Betapa jodoh itu misteri.

Pada akhirnya keimananku pula yang berbicara, saat pada acara ‘dating’ terlihat bagaimana mesranya pasangan-pasangan itu menjalani kehidupan mereka, layaknya pengantin baru. Hal ini membuatku jijik, bagaimanapun juga hubungan seperti itu sangat-sangat dilarang dalam agama. Mendekati zina. Tapi sepertinya media ingin mengaburkan opini tersebut melalui tayangan itu. Proses awal dan akhir acara yang jauh dari nilai pendidikan ini ,mau tidak mau membuatku gatal untuk mengkritisi ketidakpatutannya dari segi isi. Beberapa hal menjadi catatan pinggirku, sekaligus keprihatinan mengingat tipu daya untuk menjerumuskan anak-anak manusia ini justeru digandrungi dan didukung oleh umat manusia di Indonesia . Bisa dibayangkan bila banyak yang suka, rating akan meningkat. Semakin tinggi rating, semakin banyak pemasang iklan. Harga jual slot siaran niaga pun semakin mahal. Ini berarti semakin besar pemasukan. Sebaliknya, jika ratingnya terus-menerus rendah, dapat dipastikan sebuah stasiun televisi takkan bisa bertahan. Rating adalah hidup-mati stasiun televisi. Sehingga dampaknya adalah, bila rating tinggi mau tidak mau acara ini akan terus bertahan dalam rentang waktu yang cukup lama seiring dengan pengikisan nilai-nilai yang terjadi akibat acara tersebut.

Dari pengamatan yang aku lakukan selama beberapa waktu terhadap acara yang mentah-mentah menjiplak Eropa (Denmark) tersebut, aku yakin bahwa ini lah bentuk ghazwul fiqr (perang pemikiran) itu. Mengubah opini suatu kaum terhadap nilai (dalam hal ini nilai Islam) dengan mengemasnya dalam bentuk kemegahan dan keindahan semu mengatasnamakan bisnis hiburan. Berikut hal-hal yang menjadi catatanku:

1. Acara ini adalah bentuk eksploitasi baik terhadap perempuan. Hal ini terlihat dari penampilan para kontestan perempuan yang di make-over menjadi cantik dan seksi di setiap episodnya. Alih-alih ditutup rapat, tanpa malu-malu mereka mempertontonkan keterbukaan aggota tubuh di hadapan hadapan jutaan pasang mata di seluruh Indonesia. Para penonton pun lama kelamaan terbiasa deng an pemandangan pamer aurat seperti itu. Padahal menurut aturan agama hal tersebut dilarang. Inilah pembelokan opini tersebut. Dengan penampilan fisik itulah diharapkan laki-laki akan tertarik saat pertama kali melihat perempuan dan secara sadar, perempuan telah membiarkan dirinya ditaksir berdasarkan proporsi bentuk tubuh yang telah ditakdirkan oleh Allah.Murah bukan ?? Apakah ada seorang perempuan berjilbab suka rela masuk menjadi kontestannya?? Kita lihat saja nanti. Naudzubillahimindzaalik. Sempurna sudah ikhtiar industri bisnis hiburan tersebut bila hal itu terjadi.

2. Budaya hedonis disebarluaskan melalui acara ini. Ketertarikan itu didasarkan pada keduniawian semata, terlepas dari identitas agama yang sering disebutkan pada awal perkenalan. Semakin mapan seorang calon yang menjadi pilihan yang diperlihatkan melalui gambaran kehidupan sehari-harinya, semakin banyak pula lampu yang tidak mati. Semakin mudah bagi si laki-laki untuk memilih. Sebaliknya, jangan berharap banyak bila secara seorang laki-laki pas-pas an dalam hal finansial. Dia akan gagal mencapai peruntungannya.

3. Berzina-lah, kami akan mendukungmu ! Kalimat kasar itulah yang mungkin secara implisit diberikan para pendukung sms untuk pasangan-pasangan tersebut. Semakin jelas kemesraan yang terlihat saat acara ‘dating’ itu, semakin banyak orang-orang yang bersimpati dan mendukung pasangan tersebut, kans kemenangannya pun akan semakin besar. Lucunya lagi, orang tua para kontestan yang dihadirkan di panggung itu kadang-kadang tampil dalam bentuk orang tua yang paham agama, tapi mengapa mendukung tingkah laku anaknya yang melanggar agama ?? Dukungan yang luar biasa aneh lagi bila datang dari seorang yang dianggap sebagian rakyat sebagai pemuka agama, seperti beberapa waktu lalu ada seorang yang mengaku ‘ustadz cinta’ yang mengamini pasangan-pasangan di luar nikah tersbut. Apa jadinya agama ini, kalau ayat-ayat Allah diperdagangkan dengan harga yang murah ?

4. Sudahi tontonan ini. Jangan sampai kita tertipu dengan bungkus luar, tanpa bisa mem-filter isi di dalamnya. Kita jaga anak-anak kita dari tontonan yang tidak mendidik ini. Ubah chanel televisi kepada tontonan yang lebih sehat, dan matikan televisi bila tidak ada tontonan lain selain itu.

Alhamdulillah, proses penyadaran itu timbul dari masih hidupnya keimanan yang aku punya.
Apabila kemaksiatan itu di depan mata, ubahlah dengan tanganmu. Bila tidak bisa di ubah dengan tanganmu, maka ubahlah dengan mulutmu. Bila tidak bisa juga dengan mulutmu, maka ubahlah dengan hatimu. Dan itulah selemah-lemah iman. (Al-hadits)
Wallahu’alam bis showab.

Friday, November 13, 2009

November Rain

Ah..segar nian rasanya bau tanah yang terlumur air hujan, menguap memenuhi rongga dada. Hari ini, Alhamdulillah, setelah beberapa waktu mentari digdaya di singgasananya sepanjang hari sembari menyisakan panas dan haus, akhirnya datang juga tumpahan hujan kiriman Sang Penguasa langit di bulan November ini. Hujan dimana-mana sama, berupa butiran air yang tercipta dari kondensasi uap di awan lalu turun berkejar-kejaran yang kadang tanpa henti selama beberapa menit hingga beberapa jam. Tapi sungguh, cerita yang di bawa di setiap musimnya nya berbeda. Ada rupa-rupa rasa yang pernah menghinggapi diri seiring titik-titiknya yang menderu-deru.

Bersama hujan pula di musim panas yang basah, semangat menuntut ilmu di Sydney Uni memenuhi langkahku menyusuri Paramatta road yang ramai, melintas danau Victoria Park sambil memandang itik – itik hitam yang diam kedinginan, lalu berbelok menuju Arundel St yang mendaki. Sepanjang jalan aku mendengar kecipak air yang tertampar sepatu ketsku bila melalui genangan air. Setelah lepas dari canda hujan, aku menutup payung dan mengibaskan coat memasuki Mackie Building dimana proses pembelajaranku berlangsung.


Pada hujan di musim gugur yang basah dulu pernah kutitip rindu untuk orang-orang terkasih lewat jendela di rumah tinggalku nun jauh di benua Australia sana. Kala itu bersama hujan, kurasakan sepi yang sangat, hingga hanya mampu kumaknai dengan air mata. Mapple yang mulai berubah warna menjadi coklat muram, turun satu-satu seiring hujan dan angin yang dingin, sedingin hatiku. Waktu itu bulan Juni, dimana seharusnya banyak peristiwa indah yang ingin kunikmati bersama orang-orang tercinta di seberang sana, sehingga hujannya memberikan lebih banyak arti buatku. Perasaan asing, indah, sekaligus menyakitkan untuk dikenang dalam kesendirian melingkupiku saat itu.


Bersama hujan di musim dingin menggigit pula, ukhuwah kurasakan demikian indah. Rinainya yang halus menemani ku di jendela kereta cityRail menuju Lakemba, Bankstown dan Punchbowl dimana perasaan sepi itu mampu terobati dengan menyatunya hati-hati kami menuju Ilahi. Ada kehangatan yang kurasa di balik dinginnya. Hujan juga yang menemani Id kurban ku pada waktu itu. Penuh haru.


Ditemani hujan pula, pada musim semi yang basah, aku mengagumi ciptaan Nya di Bondi Beach yang indah bersama teman-teman penerima beasiswa Depkominfo dari Melbourne. Menikmati coastal walk menuju Bronte Beach di sela-sela gerimis halus. Belum pernah aku melihat gerimis yang begitu halusnya ibarat debu basah yang bersusun meyerupai tirai tipis. Aku hanya pernah menjumpai itu di Sydney. Sungguh, sepertinya aku akan merindukan hujan itu.


Kembali pada musim panas yang basah, hampir setahun kemudian aku menghabiskan sore yang basah menatap Darling Harbor yang bercahaya bersama suami tercinta dan janin tujuh bulan di dalam kandunganku, menyusuri tiap sisinya dengan bergumpal rindu yang tumpah ruah, setelah sekian lama berpisah . Bulan madu yang sempat tertunda itu rasanya mustahil terulang lagi. Bersama hujan pula kami terjebak di Monas,setelah pulang ke Indonesia. Menghitung detik dan menguji kesabaran dalam menyikapi waktu kapan kiranya hujan tropis ganas yang dapat membuat Jakarta banjir itu dapat berhenti.


Bersama hujan pula kurasakan bahagia, saat kembali menikmatinya dengan canda tawa bersama dengan keluarga. Tak ada yang lebih membahagiakan selain menikmati hujan bersama dengan orang-orang terkasih. Hujan jua lah yang mampu mengeluarkan sisi-sisi melankolisku sehingga mampu mengubah rasa menjadi penuh makna . Benarlah kiranya, bila pada hujan, rahmat dan kasih sayang Allah sedemikan besar tak terhingga.

.


Beloved Ones

Di buku hari-hariku kalian hadir
Menggoreskan cerita yang berbeda di setiap lembarnya
Namun tetap memberikan kesan yang sama
Kusebut itu bahagia

Ada bianglala tercipta saat membaca jejak
Yang kalian tinggalkan di setiap langkah
Ada suka ada duka menjelma
Kusebut itu cinta

Aku tak tahu apa yang terjadi
Bila kutapaki waktu ini sendiri
Pastilah tersisa lara
Yang susah kucari obatnya

Entah itu di dunia atau di kesudahannya
Bersama kalian ingin kubangun surga

Thursday, November 12, 2009

I Love You, You Love Me


I Love You, You Love Me (from the Barney cartoon show)

(Lyrics by Lee Bernstein [BMI])

I love you
You love me
We're a happy family
With a great big hug

And a kiss from me to you

Won't you say you love me too?



I love you
You love me
We're best friends

Like friends should be

With a great big hug

And a kiss from me to you

Won't you say you love me too?


Much loves for my beloved ones

Monday, November 09, 2009

Negeri Lima Menara

Satu lagi buku pembakar semangat telah aku baca. Kali ini adalah buah pena A. Fuad dengan judul Negeri Lima Menara, penerbit Gramedia . Buku setebal 416 halaman dan memulai cetakan pertamanya tahun 2009 ini adalah buku fiksi yang diangkat dari kisah hidup penulis yang berhasil mencapai mimpinya bersama dengan beberapa orang temannya untuk menginjak Trafalgar Square, London. Suatu impian yang nyaris mustahil untuk anak-anak daerah yang belajar di pesantren pada masa itu.

Perjuangan Alif Fikri, tokoh sentral buku ini, menapaki takdir –yang awalnya diterima dengan setengah hati - untuk belajar di sebuah pesantren di Jawa, tersuguh apik dalam buku ini. Percikan-percikan mimpi yang sering dibagi bersama lima orang teman-temannya di bawah menara masjid pesantren itu , yang kelak di kemudian hari menjelma menjadi sebuah kenyataan hidup yang sungguh manis untuk dikenang, terus menerus mewarnai dan melecut hari-hari mereka. Kehidupan di pesantren beserta suka dukanya adalah episode yang sebagian besar tergambar di dalam buku ini. Bermula dari mantra ajaib ‘Man jadda wajada ‘ (Siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan sukses ) yang sering diperdengarkan di pesantren tersebut hingga mau tak mau meresap senyap di setiap aliran darah para penghuninya, Alif dan teman-temannya mencoba melarung mimpi untuk menginjak bumi di benua yang berbeda-beda. Pada akhirnya mimpi itu pun tunai dengan suksenya mereka menapaki karir dan hidup masing-masing.

Gaya bahasa jurnalistik yang mengedepankan deskripsi membuat buku ini lebih hidup untuk dirasakan. Ada guyonan-guyonan jenaka yang bisa membuatku tertawa. Walaupun saat sudah berada di tengah, mulai ada sedikit kebosanan dengan isi cerita , hal ini tidak mengurungkanku untuk menuntaskan buku ini. Membaca buku ini, terjawab sudah apriori yang sering terjadi di masyarakat (termasuk diriku) tentang gambaran pesantren yang identik dengan kaum puritan, kampungan dan ketidak-higienis-an. Apa yang digambarkan penulis tentang pesantren di buku ini, menambah rasa hormatku dengan institusi bernama pesantren itu. Karena ternyata pesantren itu tidak sekolot yang aku kira, justeru banyak kelebihan-kelebihan yang bisa dibawa untuk bersaing dengan kehidupan global seperti sekarang ini.

Buku ini mengingatkanku pada buku Laskar Pelangi milik Andrea Hirata yang menginspirasi. Bagaimana ruh semangat, perjuangan ,kesungguhan, dan doa itu mampu membelokkan mimpi menjadi kenyataan. Hal ini lah yang membuatku tak pernah berhenti untuk bermimpi. Bahagia. Itulah yang kurasakan saat mimpi itu tiba-tiba nyata setelah tergantung lama menemani hari-hariku. Pada bagian akhir buku ini aku bisa merasakan getar semangat dan harap penulis merambati hatiku untuk kemudian menjelma jadi titik air mata saat membaca kata-kata indah : ‘Kun fayakun, maka semula awan impian, kini hidup yang nyata. Jadi jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apapun. Tuhan sungguh Maha Mendengar.’

Buku ini layak untuk dibaca ! Aku yakin beberapa waktu ke depan buku ini akan menjadi best seller.


Sunday, November 01, 2009

Sheila Marcia Hamil ??

Sudah lama sebenarnya aku ingin menulis tentang hal ini, tapi sepertinya waktu belum berpihak kepadaku hingga akhirnya tulisan ini kubuat. Ini bukan blog infotainment. Bukan pula blog gossip. Aku hanya tergelitik saat melihat fenomena keartisan beserta seluruh image yang ada di dalamnya melalui kacamataku. Ini hanya pendapat pribadi yang setiap orang mungkin berbeda. Kadangkala aku masih ternganga-nganga tak mengerti, mengapa aib yang terjadi sedemikian rupa, dapat dengan ringan diakui oleh seorang artis, yang notabene masih tinggal di Indonesia, yang katanya orang Indonesia itu masih memegang adat ketimuran dan moral yang tinggi.

Hamil bukanlah perkara yang aneh bila itu dialami oleh seorang wanita yang telah bersuami dan kehamilan nya terjadi setelah pasangan itu sah sebagai suami dan isteri. Tetapi hal itu seharusnya akan menjadi sangat aneh bila seorang wanita hamil tanpa ada suami –kecuali ibunda Siti Maryam tentu. Melihat hal ini, sudah sepatutnya kita menentang dan membenci perbuatan yang melanggar norma agama dan masyarakat itu.

Di semua agama yang kutemui di Indonesia ini, rasanya semua mengajarkan hal yang sama tentang moral dan menjaga kesucian. Apakah perkiraanku ini salah ? Sudah sedemikian tebalkah nurani kita, sehingga ambang peka kita terhadap nilai-nilai luhur menjaga kesucian itu menjadi demikian tinggi. Hingga saat nurani kita dicubit dengan kejadian itu, kita sama sekali tidak merasa nyeri. Semua media infotainment yang kutemui tidak ada yang secara eksplisit menghujat hal tersebut, malah mengesankan mereka membuat kejadian ini menjadi hal yang lumrah. Sehingga masyarakat yang seharusnya menjadi kontrol moral pun terlihat menganggap ‘biasa’ apa bila ada kejadian serupa menimpa orang-orang kebanyakan.

Dengan senyum dan bangganya si calon ibu yang berperut buncit menyatakan kebahagiaan dan kesediaannya mengasuh calon jabang bayi. Tak ada sedikitpun tersirat kesedihan dan penyesalan di sana. Tak ketinggalan pula ibu si artis yang urun rasa bangga dengan kehamilan putrinya. What ??!! Sehingga aku pun tidak merasa keberatan menulis langsung namanya tanpa perlu memakai inisial, sebagai contoh yang sangat tidak penting dan tidak pantas untuk ditiru. MasyaAllah. Gejala apakah ini sebenarnya ? Kejadian ini tidak sekali dua kita dengar dan lihat. Ada banyak kejadian serupa yang justeru membuat si artis bertambah tenar. Apakah ini juga dalam rangka mendongkrak kepopularitasan ? Pendapatku tentang permasalahan zina ini secara detail pernah kuungkapkan di posting beberapa waktu lalu.

Banyak faktor yang membuat kepekaan kita terhadap dosa itu semakin rendah. Semua berawal dari keluarga, dimana keluarga memegang peran kunci kontrol dan pendidikan moral anak. Nilai itu adalah pembiasaan dan penanaman yang terus menerus sejak kecil, tidak serta merta dapat melekat pada si anak. Kalaupun ada seorang anak yang menjadi baik dalam arti sebenarnya, tetapi berasal dari keluarga yang sama sekali tidak peduli dengan nilai moral, inilah yang disebut anugerah yang tak ternilai, karena hidayah itu disambutnya sepenuh hati. Kalaupun ada kejadian sebaliknya, orang tua nya baik dan beriman serta berusaha terus memperbaiki anak-anaknya, akan tetapi anak-anaknya tetap bermasalah - yang ini persentasenya tidak banyak- tentu ini adalah ujian untuk orang tua. Seperti halnya Nabi Nuh dan anaknya.

Berkaca pada ajaran Islam yang melingkupi segala aspek hidup, Allah meminta setiap anggota keluarga untuk menjaga diri dan keluarganya dari api neraka. Seandainya semua keluarga muslim Indonesia patuh tunduk dengan perintah itu, insyaAllah tidak akan ada korban Sheila Sheila yang lain. Wallahu’alam.

Three Cups of Tea

Buku ke-2 yang kubaca adalah Three Cups of Tea, buah karya Greg Mortenson &David Oliver Rein, penerbit Hikmah, setebal 629 halaman. Buku yang sudah memasuki cetakan ke-3 tahun 2009 ini adalah buku terlaris versi New York Times. Penyematan gelar buku terlaris bukanlah hal yang berlebihan menurutku, karena buku yang berisi kisah kemanusiaan yang menjembatani barat dan timur ini memang luar biasa. Buku ini juga merupakan kisah nyata yang diambil dari penulisnya sendiri, Greg Mortenson.

Seorang Amerika mantan pendaki gunung yang gagal memenuhi ambisinya menaklukkan K2,puncak tertinggi no.2 di pegunungan Karakoram Pakistan. Alih-alih mendulang kegagalan yang telak itu, Mortenson sukses ‘mendaki’ gunung lain yang belum pernah terbersit di benaknya. Gunung nurani. Saat tersesat dan menemukan sebuah dusun bernama Korphe di tebing Karakoram, Mortenson melihat fenomena yang mengguggah rasa kemanusiaannya. Anak-anak Korphe dengan telanjang kaki belajar di tengah lapangan salju tanpa guru ! Sontak, sebuah tekad terpatri di dadanya, bahwa dia akan membangun sebuah sekolah di dusun terisolir tersebut.

Kerja kemanusiaan itu bukanlah kerja ringan seringan ucapan janjinya pada kepala dusun Korphe, yang kemudian kelak dianggapnya sebagai keluarga kedua dan Korphe sebagai rumah kedua. Setelah memakan waktu yang tidak singkat, memberikan pengorbanan materi dan immateri yang tidak sedikit, sekolah yang menjadi perintis berdirinya sekolah-sekolah lain di daerah-daerah terisolir itu berdiri.

Sejak saat itu kehidupan Mortenson berubah. Dia dengan rela mendedikasikan seluruh hidupnya untuk melakukan kerja kemanusiaan di daerah Pakistan di tengah pertikaian kelompok –yang notabene muslim-, terlepas dari perbedaan keimanan dan latar belakang budaya yang dimilikinya. Keterbelakangan pendidikan disinyalir menjadi salah satu penyebab munculnya terorisme. Hal ini lah yang selalu didengungkan Mortenson pada elit-elit di negerinya, agar melawan terorisme dengan pendidikan bukan dengan kekerasan. Tapi tentu hal ini akan dianggap angin lalu mengingat Amerika sendiri bukanlah negeri para Santo.

Lalu kemanakah orang Islam berada ? Di saat orang ‘kafir’ mengejawantahkan nilai-nilai kemanusiaan dengan demikian indah, pemerintaI Islam di negeri itu justeru malah sibuk mengeluarkan dana tak terhingga untuk membiyai peperangan tak berujung antar orang Islam sendiri. Ironi.
Buku ini selayaknya dibaca oleh-orang yang masih mempunyai nurani dan yakin bahwa pendidikan adalah pintu gerbang untuk lari dari kebodohan.

Kusemat cinta berbalut doa di kedalaman samudera hati orang - orang terkasih.......