Sunday, December 26, 2010

Harap dan Jawab

Perasaan malas menulis merupakan momok untuk seorang penulis..well, apa iya diriku sudah jadi penulis?? Mmm…sebuah mimpi yang entah kapan terwujud dalam karya nyata. Sebuah buku. Paling tidak. Biarlah untuk sementara aku menjauh dari keluh kesah yang sudah basi itu. Terlalu sering angan itu kuurai tapi kenapa hanya dalam mimpi ??

Mungkin sudah cukup dengan kebahagiaan apa-apa yang Allah beri saat ini. Jangan pernah berhenti untuk bersyukur Yuni…, syukur itu mahal harganya. Lihatlah semua pinta itu terkabul bahkan diberi bonus pula sama Allah. Harapan jadi dosen FK terkabul dengan diterimanya jadi CPNS periode tahun ini, lalu beasiswa dari Kementrian Pendidikan Nasional untuk sekolah spesialis ini, lalu tak habis pula Allah beri calon buah hati ke-4 ini. Walaupun untuk berkah yang terakhir ini jauh dari dugaan. Tetap semua tidak terjadi secara kebetulan, karena skenario Allah jualah semua terjadi. Sekali lagi, bukan untuk disesali. Lalu nikmat Allah manakah yang bisa aku dustakan ?? Suami hebat, anak-anak yang membanggakan, keluarga yang saling menyayangi….kesehatan…kemurahan rezeki…kemudahan urusan….

Aku tidak ingin berlebihan mengapreseasi semua itu. Bukan dengan potong sapi atau potong kambing, karena aku merasa itu awal untuk sebuah amanah yang berat. Menjadi abdi negara dalam mendidik calon-calon dokter masa depan lalu menjadi ibu untuk generasi baru yang akan kulahirkan nanti, sementara tiga orang lagi masih harus terus kubersamai. Dengan setumpuk tugas anak sekolah, setumpuk tugas ibu rumah tangga, setumpuk tugas sebagai hamba, semua mencari hak nya yang berserakan untuk dirangkum dalam keseimbangan. Berkejaran dengan waktu. Tanpa suami di sisi, tapi sungguh dukungan dan doa beliau dari jauh sudah cukup berarti.

Banyak hal yang masih belum rampung kupelajari. Kesabaran. Ketabahan. Pengorbanan. Kesetiaan. Keikhlasan. Kesyukuran. Semua adalah kata kunci mengarungi hidup ini. Bukan banyak yang kupinta, cukup kan aku dengan semua yang ada Wahai Pemberi Cinta, agara aku semakin paham bagaimana memaknai keterbatasan sebagai hamba. Terlalu banyak kekurangan diri terungkap saat berkah itu meluap membanjiri asa. Tetapkankan lah langkahku ke sana. Keababadian itu yang baka.

Srowolan, 25 Desember 2010

Thursday, November 04, 2010

Rapuh

(song by: Opick)

Detik waktu terus berjalan berhias gelap dan terang
Suka dan duka , tangis dan tawa, tergores bagai lukisan

Seribu mimpi berjuta sepi
Hadir bagai teman sejati

Di antara lelahnya jiwa dalam resah dan air mata
Kupersembahkan yang terindah dalam hidupku

Meski ku rapuh dalam langkah
Kadang tak setia kepada Mu
Namun cinta dalam jiwa hanyalah pada Mu

Maafkanlah bila hati tak sempurna mencintai Mu
Dalam dada kuharap hanya diri Mu yang bertahta

Detik waktu terus berlalu
Semua berakhir pada Mu

Membaca Merapi

Pagi itu…Sabtu, 30 Oktober 2010 merupakan hari bersejarah untuk ku dan penduduk Jogja pada umumnya. Lihatlah, warna kelabu mendominasi hampir seluruh jengkal tanah Jogja, sekelabu hati-hati kami saat itu.

Merapi tengah menggeliat dari tidurnya, terjaga untuk memenuhi titah Tuhannya dalam rangka merangkaikan takdir dengan kehidupan anak manusia. Sayang, kadangkala keselarasan yang hendak dijalin alam diartikan salah oleh kita. Sungguh, saat ini alam tengah mengaktualisasikan dirinya di tengah masa dan massa sebagai pengingat ampuh terhadap kesombongan manusia. Itulah kiranya perandaian yang lebih sesuai menurutku daripada bahasa merusak yang akan dikonotasikan jahat oleh semua pihak.

Pagi itu kembali kurasakan gigil yang menggigit dan mencubit kesadaranku tentang waktu. Kapanpun, akhir dunia itu adalah sesuatu yang baku dengan segudang cerita kengerian tak terperi tentang gunung yang tercerabut dan diterbangkan layaknya kapas tertiup angin. Terseret-seret pada segala kelemahan yang disandingkan pada perkasanya fenomena alam, membuat ku tak malu untuk meraung sepanjang perjalanan pagi itu menuju rumah sakit tempatku menuntut ilmu. Berkecamuk rasa di dada yang sulit untuk kuungkap lewat kata. Lunglai raga, letih jiwa. Helmku kabur..tertutup abu bercampur air mata yang memerihkan mata, namun tak seperih jiwaku saat itu. Aku mencoba lamat-lamat mengeja alam dengan bahasa keimanan yang tak seberapa ini.

Gunung itu..sekuat dan sehebat apapun tak sanggup memikul beban amanah menjadi pewaris bumi sesungguhnya..lalu manusialah yang terpilih pada akhirnya. Tapi hal tersebut tidak serta merta akan membuat manusia lebih digdaya… Lihatlah…manusia begitu tanpa daya saat awan panas menyapu kehidupan yang selama ini lelah dijaga dan diperjuangkan dengan keringat, air mata, dan seribu pengorbanan lainnya.

Jarak tempat tinggalku dengan sang perkasa itu tidak lebih dari 20 km, radius yang masih “aman” untuk saat ini, tapi entah esok hari. Sang Penguasa alam mempunyai skenario luar biasa untuk seluruh ciptaan Nya,pun termasuk beberapa gunung-gunung lain yang ikut tergelitik untuk beraktivitas yang sama dengan Merapi. Tentu semua ini terjadi dengan tujuan… yang kadang di luar kekuasaan manusia untuk memahaminya. Hingga tulisan ini kubuat, Merapi masih menggeliat entah sampai kapan.

Srowolan, Awal November 2010

Thursday, September 23, 2010

Kematian


Kematian…Betapa kadang kalimat itu terasa asing dan menakutkan. Saat diri menyadari bahwa hidup ada masanya, bahwa masa sendiri akan membatasi hak nya untuk tetap ada. Terputus sudah kenikmatan itu sampai pada titik dimana kita tidak mampu menyangkalnya. Kesepian panjang itu akan kita jelang tanpa tahu gelap atau benderangkah warna yang menyertai sepi itu. Hari ini, kembali kueja kematian di dalam episode hidup seorang bude…

Menyentakkan kembali langkah yang kadang lena pada dunia. Semua akan ada akhirnya. Perjumpaan, perpisahan adalah irama yang terjadi di luar kehendak kita. Ukuran-ukuran nisbi tidak akan pernah bisa memprediksi cepat atau lambat itu terjadi. Tiba-tiba dan menyesakkan. Siap atau tidak - meninggalkan dan ditinggalkan itu adalah kepastian. Sungguh, bukan kematian itu sendiri yang terkadang membuatku ciut nyali, tapi kehidupan setelah kematian yang masih misteri lah yang membuatku ngeri.

Bila kematian itu kubaca dalam keimanan yang belum seberapa ini, lunglai rasanya. Hasrat hati begitu besar untuk dapat sempurna menjalani dunia dalam rangka ketaatan pada Nya, tapi pada saat yang sama kemalasan terlalu berkuasa pada jiwa. Pemaafan diri menjadi tameng nafsu yang masih dengan sadar kuikuti. Munafikkah aku , Tuhan ? Sementara itu dengan senyap… mengendap… tanpa suara, dalam diam… perlahan….bayang kematian itu mengikuti. Lalu kemana aku akan berlari ?? Tidak ada satupun dinding yang dapat mengisolasi wujud dari maut. Aku tergugu. Berkecamuk rasa di dada tanpa kata.

Isakku di sore yang basah itu……
Tuhan, aku ingin saat kematian itu menyergap hanya nama-Mu lah yang terucap.

Thursday, August 05, 2010

Ikrar pada Masa

Pencuri kehangatan itu telah berlalu. Sepi. Air mata saat itu menganak merelakan sebentuk perpisahan yang harus dapat kami tangguhkan nyerinya. Kali ini aku tengah berkejaran dengan waktu. Klise.

Rekaman memori keindahan, kedukaan,saat-saat mata cinta itu bersinar, akan tetap jelas hidup dalam rentang ribuan kilo jarak yang memisahkan. Saat itu aku berpesan, tetaplah aku dikenang dalam kesendirian. Pesona sakinah yang lahir dari ketulusan kami simpan dalam belenggu kepercayaan tingkat tinggi di haribaan Sang Pemilik Janji. Tak perlu diucapkan, tapi jiwa telah saling menggenggam, itu lebih dari cukup untuk mengungkapkan betapa kesetiaan itu tidak serta merta dapat ditakar dan ditukar dengan materi yang relatif kadarnya.

Jarak bukan belenggu, waktu juga bukanlah perancu. Aku hidup dalam bayang-bayang cinta yang selalu dihembuskan disetiap desah napasnya, begitu pun sebaliknya. Sementara buah-buah cinta itu mengawal setiap langkah kami untuk tetap kembali. Pengorbanan menjadi kata ajaib yang memicu ketulusan untuk berbuat. Harganya mahal, pun memaknai perpisahan dengan kelapangan dada bukanlah perkara membalik telapak tangan. Menekan sekuat-kuatnya rindu yang menyeruak mencari ruang nafas lega di antara tarikan senyumnya sungguh tidak mudah. Berdamai dengan kesendirian raga yang sejatinya tertaut pada suatu raga yang lain, akan melelahkan pada suatu masa.

Pencuri kehangatan itu telah berlalu. Sementara tentu. Kutahankan semua rasa untuk sesuatu yang lebih besar pada akhirnya. Pada sebuah kalimat yang kupinjam dari Mbak Helvy, kuucap lagi padamu saat ini saat raga bertemu hanya di alam maya. Sungguh, aku hanya ingin menikahi jiwamu selalu.

PA, Awal Agustus 2010

Dwilogi Padang Bulan

Apa kabarmu hari ini, Kawan ?? Rasanya kepenatan itu membutuhkan jenak, sekedar jeda dalam mengarungi hidup. Kali ini kuajak Kawan untuk tersenyum sekaligus tertawa segar menikmati secangkir humor-humor khas nuansa melayu pada Dwilogi Padang Bulan – goresan budaya dalam cerita – yang dengan indah mengular di setiap goresan pena (baca: tuts keyboard.red) Andrea Hirata.

Buku ini adalah buku yang pertama kali kupegang saat memasuki toko buku diskon di kota Jogja ini di suatu sore yang basah. Sungguh, hanya dengan membaca nama pengarang aku bisa terhipnotis untuk membelinya.Begitu kuat daya pikat setiap kalimat yang lahir dari pikiran makhluk melayu satu ini. Ditambah lagi, lihatlah amboi.. uniknya sampul buku itu, depan-belakang oke, ibarat tarian dwimuka-nya Dhidhik Nini Towok.

Walaupun setting cerita tidak jauh berbeda dengan tetralogi sebelumnya, dimana pemeran utamanya adalah Ikal dan Maryamah ( nama untuk judul tetralogi yang paling terakhir keluar) ditambah dengan pemain-pemain baru lainnya, buku ini masih tetap layak untuk mendapat pujian. Tidak salah barangkali bila tetralogi dan dwilogi buku tersebut kelak digabung menjadi satu lalu lahirlah heksalogi (maksa.com).

Suamiku sampai heran saat melihatku tertawa terbahak-bahak tanpa henti saat membaca buku itu. Kalimat – kalimat yang menggelitik syaraf geli itu yang selalu ingin kucari di setiap barisnya. Humor yang mengalir tanpa paksaan tanpa basa-basi. Semacam candu menurutku. Hebat!

Sudah menjadi ciri khas, di setiap ceritanya, Andrea ingin berbagi semangat dengan para pembaca. Pesan moral selalu disampaikan dalam bahasa universal berbau Islam (tapi bukankah Islam sendiri bersifat universal ? Rasanya tidak perlu diperdebatkan). Semangat yang dapat membuat orang percaya bahwa sesuatu yang dirasa tidak mungkin bukanlah mustahil saat kita yakin bahwa kita mampu melakukannya. Bagaimana Enong alias Maryamah, seorang wanita perkasa baik fisik maupun mental berpantang untuk menyerah pada nasib (istilah yang umum dikonotasikan kepada nasib yang kurang beruntung) dituturkan dengan baik oleh penulis.

Penempatan sudut pandang yang berubah-ubah sesuka hati di setiap bab tanpa memberikan identitas jelas siapa pelakunya, membuat buku ini semakin unik menurutku. Layak kiranya karya spektakuler penulis sebelumnya seperti Laskar Pelangi dialihbahasakan agar dapat dinikmati oleh penduduk dunia di belahan bumi yang berbeda. Lihatlah, judulnya alih rupa menjadi Troops of Rainbow, gagah bukan kedengarannya??! Akan tetapi, melihat ruh latar belakang budaya melayu yang selalu ditiupkan pada buku-bukunya, sepertinya aku pesimis buku itu mampu memikat pembaca yang tidak mempunyai keterikatan ras yang sama dengan penulis. Hei, tapi tunggu dulu, aku jadi ingat buku-buku lain yang kubaca dengan latar belakang budaya beraneka ragam, mulai dari budaya Irlandia, Myanmar, Afganistan, Palestina, dan Pakistan, aku dapat kembali optimis hal tersebut bukanlah halangan yang berarti karena nyatanya aku tetap bisa tersihir dengan buku-buku tersebut. Bukumu dapat membawamu berkelana menembus batas, ruang, dan waktu. Membuatmu merdeka dari belenggu materi yang membatasi.

Kembali kepada isi buku Dwilogi Padang Bulan ini. Ada bagian yang sama sekali aku tidak pahami dan memang aku tidak berniat memahaminya yaitu tentang bagaimana permainan catur itu dijalankan dan dimainkan dengan berbagai macam model yang membingungkan. Aku buta sama sekali. Bila seorang GM membaca buku ini mungkin paham apa kelemahan teknis yang dibicarakan penulis tentang catur yang sekiranya dapat menjadi titik lemah penulis itu sendiri. Tapi aku tidak butuh itu, aku hanya butuh semangat yang mengalir di setiap kalimat penulis dalam mendramatisir setiap langkah-langkah catur yang sedang dimainkan dengan metafora-metafora di luar jaungkauan pikiranku. Itu sudah cukup. Walau sedikitpun aku tak tahu bagaimana perangkat-perangkat catur itu bekerja, anehnya aku dapat larut menanti dengan debaran dan keingintahuan seperti apa kelak si penulis menetapkan nasib karakter pemain-pemain catur tersebut, hingga kemudian Maryamah meraih kemenangan telak di atas papan catur yang serta merta meruntuhkan arogansi sang mantan suami. Satu lagi poin keunggulan di tunjukkan sang penulis.

Bumbu-bumbu romansa yang ditutup rapat dengan kesopanan budaya melayu menjadi bunga buku ini. Biarlah harap cinta itu tetap digantung dalam kesendirian bujang lapuk seorang Ikal. Tanpa berpanjang-panjang mengapreseasi buku ini, ada baiknya bila langsung Anda baca tanpa perlu bertanya.

Wednesday, June 30, 2010

A Thousand Splendid Suns

Mariam. Seorang perempuan sederhana yang terlatih sejak dini menyembunyikan lara seberapapun beratnya. Yang mampu mengatupkan mulutnya tanpa bicara menghadapi deraan pedih jiwa dan raga. Aziza. Seorang perempuan cerdas namun kandas oleh takdir yang membawanya pada pengalaman hidup pahit dan berliku hingga kembali menemukan cinta’lama’ yang dimaknai dengan lebih dewasa.

Dua tokoh wanita dengan latar belakang budaya dan carut marut nya pemerintah Afghanistan tersebut digambarkan dengan apik oleh si pengarang buku, Khaled Hossein. Spektakuler. Bahasa yang dipakai adalah bahasa jiwa, yang menurutku hanya dapat dipahami oleh jiwa pula. Aku tersenyum saat suamiku berkomentar,” Baca sekilas aja ngga paham isinya ngomong apa.” Yah..gaya bahasa yang dituturkan penulis tidak serta merta akan disukai oleh tipe orang-orang lugas dan tidak bertele-tele dalam berbahasa. Kenyataannya buku itu mampu menyedot perhatianku sejenak dari aktivitas lain. Uff…tugas-tugas sekolah jadi agak tertunda hanya untuk buku itu.

Mariam dan Aziza dipertemukan oleh takdir, dimana keduanya masuk dalam skenario pengarang untuk menjadi isteri dari pria yang sama, seorang pria lanjut usia yang ter-stigma sebagai lelaki kasar, egois, dan tidak berperasaan. Keduanya terpuruk di dalam kooptasi seorang laki-laki yang hanya memberikan kontribusi kecil pada kebahagiaan hidup mereka, namun secara tidak langsung menjadi perantara bagi kuatnya jiwa dan kayanya pengalaman batin yang dipunya. Yah..kaya dengan derita.

Perasaan senasib membawa keduanya ke dalam ikatan jiwa yang indah, walaupun pada awalnya kebencian dan prasangka menjadi bagian dari perkenalan kedua wanita yang beda usia nya terpaut jauh tersebut. Tariq. Laki-laki cinta yang dibawa Aziza dalam setiap desah napasnya untuk beberapa saat hilang dari kehidupannya selama menjadi isteri Rasheed, tiba-tiba kembali muncul masih membawa cinta yang sama seperti sejak mereka kanak-kanak. Happy ending pada akhirnya untuk kedua wanita tersebut, tapi penetapan bahagia itu dijalani dengan cara berbeda. Aziza kembali bersatu dengan Tariq, sementara Mariam menemukan kebahagiaan lain di tiang gantungan karena menghilangkan nyawa Rasheed, matahari bagi Zalmai, buah hati Aziza dan Rasheed. Hukuman itu layak menurut Mariam, dan tidak ada penyesalan sesudahnya, karena dia pernah merasakan bahagia di dalam hidupnya saat bersama Aziza beserta anak-anaknya.

Well, hidup adalah skenario besar yang sudah ditetapkan Pencipta. Memaknai setiap peristiwa dengan kacamata ilahiyah adalah tuntutan untuk sebuah kedewasaan dalam arti sebenarnya. Hidup hanyalah pilihan sejak pertama kali mata kita mampu membuka hingga kegelapan pada akhirnya. Setiap pilihan dituntut sebuah pertanggungjawaban. Pertanyaannya, siapkah kita dengan pertanggungjawaban itu ??












Saturday, June 26, 2010

17 Juni 1978 - 17 Juni 2010

Sepertinya banyak momen-momen penting kulewatkan selama beberapa waktu ini, yang seharusnya akan lebih baik bila kurekam lewat tulisan. Entahlah, nafsu menulis ku masih belum muncul dan menengadahkan inginnya pada blog ini. Miladku sudah berlalu. Jujur, aku ngeri dengan itu.

Bersyukur tetap aku lakukan bahwa hidup sudah bisa sampai di sini. Tapi masih banyak tanya yang kuseret di setiap perjalanannya. Berkah tidak usia yang sudah berlalu sekian lama ? Lalu apa yang akan terjadi dengan usia yang masih tersisa ? Sungguh aku tidak ingin merayakan kesia-siaan itu dengan mengajak orang lain bersenang-senang. Sesuatu yang semu. Tidak ada perayaan. Sepi. Aku hanya ingin doa tulus tak berbalas yang dapat membuatku lebih optimis menatap asa di depan.

Seandainya akhir hidup terbaik dapat kuketahui sejak saat ini, betapa tidak akan pernah kurasakan batu-batu menggayut di pundak masa. Berat. Introspeksi untuk mencari hakikat diri masih belum dapat sempurna kuurai di setiap episode cerita. Masih banyak bab-bab terlalui dengan hampa. Sementara langkah harus terus berkejaran dengan takdir untuk berhenti pada satu noktah yang masih absurd di alamku. Perlahan tapi pasti aku mendekatinya dengan seribu prasangka.

Usia tidak lagi muda, kesempatan yang tersisa begitu terbatasnya dibanding harap untuk banyak hal yang masih di angan. Waktu…detik demi detik mu menggilas kesadaranku untuk tetap tunduk, tapi di waktu yang lain dalam sekejap hilang tergantikan euforia yang melenakan pada dunia. Ringkihnya diri ini. Waktu…biarkan saat ini aku mengeja-mu, menyusun kembali carut marut huruf yang terbata keluar dari ketidakberdayaan sebagai seorang hamba. Beri aku kesempatan belajar membacamu dengan dengan artikulasi yang jelas, sempurna, dan bermakna di setiap lembarnya. Agar kelak penyesalan itu tidak pernah menempati posisinya dimanapun di ruang hatiku. Semoga.

Thursday, April 15, 2010

Missing you

Hey, sudah berapa lama aku vakum memelukmu ? Bermesraan tanpa peduli waktu sehingga membuat orang lain cemburu dan merenggutmu ? Aku tidak tahu pasti, yang pasti aku sekarang tengah pindah ke lain hati. Oh..terlalu ! Tapi tunggu dulu.., sepertinya perselingkuhan itu tidak akan berlangsung lama. Aku pasti akan rindu dan kembali padamu, walau aku tidak tahu kapan. Sedihku.

Banyak waktu hilang dari kebersamaan kita, terganti dengan lelah yang terus ada. Jangankan memegang, melirik pun sepertinya aku tak mampu. Kapan terakhir kali cerita tentang dirimu kurangkai dalam diam lalu kujadikan kenang-kenangan yang akan aku buka nanti di masa depan ? sehari ? Dua hari? Berbulan yang lalu? Aku tahu, lara itu kau simpan tanpa mampu terungkapkan.

Betapa kau mampu merayuku hingga mampu melambungkan imajinasiku menembus batas, ruang, dan waktu, serta memantul-mantulkan emosiku di setiap sisi-sisi kesadaranku. Pengalaman batin yang tidak akan mampu aku gantikan dengan apapun. De Javu – ku di suatu masa kanak-kanak lalu bersamamu. Kau memberiku banyak hal berguna tanpa meminta balasan atas apapun juga. Aromamu meruak dan menjelma menjadi candu pada suatu waktu. Pesonamu meluluhlantakkan keangkuhanku, membuatku hanya mampu diam menikmati setiap belaian jiwa tanpa kata. Tunggu aku kembali. Tetaplah di sana bersama sabarmu yang tak bertepi. Akan ada suatu masa kita bertemu karena sungguh aku butuh dirimu.

IKK, Medio April 2010.

Presentasi Perdana

Selesai sudah presentasi pagi ini. Antara sukses dan tidak sepertinya. Presentasi perdana yang cukup menguras energiku selama dua hari berturut-turut. What a tiring days ! Pukul 07.00 pagi dengan tangan sedingin AC di ruang ilmiah, aku bersama seorang teman yang juga akan mempresentasikan bacaan jurnalnya, berdiri di depan diikut kurang lebih dua puluh pasang mata. Nervous ? Sudah pasti ! Tiba-tiba aku merasa mengalami gangguan tenggorokan pagi ini. Semenit, dua menit, akhirnya dengan tidak memakan waktu lama presentasi kami lalui.

Memecahkan rekor waktu presentasi tandem tersingkat, hanya 25 menit ! Diikuti dengan menjawab pertanyaan yang kemudian dijawab dengn apa adanya. Itu karena kami masih anak baru. Heheh…sebuah apology yang sebisa mungkin kupenjarakan di dalam logika dan akalku. No excuse of course ! Presentasi kami pada pagi hari ini sudah terlalui dan masih ada dua tugas lagi menunggu, yaitu Book Reading dan Laporan Kasus.

Sungguh, semua ini adalah tantangan yang mengasyikkan walaupun tetap menjadi beban, tapi sebisa mungkin aku ingin melalui nya tanpa keterpaksaan. Membaca, belajar, mencari tahu semua hal yang menimbulkan tanda tanya di sekelilingku, sekiranya itu mampu membuat setiap jaras otakku hidup dan bekerja membuka setiap jalur buntu di setiap cabangnya, sehingga hal itu dapat membuatku tetap hidup dalam arti sebenarnya. Duh..betapa banyak yang hal-hal tidak kami ketahui sebenarnya, dan betapa terbatasnya kemampuan untuk mengetahui semuanya. Beri kami kemampuan memahami ilmu Mu yang tidak terbatas itu ya Allah, jadikan kami manusia-manusia yang bermanfaat untuk sesama dengan ilmu yang kami punya. Jadikan pula ilmu itu membuat kami lebih berilmu dalam mengenal Mu Ya Allah. Aamiin. Pagi ini bait doa itu kulantunkan lewat ketukan keyboard laptop, sebagai pertanda awal baru yang akan kami lalui selanjutnya.

IKK, Medio April 2010

Wednesday, March 31, 2010

Tough

Aku lihat di sana Merapi bertahta
Tegak dengan perkasa tanpa ada yang menyangga
Aku tergugu
Sekiranya karena aku tak mampu berdiri tanpa pasak-pasak besi
Yang mengitari
Sekiranya karena aku belum mampu berdampingan mesra dengan beban
Dan terkadang masih menjumpai pengertian yang mengguncangkan
Luruhku menderu di antara detik demi detik waktu

Penyesalan ini sejatinya dapat kutangguhkan
Bila semangat merapi selalu menjelma dalam setiap lara
Aku tahu
Lelah ini tengah mencari muaranya jauh di samudera hati
Yang tengah kucoba membuatnya tak bertepi walau terasa jeri
Agar larungannya berubah menjadi bunga-bunga
Yang dapat memesona jiwa-jiwa

Allah..
Jadikan aku Merapi itu
Sekali ini saja

IKK, Penghujung Maret 2010

Wednesday, March 24, 2010

Cerita Sore

“Dokter Yuni…..!”

Sebuah suara setengah berteriak keluar dari seorang perempuan paruh baya di sore yang mulai temaram itu. Aku cukup kaget dengan teriakan itu sembari mencari sumber suara. Sebuah wajah yang cukup kukenal berlari kecil menuju tempat ku duduk di depan poli jantung rumah sakit tercinta saat aku tengah menunggu orang-orang tercinta menjemput dari rumah . Rumah sakit yang pada suatu masa yang lalu pernah menemani hari-hariku menuntut ilmu, dan kembali cerita bersamanya kurajut beberapa tahun kemudian hingga detik ini.

“Oh…ibu ?!”

Aku bergegas bangkit memberi sambutan dengan senyum jabat tangan hangat pada wanita itu yang kemudian kukenal sebagai seorang ibu yang tak pernah surut laut sabarnya menjaga buah hati yang tengah sakit, yang notabene adalah pasienku beberapa waktu lalu. Cinta yang lebur pada buah hatinya dapat kubaca di setiap gerak-geriknya. Cinta itu adalah mata air kehidupan si anak sehingga mampu bertahan hidup di antara sakit yang sewaktu2 dapat merenggut jiwanya.Ah, indah nian kiranya.

“Bagaimana kabar Melati, Bu??” (nama sengaja disamarkan) Sudah sehat kah ?? “

Aku bertanya dengan keingintahuan yang bukan basa basi.

“Alhamdulillah sudah sehat, Cuma masih ada masalah kulit sedikit.” Jawab si ibu.

“Tadi saya habis beli salep trus lihat dokter Yuni, makanya saya langsung ke sini. Dokter ditanyain sama Melati, katanya kangen sama dokter Yuni.” Si ibu berkata dengan semangat.

“Oya…? “

Aku menjawab tidak kalah antusiasnya, karena memang seharusnya aku menanyakan nomor teleponnya saat pulang dulu, agar aku dapat memantau perkembangan Melati, tapi apa daya memoriku sedemikian buruknya saat itu, sehingga untuk mengingat hal sepele itu aku tak bisa.

“Iya, katanya dokter Yuni kalo memberi nasihat enak, gak nakut-nakutin.” Si ibu melanjutkan dengan semangat. Aku hanya bisa tersenyum mendengar pernyataan itu.

Ah..tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang membahagiakan sore itu. Sederhana. Hanya bertemu dengan keluarga eks-pasien dan mendapatkan kabar bahwa keadaanya semakin baik. Apalagi yang membahagiakan seorang dokter selain melihat orang-orang yang berada dalam perawatan dan pengawasannya kembali sehat seperti semula. Masa kritis dapat terlalui dengan sempurna karena izin Nya semata. Cukup sudah. Kalaupun ada bunga-bunga diantaranya, itu hanya bonus dari Sang Pemilik Rasa.

Bagaimana aku pernah menitikkan air mata di dalam doa dan sujudku di siang itu, saat di suatu masa keadaannya terlihat memburuk. Aku tak berdaya saat itu. Pengakuanku panjang atas kelemahan yang aku punya. Aku kecil tanpa punya apa-apa. Ketergantunganku pada Nya sedimikian tinggi. Allah uji hatiku saat itu. Alhamdulillah, pengakuan itu berjawab, Melati dapat kembali membaik.Cerita sederhana sore ini telah me-
recharge ulang tenaga dan semangatku untuk hari esok, setelah lelah menggelayut seharian. Besok pagi pukul 07.00 kembali rutinitas itu akan aku jelang dengan BIsmillah. Lalu nikmat Allah yang manakah yang bisa kudustakan ??

Srowolan, Maret 2010

Saturday, February 20, 2010

Curhat


Tergelitik hati ini untuk kembali berbagi di blog indah yang sudah beberapa purnama ini kerontang ditelan sibuk dan letih yang masih belum terbiasa. Perlahan tapi pasti sebuah harap kusemat di jejak-jejak langkah menapaki episode baru kehidupan yang dulu memang pernah kuimpikan : menjadi mahasiswa program spesialis kulit. Sebuah prestasi langka yang cukup diminati oleh banyak orang. Lalu, nikmat Allah manakah yang kamu dustakan ?

Spektakuler ! Rencana Allah begitu memesona jiwa, menarikku ke dalam pusara waktu yang tak dapat kuundurkan walau sesaat. Setelah beberapa waktu yang lampau kelu menerima kenyataan bahwa harap itu tinggal harap. Kembali takdirku diuji. Dan disinilah aku berada. Di tengah komunitas asing yang tengah kuajak bersahabat dalam kehidupanku. Hilir mudik di antara mereka-mereka yang sakit, menjadi pencerah, menjadi pengobat luka, berbagi, dan memberikan semua hal terbaik yang aku punya. Sungguh ingin kureguk sepuas2 nya kenikmatan itu. Kenikmatan yang tidak setiap orang dapat merasakannya. Kenikmatan yang berakar dan terbingkai pada keikhlasan dan kebesaran hati menjalaninya.


Letih badan, letih jiwa, dan menjadi segolongan orang ‘teraniaya’ pada awalnya, sekiranya bukan menjadi pengendur semangat untuk terus maju berhadapan dengan sekian macam cobaan yang sudah siap kutanggungkan sejak awal. Yang sakitnya masih dapat kucari obatnya. Berbekal keyakinan yang sedemikian tingginya bahwa Yang Maha akan mempermudah segala urusan hamba Nya, kuterima takdir ini dengan sepenuh hati, sebuah pilihan hidup yang sebisa mungkin kukompromikan dengan keadaan. Permakluman tak terhingga dari orang-orang tercinta yang tercermin dalam bentuk dukungan dan pengorbanan kucoba kuletakkan dalam kaca penghargaan tinggi yang tak mungkin dengan tega kuretakkan. Kepada mereka yang telah gagah perkasa tegak berdiri di belakang layar kehidupanku sesungguhnya akan kuserahkan gelar itu.Tanpa kalian aku bukan apa-apa. Tanpa kalian aku hanya seonggok jiwa tanpa makna.

Note: terimakasihku untuk semua cinta yg membaluri langkahku. Mas, tiga permataku, mama-papa, ibu-bapak, dan semua yg sudah menyumbangkan doa dan tenaga untuk terusnya langkah ini menuju surga. Aamiin.

Kusemat cinta berbalut doa di kedalaman samudera hati orang - orang terkasih.......