Mariam. Seorang perempuan sederhana yang terlatih sejak dini menyembunyikan lara seberapapun beratnya. Yang mampu mengatupkan mulutnya tanpa bicara menghadapi deraan pedih jiwa dan raga. Aziza. Seorang perempuan cerdas namun kandas oleh takdir yang membawanya pada pengalaman hidup pahit dan berliku hingga kembali menemukan cinta’lama’ yang dimaknai dengan lebih dewasa.
Dua tokoh wanita dengan latar belakang budaya dan carut marut nya pemerintah Afghanistan tersebut digambarkan dengan apik oleh si pengarang buku, Khaled Hossein. Spektakuler. Bahasa yang dipakai adalah bahasa jiwa, yang menurutku hanya dapat dipahami oleh jiwa pula. Aku tersenyum saat suamiku berkomentar,” Baca sekilas aja ngga paham isinya ngomong apa.” Yah..gaya bahasa yang dituturkan penulis tidak serta merta akan disukai oleh tipe orang-orang lugas dan tidak bertele-tele dalam berbahasa. Kenyataannya buku itu mampu menyedot perhatianku sejenak dari aktivitas lain. Uff…tugas-tugas sekolah jadi agak tertunda hanya untuk buku itu.
Mariam dan Aziza dipertemukan oleh takdir, dimana keduanya masuk dalam skenario pengarang untuk menjadi isteri dari pria yang sama, seorang pria lanjut usia yang ter-stigma sebagai lelaki kasar, egois, dan tidak berperasaan. Keduanya terpuruk di dalam kooptasi seorang laki-laki yang hanya memberikan kontribusi kecil pada kebahagiaan hidup mereka, namun secara tidak langsung menjadi perantara bagi kuatnya jiwa dan kayanya pengalaman batin yang dipunya. Yah..kaya dengan derita.
Perasaan senasib membawa keduanya ke dalam ikatan jiwa yang indah, walaupun pada awalnya kebencian dan prasangka menjadi bagian dari perkenalan kedua wanita yang beda usia nya terpaut jauh tersebut. Tariq. Laki-laki cinta yang dibawa Aziza dalam setiap desah napasnya untuk beberapa saat hilang dari kehidupannya selama menjadi isteri Rasheed, tiba-tiba kembali muncul masih membawa cinta yang sama seperti sejak mereka kanak-kanak. Happy ending pada akhirnya untuk kedua wanita tersebut, tapi penetapan bahagia itu dijalani dengan cara berbeda. Aziza kembali bersatu dengan Tariq, sementara Mariam menemukan kebahagiaan lain di tiang gantungan karena menghilangkan nyawa Rasheed, matahari bagi Zalmai, buah hati Aziza dan Rasheed. Hukuman itu layak menurut Mariam, dan tidak ada penyesalan sesudahnya, karena dia pernah merasakan bahagia di dalam hidupnya saat bersama Aziza beserta anak-anaknya.
Well, hidup adalah skenario besar yang sudah ditetapkan Pencipta. Memaknai setiap peristiwa dengan kacamata ilahiyah adalah tuntutan untuk sebuah kedewasaan dalam arti sebenarnya. Hidup hanyalah pilihan sejak pertama kali mata kita mampu membuka hingga kegelapan pada akhirnya. Setiap pilihan dituntut sebuah pertanggungjawaban. Pertanyaannya, siapkah kita dengan pertanggungjawaban itu ??
4 comments:
Kayanya sastra dengan setting Afghan selalu tidak bisa dinikmati dalam suasana tergesa-gesa deh, Yun. Aku belum baca Thousand Splendid Sun ini, tapi Kite Runner cocok bener sama deskripsimu. Mungkin malah pengarang yang sama, aku nggak inget.
Just now it....!
He was the same guy who wrote Kite Runner. Ga heran deskripsi alur ceritanya persis yang elu deskripsiin..
Must have then!
gw dah tau lama kalo pengarang nya sama Rip..cuma kite runner nya pinjem film nya aja gak baca bukunya, tapi dipinjam juga belum ditonton..
Lu kasih komen kalo nonton filmnya Rip.. sama gak ma bukunya. Tapi biasanya sih..beda, buku lebih melatih otak kita berimajinasi tanpa batas dibanding visual.. ujung2 nya mesti kita bilang buku lebih bagus deh daripada film.
kalo ada bukunya ngapain nonton filemnya....!
Post a Comment