Menjelang berakhirnya cuti yang kunikmati selama hampir 3 bulan ini dan kembali kepada kehidupan di dalam belantara pencarian ilmu, aku sempatkan menulis sepenggal episode rasa hati saat ini, sembari memangku si tampan ke-3 ku tulisan ini kubuat.
Shofiyah Hafidhotul Mumtazah, si elok yang lahir dari rahim ibunda pada tanggal 20 Juli 2011 melalui sectio caesaria yang ke-4 -Alhamdulillah tanpa kendala berarti- , memberikan spirit cinta yang baru di aliran darah ibunda dan ayahanda. Menambah semangat kami untuk terus berkarya. Shofiyah, nama itu kami ambil dari nama salah seorang isteri Rasulullah yang berbudi, yang diharapkan dapat menjaga (hafidhotul) syahadah (syahidatul), keikhlasan (kholishotul), dan kekasih hatinya (syauqi) dengan penjagaan terbaik (mumtazah) yang dia punya hingga kelak menemui Sang Pemilik, aamiin.
Berbekal iman lah kehidupan ini akan kembali kujelang, perjuangan tanpa henti bersama empat anak dengan suami nun jauh di sana. Cengeng? Ah tidak juga. Toh semua pasti berlalu, karena pada dasarnya waktu melaju. Hanya bagaimana kualitas hari-hari yang dilalui itulah yang mesti dimaknai lebih baik lagi. Kunikmati hari-hari ini, membaui nafas dan aroma tubuh mereka saat ini, mendengar tangis mereka setiap saat saling bergantian dan bersahut-sahutan dan kadang mengesalkan namun mungkin suatu waktu di hari yang akan datang akan begitu kurindukan. Adalah sebuah pengorbanan saat moment-moment emas di kehidupan mereka berlalu begitu saja dalam lembaran hidup ayahanda. Sebuah keterasingan yang akan dirasa oleh si bungsu kami nanti. Disesali? Ah tidak juga. Bila masih diberi Allah waktu, hutang itu harus terbayar pada saat ada perjumpaan. Berkumpul kembali dalam keadaan normal itu harapan kami. Semua tergantung diriku –dalam sudut pandang manusia-, seberapa cepat selesai selama itulah waktu perpisahan. Menantang bukan?
Tidak semua nasib manusia sama suka dan dukanya. Banyak komentar ketakjuban kudengar dari kiri dan kanan melihat 4 anak dalam genggaman. Ah kupikir itu biasa saja, Allah pasti tahu seberapa besar kemampuan hamba Nya. Menjalani dengan lapang dada, walau emosi kadang meletup dengan tingkah kanak-kanak mereka. Ampuni hamba untuk ketidaksabaran ini, Rabbi. Aku harus banyak belajar menjadi ibu karena aku yakin bila menjadi ibu adalah sekolah berijazah, maka sudah terlalu banyak angka merah aku toreh di rapor tiap semesternya. Melatih si besar untuk lebih disiplin dan bertanggungjawab terhadap adik-adiknya, melatih si kecil untuk menyayangi kakak-kakaknya adalah pekerjaan harian yang rutin kulakukan. Apakah berpikir bagaimana menghidupi mereka kelak mengusik ku? Ah tidak juga. Aku yakin rezeki Allah berlimpah di langit dan di bumi, porsi untuk mereka juga sudah tersedia tinggal bagaimana menggapainya lewat doa dan usaha. Aku percaya rezeki itu tidak bisa diduga dalam hitungan kertas manusia. Bila dengan akal aku berhitung pendapatan dan pengeluaran nanti saat biaya begitu banyak mereka butuhkan, aku akan merasa miskin dan kekurangan. Tapi siapa yang bisa menyangkal rezeki lain di luar akal manusia? Sebelum si bungsu lahir sudah begitu banyak rezeki yang tak terduga datangnya menghampiri kami. Lalu nikmat Allah mana yang bisa kami dustakan?
Time is irreversible and unpredictable, yet enjoyable
So.....enjoy your life as if u have a long age and true heaven inside...
Pelajaran moral dari tulisan ini : jangan takut untuk punya banyak anak, insyaAllah semua akan dimudahkan
Srowolan, akhir September 2011
2 comments:
em... jadi trenyuh membacanya.... semoga episode kesendirian ini segera berlalu dan berganti episode kebersamaan.
Sabar mi... pengorbanan ini Insya Allah membawa nikmat dan kesyukuran nantinya. Tetap semangat, bersabar dan gelorakan perjuangan untuk lulus cepat ! Allahu Akbar !!!!
iya..doa, semangat, dan kirimannya selalu dinantikan bi..wkwkwk...InsyaAllah banyak hikmahnya.
Post a Comment