Pagi itu…Sabtu, 30 Oktober 2010 merupakan hari bersejarah untuk ku dan penduduk Jogja pada umumnya. Lihatlah, warna kelabu mendominasi hampir seluruh jengkal tanah Jogja, sekelabu hati-hati kami saat itu.
Merapi tengah menggeliat dari tidurnya, terjaga untuk memenuhi titah Tuhannya dalam rangka merangkaikan takdir dengan kehidupan anak manusia. Sayang, kadangkala keselarasan yang hendak dijalin alam diartikan salah oleh kita. Sungguh, saat ini alam tengah mengaktualisasikan dirinya di tengah masa dan massa sebagai pengingat ampuh terhadap kesombongan manusia. Itulah kiranya perandaian yang lebih sesuai menurutku daripada bahasa merusak yang akan dikonotasikan jahat oleh semua pihak.
Pagi itu kembali kurasakan gigil yang menggigit dan mencubit kesadaranku tentang waktu. Kapanpun, akhir dunia itu adalah sesuatu yang baku dengan segudang cerita kengerian tak terperi tentang gunung yang tercerabut dan diterbangkan layaknya kapas tertiup angin. Terseret-seret pada segala kelemahan yang disandingkan pada perkasanya fenomena alam, membuat ku tak malu untuk meraung sepanjang perjalanan pagi itu menuju rumah sakit tempatku menuntut ilmu. Berkecamuk rasa di dada yang sulit untuk kuungkap lewat kata. Lunglai raga, letih jiwa. Helmku kabur..tertutup abu bercampur air mata yang memerihkan mata, namun tak seperih jiwaku saat itu. Aku mencoba lamat-lamat mengeja alam dengan bahasa keimanan yang tak seberapa ini.
Gunung itu..sekuat dan sehebat apapun tak sanggup memikul beban amanah menjadi pewaris bumi sesungguhnya..lalu manusialah yang terpilih pada akhirnya. Tapi hal tersebut tidak serta merta akan membuat manusia lebih digdaya… Lihatlah…manusia begitu tanpa daya saat awan panas menyapu kehidupan yang selama ini lelah dijaga dan diperjuangkan dengan keringat, air mata, dan seribu pengorbanan lainnya.
Jarak tempat tinggalku dengan sang perkasa itu tidak lebih dari 20 km, radius yang masih “aman” untuk saat ini, tapi entah esok hari. Sang Penguasa alam mempunyai skenario luar biasa untuk seluruh ciptaan Nya,pun termasuk beberapa gunung-gunung lain yang ikut tergelitik untuk beraktivitas yang sama dengan Merapi. Tentu semua ini terjadi dengan tujuan… yang kadang di luar kekuasaan manusia untuk memahaminya. Hingga tulisan ini kubuat, Merapi masih menggeliat entah sampai kapan.
Srowolan, Awal November 2010
No comments:
Post a Comment