Thursday, October 01, 2009

Opera Dapur


Kesedihan karena gempa di Sumatera Barat sedikit terobati dengan tingkah laku putriku sore tadi. Kami, aku dan suami, baru saja mendapat 2 ekor ikan nila yang besar-besar, kira-kira 2 kilo seekor. Kami (baca: suami) menangkapnya memakai jaring kecil di kolam ikan milik mertua yang karena kemarau mengalami penyusutan sehingga menjadi dangkal. Air kolam akan penuh saat musim penghujan sehingga untuk mendapatkan ikan kami biasanya memancing. Bukan perkara yang gampang untuk memancing, karena ikan-ikan di kolam itu kurang doyan dengan kail beserta isinya . Apakah mereka telah banyak belajar dari pengalaman pendahulunya, apabila kau mendekati kail itu artinya hidupmu akan berakhir, kalau tidak di penggorengan , rebusan air, atau di dalam daun-daun yang membuatmu bertransformasi menjadi pepes. Ditambah lagi aku dan suami bukan tipe orang yang setia menguji kesabaran di depan kolam sembari bergelut dengan nyamuk-nyamuk kebun yang nakal.

Setelah ikan itu ditangkap dan dibersihkan, tibalah waktunya untuk dimasak. Kali ini sebagai teman berbuka puasa, aku meminta pada suami untuk digoreng. Terbayang goreng ikan nila bersama sambal mentah, akan menerbitkan air liur kami. Untuk melihat apakah air liur itu bertambah volumenya, cukup dengan mengajak suamiku berbicara tentang niat untuk memakan ikan goreng itu beserta sambal, maka akan ada kecipak air liur yang mencair dari suaranya saat menimpali perkataanku. Itu artinya air liur telah bertambah volumenya. Suamiku menggoreng ikan, dan saat itulah putriku menghampiri. Lalu terjadilah percakapan ringan antara ibu, ayah, dan anaknya. Bermula dari si adik yang pergi dengan kakek dan neneknya ke sebuah acara tanpa menyertakan si kakak, maka timbullah dialog-dialog di bawah ini :

Anak : “ Adik pergi kemana, Mi ?” ( bertanya ingin tahu, padahal seharusnya pertanyaan itu diajukan jauh sebelum nya, karena si kakak pulang sekolah sudah lama ).

Ibu : “ Kok baru nanya adik kemana ? Bukannya dari tadi ditanyain ? “ (Si Ibu menjawab sambil mengupas sebuah labu siam yang akan dikorbankan ke dalam air mendidih, sebagai teman makan ikan ).

Anak : “ Habis nggak kangen ,sih..” (si anak menjawab dengan ringan, sekedar info bahwa kadang-kadang kakak dan adik ini kurang akur dalam keseharian, sehingga yang satu kadang lebih suka ditinggal yang lain, terutama bila sedang bertengkar).

Ibu: “ Tapi kalo ummi pergi gak bilang kok suka ditangisi ?” (si Ibu bertanya lagi, sambil asyik memotong labu siam muda menjadi empat bagian).

Anak : “ Ya iyalah, kan ummi yang melahirkan Cikwo (panggilan untuk kakak). Jadi cikwo kangen kalo ummi pergi.” (si Anak menjawab dengan nada yang begitu meyakinkan, dan cukup mengharukan si ibu. Jawaban ini, tentu saja mengusik eksistensi si ayah yang lagi asyik menggoreng ikan nila gemuk itu. Sehingga si ayah tergelitik untuk menimpali.

Ayah: “ Kalo Abi pergi kangen gak ?” (si Ayah bertanya dengan harap-harap cemas akan jawaban si anak).

Anak :” Nggak, kan abi gak ngelahirin Cikwo.” (si Anak menjawab spontan, sepertinya tanpa berpikir panjang atau memang betul-betul tidak kangen ?? Masih jadi pertanyaan besar).

Ayah : “ Loh, Abi kan yang membuat ummi hamil ?” (si Ayah sengit menjawab karena terlanjur bĂȘte dengan jawaban si anak). Pada saat yang bersamaan si Ibu mendelik ke si Ayah untuk mengoreksi kata-katanya yang dirasa belum pantas untuk anak yang belum genap 6,5 tahun. Tiba-tiba si anak berlari ke arah ruang tengah sambil berteriak-teriak berulang-ulang : “ Apa Iyaa ??? Apa iyaa ???” (suaranya nyaring terdengar, lalu si anak kembali lagi berlari ke ayahnya dengan penjelasan yang cukup membuat si ayah kalah telak.

Anak : “ Abi itu salah !! Yang membuat ummi hamil itu Allah, yang membuat ummi melahirkan itu Allah, semua kan dari Allah !” (si anak menjawab bertubi-tubi dengan keyakinan tauhid yang begitu tinggi ). Tiba-tiba kami serentak tertawa terkekeh-kekeh.

Ibu: “ Subhanallah…Alhamdulillah.. jawaban Cikwo benar sekali, Cikwo pintar sekali yaa.. Subhanallah..!” ( Si Ibu menimpali dengan tasbih dan tahmid menyadari bahwa putri sulungnya berpikir demikian jauh memakai logika ketuhanan menurut umur dan persepsinya. Si ibu dan si ayah saling melirik dan tersenyum –pahit barangkali buat si ayah- karena potensi ke-ayahannya tidak diakui si anak . Tapi jauh di lubuk hati keduanya, terselip kebanggaan yang dapat di-iri-kan oleh orang tua lain, bahwa si anak sejak kecil telah tertanam tauhid rububiyahnya ). Maka nikmat Allah yang manahkah yang akan kami dustakan ? Demikianlah opera dapur itu, menambah nikmat puasa syawal kami pada hari ini.

Buat cinta ummi dan abi : kami bangga padamu, Nak


No comments:

Kusemat cinta berbalut doa di kedalaman samudera hati orang - orang terkasih.......