Dari sekian banyak buku yang kubaca, sepertinya buku ini menempati peringkat teratas dalam hal waktu penyelesaiannya. Hanya cukup satu malam saja aku habiskan untuk membaca buku ini. Ada 2 alasan mengapa aku mampu menghabiskannya dalam satu malam, yang pertama karena buku ini tidak terlalu tebal, hanya 286 saja. Kedua adalah bahwa buku ini begitu menariknya menurutku. Sebuah kisah hidup tragis yang mampu diceritakan ulang, walaupun itu berarti pengarangnya seolah merobek kembali luka lama yang sudah kering. Nyeri sudah pasti.
The road of Lost Innocence buah karya Somaly Mam & Ruth Marshall, terbitan Hikmah, mengalami cetakan pertama pada bulan April 2009, akan tetapi aslinya buku ini terbit pada tahun 2005.
Buku ini bercerita tentang seorang perempuan dari suku terasing dan dikenal sebagai suku liar, suku Phnong, di pedalaman Kamboja. Perempuan ini tak mengerti asal usul hidupnya, karena hidup dan dibesarkan oleh alam hutan hujan tropis tanpa kedua orang tuanya. Nama Somaly Mam dilekatkan padanya oleh orang lain, yang kemudian di bawanya hingga dewasa sebagai suatu kebanggaan.
Somaly memulai hidup tragisnya saat dijual kehormatannya pada usia 10 tahun oleh orang yang dianggapnya kakek. Beberapa tahun sejak saat itu Somaly mengalami banyak kekerasan fisik dan seksual, terutama setelah menikah paksa di usia 14 tahun. Kehidupan tragis itu terus dibawanya hingga terjebak menjadi korban dalam perdagangan manusia, yang membuatku bergidik, miris, dan marah saat membacanya.
Anak-anak yang masih berusia 12 tahun ke bawah adalah target trafficking , karena mitos bodoh orang-orang di sana adalah, apabila meniduri seorang perawan maka vitalitas akan terjaga dan terhindar dari AIDS. Padahal bagi umumnya orang Kamboja yang juga memegang adat ketimuran, menjaga keperawanan dan kehormatan adalah sesuatu yang sakral. Sayangnya di sisi lain, mereka pun tak segan-segan menjual anak, isteri, atau keponakannya untuk menjadi barang komoditi terlarang itu demi segenggam uang. Ironi.
Kekerasan yang dialami Somaly berhenti dan kehidupannya menjadi lebih baik saat bertemu dengan lelaki berkebangsaan Prancis yang kemudian menikahinya. Belajar dari kegetiran hidup yang dialaminya Somaly bertekad untuk mengabdikan dirinya dalam membantu perempuan-perempuan lain yang mengalami nasib sama dengan dirinya. Diperdagangkan. Berkat perannya tersebut, Somaly mendapatkan penghargaan internasional Asturias untuk kemanusiaan dari pemerintah Spanyol.
Somaly adalah satu dari sekian banyak perempuan yang mampu bangkit dari keterpurukannya. Tekad , semangat dan motivasi untuk memperbaiki hidupnya selalu kuat tertanam dalam diri Somaly. Walaupun perubahan besar mengembalikan harga diri dan kepercayaan dirinya sendiri memakan waktu yang tidak singkat, Somaly tidak pantang menyerah. Kemauan kuatnya untuk lepas dari tirani perbudakan hawa nafsu menjadi orang baik-baik dan kemudian mengabdikan diri untuk membantu teman-teman senasib nya melalui aksi kemanusiaan yang rajin dilakukannya hingga saat ini. Melompat dari rumah bordil satu ke rumah bordil lainnya untuk tidak hanya ‘sekedar’ membagikan kondom sebagai sarana pencegahan penyakit menular seksual, tetapi juga membantu para perempuan yang ‘terjual’ dan ‘terpaksa’ untuk keluar dari tempat itu.
Saat ini Somaly menjadi presiden bagi yayasan yang dibangunnya : AFESIP (Aksi bagi perempuan dalam kesulitan). Percayalah, siapapun perempuan yang membaca buku ini pasti akan banyak bersyukur karena tidak mengalami penderitaan maha dahsyat itu. Tak terkecuali aku, dan doaku semoga anak-anak Indonesia terlindung dari perdagangan manusia yang keji itu.
No comments:
Post a Comment