Masih dalam cerita cuti melahirkan 3 bulan kemarin banyak hal yang kualami. Hal ter’gila’ yang aku lakukan adalah mengajak si bungsu pulang kampung saat Idul Fitri kemarin dalam usianya yang baru 30 hari. Jarak Yogya-Belitang, sebuah kecamatan nun jauh di Sumatera Selatan, bukanlah dekat .
Dengan mengendarai mobil pribadi, ribuan kilo kami tempuh melewati pesisir jawa, selat sunda, hingga menyisir hutan sumatera. Bukan pula perjalanan yang mudah karena sepanjang jalan dengan membawa semua anak adalah perjalanan berurai air mata dimana setiap anak pasti akan menangis karena hal apapun, tak terkecuali ibunya yang gemas dengan tingkah mereka :). Belum lagi yang menyedihkan adalah si no-3 yang baru pertama kali di ajak keluar jauh dari habitatnya selama ini. Rasa ‘ketakutan’ dengan suasana baru ditambah lagi kecemburuan dengan si adik baru tumpah ruah dengan kemanjaan dan kekeraskepalaannya selama di perjalanan. Sejenak hal ini membuatku nanar. Perjalanan pulang kali ini yang ditemani oleh kedua orang tuaku menjadi tidak asyik. Mestinya semua menikmati dengan suka cita, tapi dalam hati aku yakin semua akan dimudahkan Allah karena semangat silaturahim lah yang kucoba bawa di niat perjalanan kali ini.
Selama seminggu pertama di kampung adalah cobaan berat bagiku karena si tampan ku tak hendak pergi dari sisi ditemani dengan tangisnya yang menyesak dada. Semuanya mau ummi...!! Jadilah diriku ibu seperti adegan di sinetron saat take gambar menggendong bayi sementara ada anak laki-laki yang kecil memegang ujung baju si ibu kemanapun pergi sambil menangis..what a life.. Mmhnff.... !! Alhamdulillah tak lama kemudian sang abi datang dari Pekanbaru dan dengan semangat cinta menemani hari-hari lelaki kecil kami yang sudah rindu dengan sang ayah.
Setelah seminggu di Belitang, perjalanan lanjut ke Ranau, tanah kelahiran mama di salah satu pojok Lampung Barat. Dengan semangat silaturahim juga kami rela naik kapal motor kecil terombang ambing menyeberangi danau indah permai untuk berkunjung ke tempat saudara di kaki gunung Seminung dan si kecil pun harus rela saat telinganya yang baru 40 hari lebih terpapar kerasnya suara mesin kapal motor yang meraung-raung di depan kendali. Kembali doaku dalam diam memohon Allah menjaga telinganya demi semangat silaturahim yang kami bawa.
Setelah kurang lebih 3 minggu menghabiskan waktu di Belitang, waktunya untuk kembali ke Yogya. Kali ini perjalanan udara yang kami tempuh dengan hanya membawa si kecil, sementara 3 anak yang lain naik mobil diantar oleh orang tuaku, yang baru 3 minggu sebelumnya menjemput kami dari Yogya. Papa yang usianya sudah kepala 6 berjuang menyetir mobil demi mengantar cucu-cucunya pulang ke Yogya, sementara mama yang usianya pun tidak terpaut jauh harus ikut untuk menjaga cucu-cucunya selama perjalanan. Alhamdulillah semua dimudahkan tanpa halangan berarti Allah beri kesehatan kepada Beliau berdua hingga kembali ke Belitang lagi.
Waktu 4 jam di dalam travel yang sesak dan tidak nyaman menuju ke bandara bukanlah waktu yang singkat. Kami mencoba bertahan dengan keadaan itu, sambil sesekali menenangkan si kecil yang sering terbangun karena ketidaknyamanan tersebut. Doaku lagi supaya Allah jaga si kecil dari pengaruh buruk keadaan sekitar demi semangat silaturahim. Di atas pesawat doa yang sama kupinta, semoga tekanan di pesawat tidak berpengaruh pada telinganya.
Allah.. banyak sekali hal yang dapat membuat buah hati ku dan orang tuaku jatuh sakit bila kuingat betapa perjalanan ini tidak ringan. Subhanallah..maka pertolongan siapakah yang kita minta di saat seperti itu? Penjagaan siapakah yang paling baik dari segala macam hal buruk yang mungkin menimpa kami saat itu? Alhamdulillah hingga detik kembali ke Yogya tidak satupun anakku yang sakit atau terjadi hal yang mengkhawatirkan, hanya flu ringan yang mengenai keempatnya. Inilah hasil pulang kampung dengan semangat silaturahim itu.
Pesan moral : Silaturahim akan memanjangkan umur dan memurahkan rezeki (al-hadits)
Srowolan, end of September, 2011
Thursday, September 29, 2011
Episode Baru
Menjelang berakhirnya cuti yang kunikmati selama hampir 3 bulan ini dan kembali kepada kehidupan di dalam belantara pencarian ilmu, aku sempatkan menulis sepenggal episode rasa hati saat ini, sembari memangku si tampan ke-3 ku tulisan ini kubuat.
Shofiyah Hafidhotul Mumtazah, si elok yang lahir dari rahim ibunda pada tanggal 20 Juli 2011 melalui sectio caesaria yang ke-4 -Alhamdulillah tanpa kendala berarti- , memberikan spirit cinta yang baru di aliran darah ibunda dan ayahanda. Menambah semangat kami untuk terus berkarya. Shofiyah, nama itu kami ambil dari nama salah seorang isteri Rasulullah yang berbudi, yang diharapkan dapat menjaga (hafidhotul) syahadah (syahidatul), keikhlasan (kholishotul), dan kekasih hatinya (syauqi) dengan penjagaan terbaik (mumtazah) yang dia punya hingga kelak menemui Sang Pemilik, aamiin.
Berbekal iman lah kehidupan ini akan kembali kujelang, perjuangan tanpa henti bersama empat anak dengan suami nun jauh di sana. Cengeng? Ah tidak juga. Toh semua pasti berlalu, karena pada dasarnya waktu melaju. Hanya bagaimana kualitas hari-hari yang dilalui itulah yang mesti dimaknai lebih baik lagi. Kunikmati hari-hari ini, membaui nafas dan aroma tubuh mereka saat ini, mendengar tangis mereka setiap saat saling bergantian dan bersahut-sahutan dan kadang mengesalkan namun mungkin suatu waktu di hari yang akan datang akan begitu kurindukan. Adalah sebuah pengorbanan saat moment-moment emas di kehidupan mereka berlalu begitu saja dalam lembaran hidup ayahanda. Sebuah keterasingan yang akan dirasa oleh si bungsu kami nanti. Disesali? Ah tidak juga. Bila masih diberi Allah waktu, hutang itu harus terbayar pada saat ada perjumpaan. Berkumpul kembali dalam keadaan normal itu harapan kami. Semua tergantung diriku –dalam sudut pandang manusia-, seberapa cepat selesai selama itulah waktu perpisahan. Menantang bukan?
Tidak semua nasib manusia sama suka dan dukanya. Banyak komentar ketakjuban kudengar dari kiri dan kanan melihat 4 anak dalam genggaman. Ah kupikir itu biasa saja, Allah pasti tahu seberapa besar kemampuan hamba Nya. Menjalani dengan lapang dada, walau emosi kadang meletup dengan tingkah kanak-kanak mereka. Ampuni hamba untuk ketidaksabaran ini, Rabbi. Aku harus banyak belajar menjadi ibu karena aku yakin bila menjadi ibu adalah sekolah berijazah, maka sudah terlalu banyak angka merah aku toreh di rapor tiap semesternya. Melatih si besar untuk lebih disiplin dan bertanggungjawab terhadap adik-adiknya, melatih si kecil untuk menyayangi kakak-kakaknya adalah pekerjaan harian yang rutin kulakukan. Apakah berpikir bagaimana menghidupi mereka kelak mengusik ku? Ah tidak juga. Aku yakin rezeki Allah berlimpah di langit dan di bumi, porsi untuk mereka juga sudah tersedia tinggal bagaimana menggapainya lewat doa dan usaha. Aku percaya rezeki itu tidak bisa diduga dalam hitungan kertas manusia. Bila dengan akal aku berhitung pendapatan dan pengeluaran nanti saat biaya begitu banyak mereka butuhkan, aku akan merasa miskin dan kekurangan. Tapi siapa yang bisa menyangkal rezeki lain di luar akal manusia? Sebelum si bungsu lahir sudah begitu banyak rezeki yang tak terduga datangnya menghampiri kami. Lalu nikmat Allah mana yang bisa kami dustakan?
Time is irreversible and unpredictable, yet enjoyable
So.....enjoy your life as if u have a long age and true heaven inside...
Pelajaran moral dari tulisan ini : jangan takut untuk punya banyak anak, insyaAllah semua akan dimudahkan
Srowolan, akhir September 2011
Shofiyah Hafidhotul Mumtazah, si elok yang lahir dari rahim ibunda pada tanggal 20 Juli 2011 melalui sectio caesaria yang ke-4 -Alhamdulillah tanpa kendala berarti- , memberikan spirit cinta yang baru di aliran darah ibunda dan ayahanda. Menambah semangat kami untuk terus berkarya. Shofiyah, nama itu kami ambil dari nama salah seorang isteri Rasulullah yang berbudi, yang diharapkan dapat menjaga (hafidhotul) syahadah (syahidatul), keikhlasan (kholishotul), dan kekasih hatinya (syauqi) dengan penjagaan terbaik (mumtazah) yang dia punya hingga kelak menemui Sang Pemilik, aamiin.
Berbekal iman lah kehidupan ini akan kembali kujelang, perjuangan tanpa henti bersama empat anak dengan suami nun jauh di sana. Cengeng? Ah tidak juga. Toh semua pasti berlalu, karena pada dasarnya waktu melaju. Hanya bagaimana kualitas hari-hari yang dilalui itulah yang mesti dimaknai lebih baik lagi. Kunikmati hari-hari ini, membaui nafas dan aroma tubuh mereka saat ini, mendengar tangis mereka setiap saat saling bergantian dan bersahut-sahutan dan kadang mengesalkan namun mungkin suatu waktu di hari yang akan datang akan begitu kurindukan. Adalah sebuah pengorbanan saat moment-moment emas di kehidupan mereka berlalu begitu saja dalam lembaran hidup ayahanda. Sebuah keterasingan yang akan dirasa oleh si bungsu kami nanti. Disesali? Ah tidak juga. Bila masih diberi Allah waktu, hutang itu harus terbayar pada saat ada perjumpaan. Berkumpul kembali dalam keadaan normal itu harapan kami. Semua tergantung diriku –dalam sudut pandang manusia-, seberapa cepat selesai selama itulah waktu perpisahan. Menantang bukan?
Tidak semua nasib manusia sama suka dan dukanya. Banyak komentar ketakjuban kudengar dari kiri dan kanan melihat 4 anak dalam genggaman. Ah kupikir itu biasa saja, Allah pasti tahu seberapa besar kemampuan hamba Nya. Menjalani dengan lapang dada, walau emosi kadang meletup dengan tingkah kanak-kanak mereka. Ampuni hamba untuk ketidaksabaran ini, Rabbi. Aku harus banyak belajar menjadi ibu karena aku yakin bila menjadi ibu adalah sekolah berijazah, maka sudah terlalu banyak angka merah aku toreh di rapor tiap semesternya. Melatih si besar untuk lebih disiplin dan bertanggungjawab terhadap adik-adiknya, melatih si kecil untuk menyayangi kakak-kakaknya adalah pekerjaan harian yang rutin kulakukan. Apakah berpikir bagaimana menghidupi mereka kelak mengusik ku? Ah tidak juga. Aku yakin rezeki Allah berlimpah di langit dan di bumi, porsi untuk mereka juga sudah tersedia tinggal bagaimana menggapainya lewat doa dan usaha. Aku percaya rezeki itu tidak bisa diduga dalam hitungan kertas manusia. Bila dengan akal aku berhitung pendapatan dan pengeluaran nanti saat biaya begitu banyak mereka butuhkan, aku akan merasa miskin dan kekurangan. Tapi siapa yang bisa menyangkal rezeki lain di luar akal manusia? Sebelum si bungsu lahir sudah begitu banyak rezeki yang tak terduga datangnya menghampiri kami. Lalu nikmat Allah mana yang bisa kami dustakan?
Time is irreversible and unpredictable, yet enjoyable
So.....enjoy your life as if u have a long age and true heaven inside...
Pelajaran moral dari tulisan ini : jangan takut untuk punya banyak anak, insyaAllah semua akan dimudahkan
Srowolan, akhir September 2011
Subscribe to:
Posts (Atom)
Kusemat cinta berbalut doa di kedalaman samudera hati orang - orang terkasih.......