Pencuri kehangatan itu telah berlalu. Sepi. Air mata saat itu menganak merelakan sebentuk perpisahan yang harus dapat kami tangguhkan nyerinya. Kali ini aku tengah berkejaran dengan waktu. Klise.
Rekaman memori keindahan, kedukaan,saat-saat mata cinta itu bersinar, akan tetap jelas hidup dalam rentang ribuan kilo jarak yang memisahkan. Saat itu aku berpesan, tetaplah aku dikenang dalam kesendirian. Pesona sakinah yang lahir dari ketulusan kami simpan dalam belenggu kepercayaan tingkat tinggi di haribaan Sang Pemilik Janji. Tak perlu diucapkan, tapi jiwa telah saling menggenggam, itu lebih dari cukup untuk mengungkapkan betapa kesetiaan itu tidak serta merta dapat ditakar dan ditukar dengan materi yang relatif kadarnya.
Jarak bukan belenggu, waktu juga bukanlah perancu. Aku hidup dalam bayang-bayang cinta yang selalu dihembuskan disetiap desah napasnya, begitu pun sebaliknya. Sementara buah-buah cinta itu mengawal setiap langkah kami untuk tetap kembali. Pengorbanan menjadi kata ajaib yang memicu ketulusan untuk berbuat. Harganya mahal, pun memaknai perpisahan dengan kelapangan dada bukanlah perkara membalik telapak tangan. Menekan sekuat-kuatnya rindu yang menyeruak mencari ruang nafas lega di antara tarikan senyumnya sungguh tidak mudah. Berdamai dengan kesendirian raga yang sejatinya tertaut pada suatu raga yang lain, akan melelahkan pada suatu masa.
Pencuri kehangatan itu telah berlalu. Sementara tentu. Kutahankan semua rasa untuk sesuatu yang lebih besar pada akhirnya. Pada sebuah kalimat yang kupinjam dari Mbak Helvy, kuucap lagi padamu saat ini saat raga bertemu hanya di alam maya. Sungguh, aku hanya ingin menikahi jiwamu selalu.
PA, Awal Agustus 2010
Thursday, August 05, 2010
Dwilogi Padang Bulan
Apa kabarmu hari ini, Kawan ?? Rasanya kepenatan itu membutuhkan jenak, sekedar jeda dalam mengarungi hidup. Kali ini kuajak Kawan untuk tersenyum sekaligus tertawa segar menikmati secangkir humor-humor khas nuansa melayu pada Dwilogi Padang Bulan – goresan budaya dalam cerita – yang dengan indah mengular di setiap goresan pena (baca: tuts keyboard.red) Andrea Hirata.
Buku ini adalah buku yang pertama kali kupegang saat memasuki toko buku diskon di kota Jogja ini di suatu sore yang basah. Sungguh, hanya dengan membaca nama pengarang aku bisa terhipnotis untuk membelinya.Begitu kuat daya pikat setiap kalimat yang lahir dari pikiran makhluk melayu satu ini. Ditambah lagi, lihatlah amboi.. uniknya sampul buku itu, depan-belakang oke, ibarat tarian dwimuka-nya Dhidhik Nini Towok.
Walaupun setting cerita tidak jauh berbeda dengan tetralogi sebelumnya, dimana pemeran utamanya adalah Ikal dan Maryamah ( nama untuk judul tetralogi yang paling terakhir keluar) ditambah dengan pemain-pemain baru lainnya, buku ini masih tetap layak untuk mendapat pujian. Tidak salah barangkali bila tetralogi dan dwilogi buku tersebut kelak digabung menjadi satu lalu lahirlah heksalogi (maksa.com).
Suamiku sampai heran saat melihatku tertawa terbahak-bahak tanpa henti saat membaca buku itu. Kalimat – kalimat yang menggelitik syaraf geli itu yang selalu ingin kucari di setiap barisnya. Humor yang mengalir tanpa paksaan tanpa basa-basi. Semacam candu menurutku. Hebat!
Sudah menjadi ciri khas, di setiap ceritanya, Andrea ingin berbagi semangat dengan para pembaca. Pesan moral selalu disampaikan dalam bahasa universal berbau Islam (tapi bukankah Islam sendiri bersifat universal ? Rasanya tidak perlu diperdebatkan). Semangat yang dapat membuat orang percaya bahwa sesuatu yang dirasa tidak mungkin bukanlah mustahil saat kita yakin bahwa kita mampu melakukannya. Bagaimana Enong alias Maryamah, seorang wanita perkasa baik fisik maupun mental berpantang untuk menyerah pada nasib (istilah yang umum dikonotasikan kepada nasib yang kurang beruntung) dituturkan dengan baik oleh penulis.
Penempatan sudut pandang yang berubah-ubah sesuka hati di setiap bab tanpa memberikan identitas jelas siapa pelakunya, membuat buku ini semakin unik menurutku. Layak kiranya karya spektakuler penulis sebelumnya seperti Laskar Pelangi dialihbahasakan agar dapat dinikmati oleh penduduk dunia di belahan bumi yang berbeda. Lihatlah, judulnya alih rupa menjadi Troops of Rainbow, gagah bukan kedengarannya??! Akan tetapi, melihat ruh latar belakang budaya melayu yang selalu ditiupkan pada buku-bukunya, sepertinya aku pesimis buku itu mampu memikat pembaca yang tidak mempunyai keterikatan ras yang sama dengan penulis. Hei, tapi tunggu dulu, aku jadi ingat buku-buku lain yang kubaca dengan latar belakang budaya beraneka ragam, mulai dari budaya Irlandia, Myanmar, Afganistan, Palestina, dan Pakistan, aku dapat kembali optimis hal tersebut bukanlah halangan yang berarti karena nyatanya aku tetap bisa tersihir dengan buku-buku tersebut. Bukumu dapat membawamu berkelana menembus batas, ruang, dan waktu. Membuatmu merdeka dari belenggu materi yang membatasi.
Kembali kepada isi buku Dwilogi Padang Bulan ini. Ada bagian yang sama sekali aku tidak pahami dan memang aku tidak berniat memahaminya yaitu tentang bagaimana permainan catur itu dijalankan dan dimainkan dengan berbagai macam model yang membingungkan. Aku buta sama sekali. Bila seorang GM membaca buku ini mungkin paham apa kelemahan teknis yang dibicarakan penulis tentang catur yang sekiranya dapat menjadi titik lemah penulis itu sendiri. Tapi aku tidak butuh itu, aku hanya butuh semangat yang mengalir di setiap kalimat penulis dalam mendramatisir setiap langkah-langkah catur yang sedang dimainkan dengan metafora-metafora di luar jaungkauan pikiranku. Itu sudah cukup. Walau sedikitpun aku tak tahu bagaimana perangkat-perangkat catur itu bekerja, anehnya aku dapat larut menanti dengan debaran dan keingintahuan seperti apa kelak si penulis menetapkan nasib karakter pemain-pemain catur tersebut, hingga kemudian Maryamah meraih kemenangan telak di atas papan catur yang serta merta meruntuhkan arogansi sang mantan suami. Satu lagi poin keunggulan di tunjukkan sang penulis.
Bumbu-bumbu romansa yang ditutup rapat dengan kesopanan budaya melayu menjadi bunga buku ini. Biarlah harap cinta itu tetap digantung dalam kesendirian bujang lapuk seorang Ikal. Tanpa berpanjang-panjang mengapreseasi buku ini, ada baiknya bila langsung Anda baca tanpa perlu bertanya.
Buku ini adalah buku yang pertama kali kupegang saat memasuki toko buku diskon di kota Jogja ini di suatu sore yang basah. Sungguh, hanya dengan membaca nama pengarang aku bisa terhipnotis untuk membelinya.Begitu kuat daya pikat setiap kalimat yang lahir dari pikiran makhluk melayu satu ini. Ditambah lagi, lihatlah amboi.. uniknya sampul buku itu, depan-belakang oke, ibarat tarian dwimuka-nya Dhidhik Nini Towok.
Walaupun setting cerita tidak jauh berbeda dengan tetralogi sebelumnya, dimana pemeran utamanya adalah Ikal dan Maryamah ( nama untuk judul tetralogi yang paling terakhir keluar) ditambah dengan pemain-pemain baru lainnya, buku ini masih tetap layak untuk mendapat pujian. Tidak salah barangkali bila tetralogi dan dwilogi buku tersebut kelak digabung menjadi satu lalu lahirlah heksalogi (maksa.com).
Suamiku sampai heran saat melihatku tertawa terbahak-bahak tanpa henti saat membaca buku itu. Kalimat – kalimat yang menggelitik syaraf geli itu yang selalu ingin kucari di setiap barisnya. Humor yang mengalir tanpa paksaan tanpa basa-basi. Semacam candu menurutku. Hebat!
Sudah menjadi ciri khas, di setiap ceritanya, Andrea ingin berbagi semangat dengan para pembaca. Pesan moral selalu disampaikan dalam bahasa universal berbau Islam (tapi bukankah Islam sendiri bersifat universal ? Rasanya tidak perlu diperdebatkan). Semangat yang dapat membuat orang percaya bahwa sesuatu yang dirasa tidak mungkin bukanlah mustahil saat kita yakin bahwa kita mampu melakukannya. Bagaimana Enong alias Maryamah, seorang wanita perkasa baik fisik maupun mental berpantang untuk menyerah pada nasib (istilah yang umum dikonotasikan kepada nasib yang kurang beruntung) dituturkan dengan baik oleh penulis.
Penempatan sudut pandang yang berubah-ubah sesuka hati di setiap bab tanpa memberikan identitas jelas siapa pelakunya, membuat buku ini semakin unik menurutku. Layak kiranya karya spektakuler penulis sebelumnya seperti Laskar Pelangi dialihbahasakan agar dapat dinikmati oleh penduduk dunia di belahan bumi yang berbeda. Lihatlah, judulnya alih rupa menjadi Troops of Rainbow, gagah bukan kedengarannya??! Akan tetapi, melihat ruh latar belakang budaya melayu yang selalu ditiupkan pada buku-bukunya, sepertinya aku pesimis buku itu mampu memikat pembaca yang tidak mempunyai keterikatan ras yang sama dengan penulis. Hei, tapi tunggu dulu, aku jadi ingat buku-buku lain yang kubaca dengan latar belakang budaya beraneka ragam, mulai dari budaya Irlandia, Myanmar, Afganistan, Palestina, dan Pakistan, aku dapat kembali optimis hal tersebut bukanlah halangan yang berarti karena nyatanya aku tetap bisa tersihir dengan buku-buku tersebut. Bukumu dapat membawamu berkelana menembus batas, ruang, dan waktu. Membuatmu merdeka dari belenggu materi yang membatasi.
Kembali kepada isi buku Dwilogi Padang Bulan ini. Ada bagian yang sama sekali aku tidak pahami dan memang aku tidak berniat memahaminya yaitu tentang bagaimana permainan catur itu dijalankan dan dimainkan dengan berbagai macam model yang membingungkan. Aku buta sama sekali. Bila seorang GM membaca buku ini mungkin paham apa kelemahan teknis yang dibicarakan penulis tentang catur yang sekiranya dapat menjadi titik lemah penulis itu sendiri. Tapi aku tidak butuh itu, aku hanya butuh semangat yang mengalir di setiap kalimat penulis dalam mendramatisir setiap langkah-langkah catur yang sedang dimainkan dengan metafora-metafora di luar jaungkauan pikiranku. Itu sudah cukup. Walau sedikitpun aku tak tahu bagaimana perangkat-perangkat catur itu bekerja, anehnya aku dapat larut menanti dengan debaran dan keingintahuan seperti apa kelak si penulis menetapkan nasib karakter pemain-pemain catur tersebut, hingga kemudian Maryamah meraih kemenangan telak di atas papan catur yang serta merta meruntuhkan arogansi sang mantan suami. Satu lagi poin keunggulan di tunjukkan sang penulis.
Bumbu-bumbu romansa yang ditutup rapat dengan kesopanan budaya melayu menjadi bunga buku ini. Biarlah harap cinta itu tetap digantung dalam kesendirian bujang lapuk seorang Ikal. Tanpa berpanjang-panjang mengapreseasi buku ini, ada baiknya bila langsung Anda baca tanpa perlu bertanya.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Kusemat cinta berbalut doa di kedalaman samudera hati orang - orang terkasih.......