Wednesday, June 30, 2010

A Thousand Splendid Suns

Mariam. Seorang perempuan sederhana yang terlatih sejak dini menyembunyikan lara seberapapun beratnya. Yang mampu mengatupkan mulutnya tanpa bicara menghadapi deraan pedih jiwa dan raga. Aziza. Seorang perempuan cerdas namun kandas oleh takdir yang membawanya pada pengalaman hidup pahit dan berliku hingga kembali menemukan cinta’lama’ yang dimaknai dengan lebih dewasa.

Dua tokoh wanita dengan latar belakang budaya dan carut marut nya pemerintah Afghanistan tersebut digambarkan dengan apik oleh si pengarang buku, Khaled Hossein. Spektakuler. Bahasa yang dipakai adalah bahasa jiwa, yang menurutku hanya dapat dipahami oleh jiwa pula. Aku tersenyum saat suamiku berkomentar,” Baca sekilas aja ngga paham isinya ngomong apa.” Yah..gaya bahasa yang dituturkan penulis tidak serta merta akan disukai oleh tipe orang-orang lugas dan tidak bertele-tele dalam berbahasa. Kenyataannya buku itu mampu menyedot perhatianku sejenak dari aktivitas lain. Uff…tugas-tugas sekolah jadi agak tertunda hanya untuk buku itu.

Mariam dan Aziza dipertemukan oleh takdir, dimana keduanya masuk dalam skenario pengarang untuk menjadi isteri dari pria yang sama, seorang pria lanjut usia yang ter-stigma sebagai lelaki kasar, egois, dan tidak berperasaan. Keduanya terpuruk di dalam kooptasi seorang laki-laki yang hanya memberikan kontribusi kecil pada kebahagiaan hidup mereka, namun secara tidak langsung menjadi perantara bagi kuatnya jiwa dan kayanya pengalaman batin yang dipunya. Yah..kaya dengan derita.

Perasaan senasib membawa keduanya ke dalam ikatan jiwa yang indah, walaupun pada awalnya kebencian dan prasangka menjadi bagian dari perkenalan kedua wanita yang beda usia nya terpaut jauh tersebut. Tariq. Laki-laki cinta yang dibawa Aziza dalam setiap desah napasnya untuk beberapa saat hilang dari kehidupannya selama menjadi isteri Rasheed, tiba-tiba kembali muncul masih membawa cinta yang sama seperti sejak mereka kanak-kanak. Happy ending pada akhirnya untuk kedua wanita tersebut, tapi penetapan bahagia itu dijalani dengan cara berbeda. Aziza kembali bersatu dengan Tariq, sementara Mariam menemukan kebahagiaan lain di tiang gantungan karena menghilangkan nyawa Rasheed, matahari bagi Zalmai, buah hati Aziza dan Rasheed. Hukuman itu layak menurut Mariam, dan tidak ada penyesalan sesudahnya, karena dia pernah merasakan bahagia di dalam hidupnya saat bersama Aziza beserta anak-anaknya.

Well, hidup adalah skenario besar yang sudah ditetapkan Pencipta. Memaknai setiap peristiwa dengan kacamata ilahiyah adalah tuntutan untuk sebuah kedewasaan dalam arti sebenarnya. Hidup hanyalah pilihan sejak pertama kali mata kita mampu membuka hingga kegelapan pada akhirnya. Setiap pilihan dituntut sebuah pertanggungjawaban. Pertanyaannya, siapkah kita dengan pertanggungjawaban itu ??












Saturday, June 26, 2010

17 Juni 1978 - 17 Juni 2010

Sepertinya banyak momen-momen penting kulewatkan selama beberapa waktu ini, yang seharusnya akan lebih baik bila kurekam lewat tulisan. Entahlah, nafsu menulis ku masih belum muncul dan menengadahkan inginnya pada blog ini. Miladku sudah berlalu. Jujur, aku ngeri dengan itu.

Bersyukur tetap aku lakukan bahwa hidup sudah bisa sampai di sini. Tapi masih banyak tanya yang kuseret di setiap perjalanannya. Berkah tidak usia yang sudah berlalu sekian lama ? Lalu apa yang akan terjadi dengan usia yang masih tersisa ? Sungguh aku tidak ingin merayakan kesia-siaan itu dengan mengajak orang lain bersenang-senang. Sesuatu yang semu. Tidak ada perayaan. Sepi. Aku hanya ingin doa tulus tak berbalas yang dapat membuatku lebih optimis menatap asa di depan.

Seandainya akhir hidup terbaik dapat kuketahui sejak saat ini, betapa tidak akan pernah kurasakan batu-batu menggayut di pundak masa. Berat. Introspeksi untuk mencari hakikat diri masih belum dapat sempurna kuurai di setiap episode cerita. Masih banyak bab-bab terlalui dengan hampa. Sementara langkah harus terus berkejaran dengan takdir untuk berhenti pada satu noktah yang masih absurd di alamku. Perlahan tapi pasti aku mendekatinya dengan seribu prasangka.

Usia tidak lagi muda, kesempatan yang tersisa begitu terbatasnya dibanding harap untuk banyak hal yang masih di angan. Waktu…detik demi detik mu menggilas kesadaranku untuk tetap tunduk, tapi di waktu yang lain dalam sekejap hilang tergantikan euforia yang melenakan pada dunia. Ringkihnya diri ini. Waktu…biarkan saat ini aku mengeja-mu, menyusun kembali carut marut huruf yang terbata keluar dari ketidakberdayaan sebagai seorang hamba. Beri aku kesempatan belajar membacamu dengan dengan artikulasi yang jelas, sempurna, dan bermakna di setiap lembarnya. Agar kelak penyesalan itu tidak pernah menempati posisinya dimanapun di ruang hatiku. Semoga.
Kusemat cinta berbalut doa di kedalaman samudera hati orang - orang terkasih.......