Sunday, September 06, 2009

Dilema (Tanggapan Terhadap Tulisan Seorang Teman)

Dilema. Itulah rasa yang kutangkap dari tulisan seorang teman mengenai kegalauan hatinya dalam memilih antara sekolah lagi dan keluarga. Pilihan sulit, karena keduanya memberikan makna yang berbeda. Keinginan untuk meneruskan sekolah lagi adalah jawaban atas tekad untuk mengaktualisasikan diri lebih dalam lagi pada profesinya sebagai dokter, sementara memilih keluarga itu berarti dia tengah merepresentasikan diri sebagai tameng penyelamat sebuah generasi. Kalaupun keduanya berjalan beriringan pada akhirnya, akan ada kekhawatiran akan ketidakseimbangan dalam perjalanannya nanti.
"Keprofesionalan" sebagai seorang ibu yang sejatinya selalu ada di saat anak membutuhkan, akan berkurang kadarnya saat dibenturkan dengan kenyataan bahwa seluruh waktu akan banyak tersita pada rumah sakit tempat pendidikan itu berlangsung. Anak-anak mungkin akan mengalami masa 'vakum' kasih sayang secara fisik karena kesibukan-kesibukan tersebut. Hari libur yang seharusnya dipakai untuk berkumpul pun barangkali tinggal kenangan. Pertemuan secara fisik tidak dapat optimal dilakukan, karena saat kita pulang ke rumah yang ada hanyalah letih berkepanjangan. Waktu yang ada lebih nyaman untuk digunakan beristirahat daripada bercengkerama atau mendengarkan celoteh mereka. Hal ini tentu Menyakitkan, baik untuk anak-anak maupun kita sendiri. Adalah tidak lucu, saat kita berkutat dengan anak orang lain atau orang lain yang bermasalah, saat itu pula kita tidak hirau pada keluarga sendiriyang tengah bermasalah.

Di sisi lain bukan tidak mungkin "keprofesionalan" sebagai seorang dokter pun akan menurun karena terganggu oleh masalah keluarga. Saat kerja-kerja klnis membutuhkan kehadiran kita, tiba-tiba pada saat yang sama kita dihadapkan pada masalah keluarga. Sehingga mau tidak mau, konsentrasi kita pun akan terpecah yang berbuntut pada ke-tidakprofesionalan kita. Akan berbeda halnya bila pendidikan itu berakhir. Dilema yang dirasakan tidak sesulit saat sekolah, dimana saat sekolah itu kita ter-kooptasi oleh aturan dan waktu yang sangat mengikat. Kita semua tahu pasti bahwa setiap pilihan-pilihan itu mempunyai konsekuensi. Mempunyai resiko yang harus ditanggung suka atau tidak suka. Sekarang tinggal bagaimana kita menyikapinya. Tidak semua keluarga dapat menerima perubahan ritme kehidupan saat menjalani sekolah tersebut. Ada keluarga yang kuat sampai akhir, ada juga yang harus terseok-seok untuk sampai kepada ujung pengharapannya.

Ada baiknya sebelum sampai kepada salah satu keputusan, kita melakukan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity and Threat ). Hal-hal apa kiranya yang dapat mendukung semakin kuatnya tekad untuk sekolah dan kelemahan-kelemahan apa yang mungkin dapat menurunkan tekad tersebut. Lalu apakah ada kesempatan dan timing yang baik dalam melaksanakannya. Terakhir, perhatikan ancaman-ancaman yang sekiranya dapat mengganggu perjalanan pilihan hidup tersebut. Sudahkah kesiapan fisik, mental, material, dan spiritual kita persiapkan dengan baik ? Apakah orang-orang disekitar mendukung penuh kita dengan segala kekuatan dan pengorbanannya ? agar jangan sampai di tengah jalan semua kemudian disesali hanya karena pertimbangan yang setengah matang .


Selain logika SWOT di atas yang dipakai, 'logika' keimanan juga hendaknya kita tempatkan di atas segalanya. Kekuatan doa adalah salah satu modal dalam menentukan ke arah mana kita akan melangkah. Saat ini barangkali aku berada pada titik yang sama dengan temanku, hanya saja keadaan kami yang tidak begitu mirip. Aku tidak bisa memungkiri dilema itu. Bila logika SWOT tak mampu memberikan jawaban itu, maka hanya dan hanya pada Nya kuserahkan seluruh jawab itu. Aku hanya berdoa, pilihan apapun yang kuambil nantinya, semata-mata karena Allah lah yang telah menuliskan jalannya.

Fur: Indah di seberang sana.. wish u all the best :) *much loves for u, sis*

No comments:

Kusemat cinta berbalut doa di kedalaman samudera hati orang - orang terkasih.......