Saturday, October 31, 2009

Wawancara yang Aneh


Inilah cerita itu. Kucoba kurangkai dalam untaian kata yang sudah beberapa pekan ini sepertinya enggan meninggalkan jejaknya di rumah mayaku nan indah ini. Dan hal ini memaksaku untuk mau tidak mau mengulas kembali kisah ‘pilu’ beberapa waktu lalu. Dengan separuh hati waktu itu aku menerima sebuah kenyataan bahwa harapanku untuk menjadi dokter spesialis kandungan harus berhenti di awal-karena suatu keharusan yang sulit untuk kuubah -- memakai bahasa penolakan halus yang dipakai salah satu staf bagian tersebut : berkarir tak harus di obgyn, bisa mencoba karir di bagian lain.Well, setelah beberapa waktu berlalu aku baru bisa memahami dan menyadari, berjuta hikmah yang tak ternilai harganya berselang antara setelah ‘hari’ itu dengan saat ini.

De javu. Itulah yang kurasakan saat kembali ujian akan kulakukan dengan memilih jurusan yang berbeda kali ini. Bagian yang gampang-gampang susah, karena aku harus bersaing memperebutkan 2 kursi dengan 11 pesaing lainnya. Entah inilah jalan itu atau ada jalan lain yang diberi oleh Allah, sampai detik ini pun aku tak tahu. Yang pasti, aku akan terus berusaha berdamai dengan takdirku. Indah bukan ?

Bersama salah seorang peserta ujian yang lain, sebut saja si X, aku memasuki sebuah ruangan dingin, dimana telah duduk seorang lelaki paruh baya, berkulit gelap, berkumis sedang, Pak Dosen, dalam senyum misteriusnya menyambut kami seolah tengah bersiap memuntahkan amunisinya untuk melakukan fit & proper test sebelum kami diterima menjadi pasukan berani belajar di bagian kulit dan kelamin ini. Bagian kecil ,tapi peminatnya banyak dan menurutku bagian ini cocok untuk ibu berbuntut 3 sepertiku mengingat ritme kerja bagian tersebut yang masih memberi kita kesempatan untuk menyisakan waktu dengan keluarga. Halo ??!! Menyisakan waktu ?? Tepatkah istilah itu ?

Detik dan menit berlalu, pertanyaan awal lebih banyak ditujukan pada si X. Hingga sampai pada pertanyaan yang jawabannya cukup menohokku sehingga membuatku limbung sesaat. Dialog yang kurekam kemudian kurang lebihnya demikian :


Pak Dosen :“Siapa yang akan membiayaimu nanti selama pendidikan?”

Si X : “ Saya dan orang tua, Dok.”

Pak Dosen : “ Kok masih orang tua yang membiayai ?

Si X : “Ya, karena saya belum mampu untuk membiayai semua, Dok.”

Pak Dosen: “ Berapa? 50-50??” Pertanyaan menyelidik itu berlanjut.

Si X : “ Yah, saya kurang dari 50, Dok.Orangtua saya yang lebih banyak membiayai”

Pak Dosen : “Orang tuamu bekerja apa?”

Si X : “Bapak saya pegawai negeri, ibu saya pengusaha”

Pak Dosen : “ Pengusaha apa ?? “

Si X : “Pengusaha kebun buah, sawit, dan karet.” (Menjawab dengan antusias).

Pak Dosen :“Ayahmu umurnya berapa ?” Pak Dosen bertanya kepada si X dengan lembut tetapi dengan nada menusuk dan dingin sesuai dengan gaya Pak Dosen selama ini yang kukenal sebagai mantan dosenku saat S1 dulu.

Si X : ( Terdiam lama, dan berpikir )”Sepertinya 54 tahun, Dok. Soalnya 2 tahun lagi pensiun.” Si X menjawab dengan agak ragu. Jawaban ini adalah hal pertama yang mengusik rasa ke-anak-anku.

Pak Dosen : “Trus Bapakmu lahir kapan? Tanggal berapa, tahun berapa ? “ Pak Dosen memuntahkan pertanyaan lanjutannya.

Si X: ( Sedikit bingung dan grogi, mencoba mengingat angka)“ Nggak tahu, Dok !

Gubrakz! Jawaban kedua ini tiba2 mengiris-iris hatiku. Nyeri. How come??!! Bagaimana mungkin dia melupakan jejak lelaki yang telah banyak berkontribusi dalam hidupnya sejak sebelum lahir hingga detik dia berdiri saat ini. Lelaki yang telah menorehkan banyak cerita di kehidupannya sehingga membuatnya mampu tetap bertahan hidup, terlepas dari carut marut atau tidaknya hubungan dia dengan si bapak. Mengapa yang diingat hanya kekayaan orangtuanya dan usia pensiun Sang Bapak – saat dimana pendapatan sang Bapak akan berkurang nantinya.

Materialistis.Hedonis.Narsis.Kurangajaris. (Istilah terakhir adalah ciptaanku). Beragam istilah itu terbersit di benakku , yang mungkin akan diamini oleh Pak Dosen yang masih sibuk dengan senyum misteriusnya.

Detik itu, terbayang di benakku wajah laki-laki tua termakan usia, disana-sini penuh kerut dan gelambir, rambut putih pendek dengan bagian tengah nyaris botak karena dulunya sangat hobi meminta sang anak untuk mencabut ubannya , mata sipit,dan senyum manis pamer barisan gigi putih rapi yang akan kuingat sepanjang hidupku. Sungguh, barangkali tidak banyak cerita indah yang bisa kukenang selama kebersamaan dengan Beliau di masa lalu. Tapi kesungguhan, kasih sayang dan pengorbanan Beliau untukku, anak perempuan satu-satunya akan tetap hidup di urat darahku. Aku sayang papaku. Aku ingat ulang tahun Beliau. Aku ingat tanggal dan tahun Beliau lahir. Aduhai, seburuk-buruk orang tua kita, jangan pernah kita melupakan mereka. Sebesar apapun materi yang kita beri untuk mereka tidak akan dapat menggantikan segala hal yang sudah dilakukan untuk kita.

Perasaan gempita kesedihan itu perlahan tapi pasti merambati sekujur tubuh ku, berakhir dengan panas nya mataku, hingga tak sadar keluarlah isak kecil dari mulutku. Susah payah sekali rasanya menahan air mata itu untuk tidak jatuh apalagi di saat genting seperti sekarang ini, hingga aku merasa sepertinya mulutku serong ke kiri dan ke kanan demi menjaga tegak lurusnya wajahku yang sudah basah. Aku hanya mampu berdialog dengan batin, walau rasanya saat itu aku ingin berteriak keras sekali. Berteriak di telinga Si X, mengumpatnya, menasihatinya, entah apapun itu. Kelu.

Aku hanya mampu tergugu, mengumpulkan seluruh kekuatanku setelah terdiam cukup lama meredam isak, agar mampu kembali menjawab pertanyaan Pak Dosen. Saat Beliau bertanya kenapa mewek, aku hanya menjawab lirih, “Saya ingat tanggal lahir Bapak saya, Pak.” Barangkali logikanya Pak Dosen terusik, bagaimana mungkin mengingat tanggal lahir bisa membuat menangis ?? Tak mungkin rasanya aku curhat panjang lebar mengklarifikasikan apa -apa yang aku rasakan saat itu. Biarlah Pak Dosen beranggapan aku berurai air mata karena membayangkan biaya pendidikan yang mahal nantinya, yang tak sanggup kutanggung karena aku miskin sekali. Biarlah Pak Dosen beranggapan aku tengah sakit gigi yang sedemikian hebat hingga membuatku bersedu sedan. Terserah apapun prasangka yang ada di benak Pak Dosen dan teman wawancaraku. OMG, wawancara ini sungguh aneh, aku seperti tengah melakoni kisah drama pilu yang menguras airmata dan menghentak-hentak nuraniku.

Hingga selesai wawancara itu, mataku belum kering sepenuhnya. Ternyata aku masih harus mendengar another surprise dari teman wawancaraku. Saat ada pertanyaan :

Pak Dosen : “Bapakmu isterinya berapa ?” Pak Dosen setengah bercanda.

Si X :” Setahu saya sih satu, nggak tau kalo ada yang lain yang saya nggak tahu !” (Menjawab dengan ringan sambil tersenyum kecil ). Hah ??!!! Gubrakz again. Seandainya aku berbentuk kartun, pasti aku sudah pingsan dua kali dengan bintang-bintang di atas kepalaku. Aku hanya mampu istighfar dalam hati. Tega nian kau, Nak. Huh !...

Radioputro, medio Oktober2009


Angela's Ashes


Beberapa waktu yang lalu secara sadar aku telah menggantikan aktivitas blogging dan facebooking dengan membaca. Kegiatan yang dulu pernah kucintai pada suatu masa ini cukup menyita waktuku, sehingga memunculkan syaraf engganku menyentuh internet dan isinya. Kucuri waktu di sela-sela mengurusi keluarga untuk membaca buku, bahkan saat menyusui si kecil yang tidak bisa protes melihat ibunda asik memegang buku, sementara dia meringkuk di bawah ketiak memuaskan dahaga. Tak pelak, karena membaca buku ini terpotong-potong di antara rengekan, tangisan, dapur dan tetek bengek lainnya, maka butuh waktu kurang lebih seminggu untuk menuntaskan buku ini. Waktu yang terlalu lama sebenarnya buatku untuk mencerna sebuah buku. Bukan hal yang berlebihan bila aku terus menerus membaca buku, karena memang sampai detik ini aku masih belum punya aktivitas ‘lain’ yang berbau aktualisasi diri atau bahasa sederhananya masih 'jobless'. Cukup kusyukuri, karena banyak juga yang ternyata menginginkan semboyan 'everyday is holiday' ini. Hal ini juga dalam rangka membalas bolongnya waktu kebersamaanku dengan keluarga di tahun yang lalu karena harus menjadi mahasiswa S2 di benua Aborigin. Masih belum impas barangkali. Ada lembaran hidup anak-anakku yang pernah kosong dari sentuhan ibunya.

Buku pertama yang kubaca adalah Angela’s Ashes. Judulnya menarik. Kalau diartikan ke bahasa Indonesia kurang lebih Abu nya Angela. Buku karya Frank McCourt setebal 616 halaman yang dinobatkan sebagai international bestseller dan dianugerahi penghargaan Pulitzer (suatu penghargaan bergengsi internasional di bidang jurnalistik) telah memikat hatiku. Thumb up buat Pak McCourt, yang mengangkat kisah hidupnya dalam buku ini serta sekaligus sebagai tokoh sentral buku ini. Angela sendiri adalah nama ibu McCourt, yang apabila merasakan suatu kesedihan mendalam dia akan berbaring menghadap perapian sambil menatap abu perapian yang telah padam.Dari sinilah judul buku ini berasal.

Ilustrasi perjalanan hidup McCourt sebagai seorang anak Irish yang miskin, menderita dan agak religius tergambar apik dalam bahasa buku ini. Menyikapi kemiskinan dengan kepolosan kanak-kanak, yang tak berharap terlalu muluk kecuali dapat memenuhi kebutuhan yang paling mendasar sebagai makhluk yaitu makan. Kelaparan jua yang memaksanya untuk menjadi pencuri kecil-kecilan, atau melakukan ketidakjujuran 'ringan' demi mengganjal perutnya dan adik-adiknya.


Membaca buku ini, kita seperti di ajak masuk ke dimensi yang sungguh sulit dibayangkan di tengah pertikaian yang tak kunjung usai antara Irish dan British.

Latar belakang budaya yang berbeda dengan adat ketimuran tapi membungkus kesamaan nasib sekelompok umat di seluruh dunia yang menyandang predikat miskin dalam arti sebenarnya , membuatku gemas. Ayah pemabuk dan menghabiskan sebagian besar uangnya untuk sejenak melupakan permasalahan hidup dengan minum minuman keras –yang notabene sudah membudaya di tempatnya. Ibu yang satu persatu kehilangan anak-anaknya yang mati secara tragis dalam pelukan sendiri karena kebodohan dan ketidakpedulian yang keterlaluan. Keluarga besar yang tidak bisa saling peduli dan mengasihi di tengah penderitaan, serta keangkuhan para elit religi yang mendiskriminasi orang-orang miskin seakan tidak layak masuk surga padahal mereka seharusnya menjadi rujukan umatnya. Semua itu adalah hal-hal menyedihkan yang di bawa McCourt menemui pembacanya. Miris.

Tapi di balik semua itu, di balik kenakalannya sebagai remaja, yang secara sadar melepas keperjakaannya di usia belum genap 17 setelah sebelumnya secara vulgar menceritakan hobinya mencari kenikmatan seksual dengan cara manual, McCourt adalah sosok yang punya mimpi, tekad dan usaha. Kegemarannya membaca sejak kecil adalah salah satu modal besar yang akan menuntunnya menemukan jalan sebagai penulis kelak. Semangat dan mimpi untuk lepas dari belenggu kemiskinan itulah kiranya yang patut kita acungi jempol. Dia tidak ingin bersahabat dengan kemiskinan dan kebodohan seumur hidupnya. Mimpi itulah kelak yang melarungkan asa McCourt untuk mengadu nasib di belantara Amerika. Sebuah buku yang memang layak untuk dibaca. Lalu, kemanakah saat ini kita larungkan mimpi-mimpi yang kita punya ??

Thursday, October 01, 2009

Opera Dapur


Kesedihan karena gempa di Sumatera Barat sedikit terobati dengan tingkah laku putriku sore tadi. Kami, aku dan suami, baru saja mendapat 2 ekor ikan nila yang besar-besar, kira-kira 2 kilo seekor. Kami (baca: suami) menangkapnya memakai jaring kecil di kolam ikan milik mertua yang karena kemarau mengalami penyusutan sehingga menjadi dangkal. Air kolam akan penuh saat musim penghujan sehingga untuk mendapatkan ikan kami biasanya memancing. Bukan perkara yang gampang untuk memancing, karena ikan-ikan di kolam itu kurang doyan dengan kail beserta isinya . Apakah mereka telah banyak belajar dari pengalaman pendahulunya, apabila kau mendekati kail itu artinya hidupmu akan berakhir, kalau tidak di penggorengan , rebusan air, atau di dalam daun-daun yang membuatmu bertransformasi menjadi pepes. Ditambah lagi aku dan suami bukan tipe orang yang setia menguji kesabaran di depan kolam sembari bergelut dengan nyamuk-nyamuk kebun yang nakal.

Setelah ikan itu ditangkap dan dibersihkan, tibalah waktunya untuk dimasak. Kali ini sebagai teman berbuka puasa, aku meminta pada suami untuk digoreng. Terbayang goreng ikan nila bersama sambal mentah, akan menerbitkan air liur kami. Untuk melihat apakah air liur itu bertambah volumenya, cukup dengan mengajak suamiku berbicara tentang niat untuk memakan ikan goreng itu beserta sambal, maka akan ada kecipak air liur yang mencair dari suaranya saat menimpali perkataanku. Itu artinya air liur telah bertambah volumenya. Suamiku menggoreng ikan, dan saat itulah putriku menghampiri. Lalu terjadilah percakapan ringan antara ibu, ayah, dan anaknya. Bermula dari si adik yang pergi dengan kakek dan neneknya ke sebuah acara tanpa menyertakan si kakak, maka timbullah dialog-dialog di bawah ini :

Anak : “ Adik pergi kemana, Mi ?” ( bertanya ingin tahu, padahal seharusnya pertanyaan itu diajukan jauh sebelum nya, karena si kakak pulang sekolah sudah lama ).

Ibu : “ Kok baru nanya adik kemana ? Bukannya dari tadi ditanyain ? “ (Si Ibu menjawab sambil mengupas sebuah labu siam yang akan dikorbankan ke dalam air mendidih, sebagai teman makan ikan ).

Anak : “ Habis nggak kangen ,sih..” (si anak menjawab dengan ringan, sekedar info bahwa kadang-kadang kakak dan adik ini kurang akur dalam keseharian, sehingga yang satu kadang lebih suka ditinggal yang lain, terutama bila sedang bertengkar).

Ibu: “ Tapi kalo ummi pergi gak bilang kok suka ditangisi ?” (si Ibu bertanya lagi, sambil asyik memotong labu siam muda menjadi empat bagian).

Anak : “ Ya iyalah, kan ummi yang melahirkan Cikwo (panggilan untuk kakak). Jadi cikwo kangen kalo ummi pergi.” (si Anak menjawab dengan nada yang begitu meyakinkan, dan cukup mengharukan si ibu. Jawaban ini, tentu saja mengusik eksistensi si ayah yang lagi asyik menggoreng ikan nila gemuk itu. Sehingga si ayah tergelitik untuk menimpali.

Ayah: “ Kalo Abi pergi kangen gak ?” (si Ayah bertanya dengan harap-harap cemas akan jawaban si anak).

Anak :” Nggak, kan abi gak ngelahirin Cikwo.” (si Anak menjawab spontan, sepertinya tanpa berpikir panjang atau memang betul-betul tidak kangen ?? Masih jadi pertanyaan besar).

Ayah : “ Loh, Abi kan yang membuat ummi hamil ?” (si Ayah sengit menjawab karena terlanjur bĂȘte dengan jawaban si anak). Pada saat yang bersamaan si Ibu mendelik ke si Ayah untuk mengoreksi kata-katanya yang dirasa belum pantas untuk anak yang belum genap 6,5 tahun. Tiba-tiba si anak berlari ke arah ruang tengah sambil berteriak-teriak berulang-ulang : “ Apa Iyaa ??? Apa iyaa ???” (suaranya nyaring terdengar, lalu si anak kembali lagi berlari ke ayahnya dengan penjelasan yang cukup membuat si ayah kalah telak.

Anak : “ Abi itu salah !! Yang membuat ummi hamil itu Allah, yang membuat ummi melahirkan itu Allah, semua kan dari Allah !” (si anak menjawab bertubi-tubi dengan keyakinan tauhid yang begitu tinggi ). Tiba-tiba kami serentak tertawa terkekeh-kekeh.

Ibu: “ Subhanallah…Alhamdulillah.. jawaban Cikwo benar sekali, Cikwo pintar sekali yaa.. Subhanallah..!” ( Si Ibu menimpali dengan tasbih dan tahmid menyadari bahwa putri sulungnya berpikir demikian jauh memakai logika ketuhanan menurut umur dan persepsinya. Si ibu dan si ayah saling melirik dan tersenyum –pahit barangkali buat si ayah- karena potensi ke-ayahannya tidak diakui si anak . Tapi jauh di lubuk hati keduanya, terselip kebanggaan yang dapat di-iri-kan oleh orang tua lain, bahwa si anak sejak kecil telah tertanam tauhid rububiyahnya ). Maka nikmat Allah yang manahkah yang akan kami dustakan ? Demikianlah opera dapur itu, menambah nikmat puasa syawal kami pada hari ini.

Buat cinta ummi dan abi : kami bangga padamu, Nak


Minangkabau-ku Sayang, Minangkabau-ku Malang

Sekali lagi berita duka itu terulang. Ah.. tidak sampai hitungan berbulan-bulan rupanya bila Allah berkehendak menjungkirbalikkan hati kita dengan bencana. Kali ini daerah lain yang berakhiran Barat di pulau tempat asal harimau langka berada, Sumatera Barat, kembali diluluhlantakkan gempa, setelah kemarin kita tersedu sedan karena gempa di Tasikmalaya, Jawa Barat. Saat gempa ini terjadi, aku pun tengah sakit, ada benjolan bisul di kelopak mataku bagian dalam atau istilah kerennya hordeolum internum, bahasa merakyatnya timbilen atau bintitan.


Subhanallah, aku tahu pasti, sakitnya timbil ini –yang konon katanya dikarenakan suka mengintip- pasti tidak sesakit jiwa saudara-saudara kita di sana, yang boleh jadi sudah kehilangan banyak atau mungkin segalanya. Ada air yang merebak-rebak di pelupuk mataku yang tengah bengkak, menambah pedih mataku saat melihat seorang ibu dan beberapa anaknya menangis tersedu-sedu di pinggir jalan sambil menatap rumahnya yang sudah rata oleh tanah. "Nak, berdoa ya untuk Saudara-Saudara kita di sana supaya diberi kesabara." Aku berkata pada buah hatiku yang pertama,berumur 6 tahun lebih sedikit, saat kami bersama-sama melihat tayangannya di televisi. "Didoakan biar masuk surga, ya Mi.." Anakku menjawab dengan nada prihatin, saat mendengar pula banyak yang menjadi korban jiwa di sana. Aku mengamini perkataanya.


Para peneliti bilang, gempa ini kekuatannya 30 kali lebih kuat daripada gempa di Jogja. Guncangannya dapat dirasakan hingga ke Singapura dan Malaysia. Dapat dibayangkan apa yang terjadi di sana. Di Jogja, kurang lebih 5000 jiwa menemui Tuhannya,lalu sekarang ?? Sampai tulisan ini aku buat, perhitungan nyawa yang melayang sedang dalam progress nya. Aku tahu, seburuk apapun bencana itu, tentulah banyak hal yang bisa kita petik hikmahnya, entah itu untuk orang yang mengalami, atau kita yang hingga saat ini hanya bisa jadi penonton setia. Allah punya rahasia dari segala bencana, tanpa perlu kita banyak bertanya. Kehilangan, kesedihan, apapun itu bila tetap teriring keikhlasan, insyaAllah akan ada balasan yang jauhhh lebih besar dari Allah, di luar perkiraan kita manusia. Deep condolescence to all of my sisters and brothers there, in Minangkabau land. Ishbir, pertolongan Allah itu dekat.

Kusemat cinta berbalut doa di kedalaman samudera hati orang - orang terkasih.......