Beberapa waktu yang lalu secara sadar aku telah menggantikan aktivitas blogging dan facebooking dengan membaca. Kegiatan yang dulu pernah kucintai pada suatu masa ini cukup menyita waktuku, sehingga memunculkan syaraf engganku menyentuh internet dan isinya. Kucuri waktu di sela-sela mengurusi keluarga untuk membaca buku, bahkan saat menyusui si kecil yang tidak bisa protes melihat ibunda asik memegang buku, sementara dia meringkuk di bawah ketiak memuaskan dahaga. Tak pelak, karena membaca buku ini terpotong-potong di antara rengekan, tangisan, dapur dan tetek bengek lainnya, maka butuh waktu kurang lebih seminggu untuk menuntaskan buku ini. Waktu yang terlalu lama sebenarnya buatku untuk mencerna sebuah buku. Bukan hal yang berlebihan bila aku terus menerus membaca buku, karena memang sampai detik ini aku masih belum punya aktivitas ‘lain’ yang berbau aktualisasi diri atau bahasa sederhananya masih 'jobless'. Cukup kusyukuri, karena banyak juga yang ternyata menginginkan semboyan 'everyday is holiday' ini. Hal ini juga dalam rangka membalas bolongnya waktu kebersamaanku dengan keluarga di tahun yang lalu karena harus menjadi mahasiswa S2 di benua Aborigin. Masih belum impas barangkali. Ada lembaran hidup anak-anakku yang pernah kosong dari sentuhan ibunya.
Buku pertama yang kubaca adalah Angela’s Ashes. Judulnya menarik. Kalau diartikan ke bahasa Indonesia kurang lebih Abu nya Angela. Buku karya Frank McCourt setebal 616 halaman yang dinobatkan sebagai international bestseller dan dianugerahi penghargaan Pulitzer (suatu penghargaan bergengsi internasional di bidang jurnalistik) telah memikat hatiku. Thumb up buat Pak McCourt, yang mengangkat kisah hidupnya dalam buku ini serta sekaligus sebagai tokoh sentral buku ini. Angela sendiri adalah nama ibu McCourt, yang apabila merasakan suatu kesedihan mendalam dia akan berbaring menghadap perapian sambil menatap abu perapian yang telah padam.Dari sinilah judul buku ini berasal.
Ilustrasi perjalanan hidup McCourt sebagai seorang anak Irish yang miskin, menderita dan agak religius tergambar apik dalam bahasa buku ini. Menyikapi kemiskinan dengan kepolosan kanak-kanak, yang tak berharap terlalu muluk kecuali dapat memenuhi kebutuhan yang paling mendasar sebagai makhluk yaitu makan. Kelaparan jua yang memaksanya untuk menjadi pencuri kecil-kecilan, atau melakukan ketidakjujuran 'ringan' demi mengganjal perutnya dan adik-adiknya.
Membaca buku ini, kita seperti di ajak masuk ke dimensi yang sungguh sulit dibayangkan di tengah pertikaian yang tak kunjung usai antara Irish dan British.
Latar belakang budaya yang berbeda dengan adat ketimuran tapi membungkus kesamaan nasib sekelompok umat di seluruh dunia yang menyandang predikat miskin dalam arti sebenarnya , membuatku gemas. Ayah pemabuk dan menghabiskan sebagian besar uangnya untuk sejenak melupakan permasalahan hidup dengan minum minuman keras –yang notabene sudah membudaya di tempatnya. Ibu yang satu persatu kehilangan anak-anaknya yang mati secara tragis dalam pelukan sendiri karena kebodohan dan ketidakpedulian yang keterlaluan. Keluarga besar yang tidak bisa saling peduli dan mengasihi di tengah penderitaan, serta keangkuhan para elit religi yang mendiskriminasi orang-orang miskin seakan tidak layak masuk surga padahal mereka seharusnya menjadi rujukan umatnya. Semua itu adalah hal-hal menyedihkan yang di bawa McCourt menemui pembacanya. Miris.
Buku pertama yang kubaca adalah Angela’s Ashes. Judulnya menarik. Kalau diartikan ke bahasa Indonesia kurang lebih Abu nya Angela. Buku karya Frank McCourt setebal 616 halaman yang dinobatkan sebagai international bestseller dan dianugerahi penghargaan Pulitzer (suatu penghargaan bergengsi internasional di bidang jurnalistik) telah memikat hatiku. Thumb up buat Pak McCourt, yang mengangkat kisah hidupnya dalam buku ini serta sekaligus sebagai tokoh sentral buku ini. Angela sendiri adalah nama ibu McCourt, yang apabila merasakan suatu kesedihan mendalam dia akan berbaring menghadap perapian sambil menatap abu perapian yang telah padam.Dari sinilah judul buku ini berasal.
Ilustrasi perjalanan hidup McCourt sebagai seorang anak Irish yang miskin, menderita dan agak religius tergambar apik dalam bahasa buku ini. Menyikapi kemiskinan dengan kepolosan kanak-kanak, yang tak berharap terlalu muluk kecuali dapat memenuhi kebutuhan yang paling mendasar sebagai makhluk yaitu makan. Kelaparan jua yang memaksanya untuk menjadi pencuri kecil-kecilan, atau melakukan ketidakjujuran 'ringan' demi mengganjal perutnya dan adik-adiknya.
Membaca buku ini, kita seperti di ajak masuk ke dimensi yang sungguh sulit dibayangkan di tengah pertikaian yang tak kunjung usai antara Irish dan British.
Latar belakang budaya yang berbeda dengan adat ketimuran tapi membungkus kesamaan nasib sekelompok umat di seluruh dunia yang menyandang predikat miskin dalam arti sebenarnya , membuatku gemas. Ayah pemabuk dan menghabiskan sebagian besar uangnya untuk sejenak melupakan permasalahan hidup dengan minum minuman keras –yang notabene sudah membudaya di tempatnya. Ibu yang satu persatu kehilangan anak-anaknya yang mati secara tragis dalam pelukan sendiri karena kebodohan dan ketidakpedulian yang keterlaluan. Keluarga besar yang tidak bisa saling peduli dan mengasihi di tengah penderitaan, serta keangkuhan para elit religi yang mendiskriminasi orang-orang miskin seakan tidak layak masuk surga padahal mereka seharusnya menjadi rujukan umatnya. Semua itu adalah hal-hal menyedihkan yang di bawa McCourt menemui pembacanya. Miris.
Tapi di balik semua itu, di balik kenakalannya sebagai remaja, yang secara sadar melepas keperjakaannya di usia belum genap 17 setelah sebelumnya secara vulgar menceritakan hobinya mencari kenikmatan seksual dengan cara manual, McCourt adalah sosok yang punya mimpi, tekad dan usaha. Kegemarannya membaca sejak kecil adalah salah satu modal besar yang akan menuntunnya menemukan jalan sebagai penulis kelak. Semangat dan mimpi untuk lepas dari belenggu kemiskinan itulah kiranya yang patut kita acungi jempol. Dia tidak ingin bersahabat dengan kemiskinan dan kebodohan seumur hidupnya. Mimpi itulah kelak yang melarungkan asa McCourt untuk mengadu nasib di belantara Amerika. Sebuah buku yang memang layak untuk dibaca. Lalu, kemanakah saat ini kita larungkan mimpi-mimpi yang kita punya ??
No comments:
Post a Comment