Hari itu, kedua anak perempuan berusia balita tengah bermain bersama. Tiba-tiba terdengar jeritan, “ Ini punyaku..!!!!” disambut dengan teriakan pula, “ Nggak….!! Ini punyaku !!! “, keduanya sedang berebut sebuah mainan. Tiba – tiba, “Iiiiihh…!! Salah satu anak menggiigit tangan anak yang lain, kemudian terdengan suara , “Plak..!!” Anak satu lagi langsung memukul untuk mempertahankan dirinya. Tak lama kemudian terdengar koor tangis bersama – sama, masing-masing mengadu pada ibunya, dan si ibu menenangkan dengan lembut. Selang beberapa saat kemudian, keduanya sudah asyik bermain dan tertawa kembali sambil sesekali menirukan akting Teletubbies, “ Berpelukaann… !!”
Adegan singkat di atas ada di dalam keseharian kita yang mempunyai anak, saat anak kita bersosialisasi dengan anak yang lain, tak terkecuali matahariku, Aisyah.
Pelajaran apa yang bisa dipetik dari drama di atas . yang pertama, egoisme. Egoisme yang berarti semua hal harus tertuju padanya dan untuk kepentingannya. Apapun akan dilakukan dengan menghalalkan segala cara termasuk menyakiti orang lain agar keinginannya tercapai. Sifat anak kecil seperti ini banyak kita jumpai di keseharian kita, bagaimana orang-orang besar mengambil hak orang-orang kecil tanpa peduli dengan pedih yang dirasakan oleh si kecil. Melukai, menyakiti, merampas, mencampakkan, seluruh kosakata itu adalah fenomena kehidupan sosial kita. Lalu apakah masih dapat kita disebut manusia dewasa, bila tingkah laku kita masih seperti balita ??
Pelajaran kedua, pernahkah setelah kita bertengkar dengan seseorang yang didalamnya kita dihinakan dan dilukai kemudian tidak lama kemudian dengan penuh sumringah kita tersenyum kepadanya seolah-olah tidak ada sesuatu terjadi ?? Rasanya suatu hal yang mustahil. Sakit yang dirasakan tidak akan serta merta hilang, boro-boro mau memaafkan atau dimaafkan terlepas dari siapa yang salah, yang ada malah mungkin prasangka dan dendam. Apakah hal tersebut ada pada buah hati kita saat mereka bertengkar dengan teman sebaya ? Tidak tentu saja. Samudara maaf mereka begitu luasnya untuk memaafkan dan meminta maaf atas segala salah yang ada tanpa menyisakan dendam terpendam.
Seandainya kita mampu meniru mereka, saya yakin perdamaian itu bukan sekedar wacana, terlepas dari apologi yang kita buat bahwa mereka masih suci. Karena substansi nya adalah sunatullah kalau kita memang benar-benar mempunyai niat yang tulus untuk menuju kepada perbaikan. Wallahu ‘alam bis showwab.
Adegan singkat di atas ada di dalam keseharian kita yang mempunyai anak, saat anak kita bersosialisasi dengan anak yang lain, tak terkecuali matahariku, Aisyah.
Pelajaran apa yang bisa dipetik dari drama di atas . yang pertama, egoisme. Egoisme yang berarti semua hal harus tertuju padanya dan untuk kepentingannya. Apapun akan dilakukan dengan menghalalkan segala cara termasuk menyakiti orang lain agar keinginannya tercapai. Sifat anak kecil seperti ini banyak kita jumpai di keseharian kita, bagaimana orang-orang besar mengambil hak orang-orang kecil tanpa peduli dengan pedih yang dirasakan oleh si kecil. Melukai, menyakiti, merampas, mencampakkan, seluruh kosakata itu adalah fenomena kehidupan sosial kita. Lalu apakah masih dapat kita disebut manusia dewasa, bila tingkah laku kita masih seperti balita ??
Pelajaran kedua, pernahkah setelah kita bertengkar dengan seseorang yang didalamnya kita dihinakan dan dilukai kemudian tidak lama kemudian dengan penuh sumringah kita tersenyum kepadanya seolah-olah tidak ada sesuatu terjadi ?? Rasanya suatu hal yang mustahil. Sakit yang dirasakan tidak akan serta merta hilang, boro-boro mau memaafkan atau dimaafkan terlepas dari siapa yang salah, yang ada malah mungkin prasangka dan dendam. Apakah hal tersebut ada pada buah hati kita saat mereka bertengkar dengan teman sebaya ? Tidak tentu saja. Samudara maaf mereka begitu luasnya untuk memaafkan dan meminta maaf atas segala salah yang ada tanpa menyisakan dendam terpendam.
Seandainya kita mampu meniru mereka, saya yakin perdamaian itu bukan sekedar wacana, terlepas dari apologi yang kita buat bahwa mereka masih suci. Karena substansi nya adalah sunatullah kalau kita memang benar-benar mempunyai niat yang tulus untuk menuju kepada perbaikan. Wallahu ‘alam bis showwab.
Be my teachers in my mind sweeties..:)
USA, 17 Pebruari 2006
No comments:
Post a Comment