Aku lihat di sana Merapi bertahta
Tegak dengan perkasa tanpa ada yang menyangga
Aku tergugu
Sekiranya karena aku tak mampu berdiri tanpa pasak-pasak besi
Yang mengitari
Sekiranya karena aku belum mampu berdampingan mesra dengan beban
Dan terkadang masih menjumpai pengertian yang mengguncangkan
Luruhku menderu di antara detik demi detik waktu
Penyesalan ini sejatinya dapat kutangguhkan
Bila semangat merapi selalu menjelma dalam setiap lara
Aku tahu
Lelah ini tengah mencari muaranya jauh di samudera hati
Yang tengah kucoba membuatnya tak bertepi walau terasa jeri
Agar larungannya berubah menjadi bunga-bunga
Yang dapat memesona jiwa-jiwa
Allah..
Jadikan aku Merapi itu
Sekali ini saja
IKK, Penghujung Maret 2010
Wednesday, March 31, 2010
Wednesday, March 24, 2010
Cerita Sore
“Dokter Yuni…..!”
Sebuah suara setengah berteriak keluar dari seorang perempuan paruh baya di sore yang mulai temaram itu. Aku cukup kaget dengan teriakan itu sembari mencari sumber suara. Sebuah wajah yang cukup kukenal berlari kecil menuju tempat ku duduk di depan poli jantung rumah sakit tercinta saat aku tengah menunggu orang-orang tercinta menjemput dari rumah . Rumah sakit yang pada suatu masa yang lalu pernah menemani hari-hariku menuntut ilmu, dan kembali cerita bersamanya kurajut beberapa tahun kemudian hingga detik ini.
“Oh…ibu ?!”
Aku bergegas bangkit memberi sambutan dengan senyum jabat tangan hangat pada wanita itu yang kemudian kukenal sebagai seorang ibu yang tak pernah surut laut sabarnya menjaga buah hati yang tengah sakit, yang notabene adalah pasienku beberapa waktu lalu. Cinta yang lebur pada buah hatinya dapat kubaca di setiap gerak-geriknya. Cinta itu adalah mata air kehidupan si anak sehingga mampu bertahan hidup di antara sakit yang sewaktu2 dapat merenggut jiwanya.Ah, indah nian kiranya.
“Bagaimana kabar Melati, Bu??” (nama sengaja disamarkan) Sudah sehat kah ?? “
Aku bertanya dengan keingintahuan yang bukan basa basi.
“Alhamdulillah sudah sehat, Cuma masih ada masalah kulit sedikit.” Jawab si ibu.
“Tadi saya habis beli salep trus lihat dokter Yuni, makanya saya langsung ke sini. Dokter ditanyain sama Melati, katanya kangen sama dokter Yuni.” Si ibu berkata dengan semangat.
“Oya…? “
Aku menjawab tidak kalah antusiasnya, karena memang seharusnya aku menanyakan nomor teleponnya saat pulang dulu, agar aku dapat memantau perkembangan Melati, tapi apa daya memoriku sedemikian buruknya saat itu, sehingga untuk mengingat hal sepele itu aku tak bisa.
“Iya, katanya dokter Yuni kalo memberi nasihat enak, gak nakut-nakutin.” Si ibu melanjutkan dengan semangat. Aku hanya bisa tersenyum mendengar pernyataan itu.
Ah..tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang membahagiakan sore itu. Sederhana. Hanya bertemu dengan keluarga eks-pasien dan mendapatkan kabar bahwa keadaanya semakin baik. Apalagi yang membahagiakan seorang dokter selain melihat orang-orang yang berada dalam perawatan dan pengawasannya kembali sehat seperti semula. Masa kritis dapat terlalui dengan sempurna karena izin Nya semata. Cukup sudah. Kalaupun ada bunga-bunga diantaranya, itu hanya bonus dari Sang Pemilik Rasa.
Bagaimana aku pernah menitikkan air mata di dalam doa dan sujudku di siang itu, saat di suatu masa keadaannya terlihat memburuk. Aku tak berdaya saat itu. Pengakuanku panjang atas kelemahan yang aku punya. Aku kecil tanpa punya apa-apa. Ketergantunganku pada Nya sedimikian tinggi. Allah uji hatiku saat itu. Alhamdulillah, pengakuan itu berjawab, Melati dapat kembali membaik.Cerita sederhana sore ini telah me-recharge ulang tenaga dan semangatku untuk hari esok, setelah lelah menggelayut seharian. Besok pagi pukul 07.00 kembali rutinitas itu akan aku jelang dengan BIsmillah. Lalu nikmat Allah yang manakah yang bisa kudustakan ??
Srowolan, Maret 2010
Sebuah suara setengah berteriak keluar dari seorang perempuan paruh baya di sore yang mulai temaram itu. Aku cukup kaget dengan teriakan itu sembari mencari sumber suara. Sebuah wajah yang cukup kukenal berlari kecil menuju tempat ku duduk di depan poli jantung rumah sakit tercinta saat aku tengah menunggu orang-orang tercinta menjemput dari rumah . Rumah sakit yang pada suatu masa yang lalu pernah menemani hari-hariku menuntut ilmu, dan kembali cerita bersamanya kurajut beberapa tahun kemudian hingga detik ini.
“Oh…ibu ?!”
Aku bergegas bangkit memberi sambutan dengan senyum jabat tangan hangat pada wanita itu yang kemudian kukenal sebagai seorang ibu yang tak pernah surut laut sabarnya menjaga buah hati yang tengah sakit, yang notabene adalah pasienku beberapa waktu lalu. Cinta yang lebur pada buah hatinya dapat kubaca di setiap gerak-geriknya. Cinta itu adalah mata air kehidupan si anak sehingga mampu bertahan hidup di antara sakit yang sewaktu2 dapat merenggut jiwanya.Ah, indah nian kiranya.
“Bagaimana kabar Melati, Bu??” (nama sengaja disamarkan) Sudah sehat kah ?? “
Aku bertanya dengan keingintahuan yang bukan basa basi.
“Alhamdulillah sudah sehat, Cuma masih ada masalah kulit sedikit.” Jawab si ibu.
“Tadi saya habis beli salep trus lihat dokter Yuni, makanya saya langsung ke sini. Dokter ditanyain sama Melati, katanya kangen sama dokter Yuni.” Si ibu berkata dengan semangat.
“Oya…? “
Aku menjawab tidak kalah antusiasnya, karena memang seharusnya aku menanyakan nomor teleponnya saat pulang dulu, agar aku dapat memantau perkembangan Melati, tapi apa daya memoriku sedemikian buruknya saat itu, sehingga untuk mengingat hal sepele itu aku tak bisa.
“Iya, katanya dokter Yuni kalo memberi nasihat enak, gak nakut-nakutin.” Si ibu melanjutkan dengan semangat. Aku hanya bisa tersenyum mendengar pernyataan itu.
Ah..tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang membahagiakan sore itu. Sederhana. Hanya bertemu dengan keluarga eks-pasien dan mendapatkan kabar bahwa keadaanya semakin baik. Apalagi yang membahagiakan seorang dokter selain melihat orang-orang yang berada dalam perawatan dan pengawasannya kembali sehat seperti semula. Masa kritis dapat terlalui dengan sempurna karena izin Nya semata. Cukup sudah. Kalaupun ada bunga-bunga diantaranya, itu hanya bonus dari Sang Pemilik Rasa.
Bagaimana aku pernah menitikkan air mata di dalam doa dan sujudku di siang itu, saat di suatu masa keadaannya terlihat memburuk. Aku tak berdaya saat itu. Pengakuanku panjang atas kelemahan yang aku punya. Aku kecil tanpa punya apa-apa. Ketergantunganku pada Nya sedimikian tinggi. Allah uji hatiku saat itu. Alhamdulillah, pengakuan itu berjawab, Melati dapat kembali membaik.Cerita sederhana sore ini telah me-recharge ulang tenaga dan semangatku untuk hari esok, setelah lelah menggelayut seharian. Besok pagi pukul 07.00 kembali rutinitas itu akan aku jelang dengan BIsmillah. Lalu nikmat Allah yang manakah yang bisa kudustakan ??
Srowolan, Maret 2010
Subscribe to:
Posts (Atom)
Kusemat cinta berbalut doa di kedalaman samudera hati orang - orang terkasih.......