" Aisyaaahhh……tunggu !!"
Sebuah suara menghentikan langkahku untuk sejenak menoleh ke arah sumber suara tersebut. Seorang perempuan berkerudung lebar dan memakai jas putih bergegas ke arahku sambil mendekap buku tebal dan tas besar di pundaknya, tak dihiraukannya pandangan orang-orang di lorong rumah sakit itu mendengar teriakannya yang cukup keras.
" Ais…kamu tau nggak..?"
Tanpa menunggu aku bertanya ada apa, akhwat jangkung itu sudah lebih dahulu berkata.
" Assalamu'alaikum dulu rina manis…"
Celetuk ku kalem sambil menyalami tangannya.
" Eh.. iyaa, afwaaaann…. Assalamu'alaikum Ais sayang.."
Rina, sahabatku, meralat kembali kata-katanya di awal sambil cengengesan membetulkan letak kacamata minusnya.
" Ada berita apa sih, kaya penting banget sampe salam aja lupa ."
Aku bertanya sekaligus menyindirnya dengan tampang pura-pura sebel.
" Yukk..ngomongnya di pinggir aja, tuh ada brankar lewat kalo ketabrak kan lumayan…bisa – bisa nambah pasien UGD kita"
Rina menarik tanganku ke pinggir, sambil bibirnya maju dua senti ke arah brankar yang lewat. Lorong rumah sakit pendidikan yang cukup terkenal di pulau Jawa pagi ini memang cukup ramai, karena memang sedang jam sibuk. Semua berseliweran dengan raut muka yang beraneka ragam, dari yang paling kusut sampai yang berseri – seri, mulai dari pasien dan keluarganya, dokter rumah sakit, residen, perawat, karyawan rumah sakit yang lain, sampai ko-ass seperti kami sekarang ini.
"Kamu dipanggil Dokter Mega, tadi pas aku kasih laporan hasil visum kemarin Beliau menanyakan namamu.."
Rina menjelaskan maksudnya sambil melambai ke arah seoang teman yang berlalu pada jarak yang tidak begitu jauh dari kami.
“ Ra… tunggu dong..!!”
Dengan suara agak lantang Rina memanggil sosok tersebut sambil terus melambaikan tangan. Tak urung aku menaruh jari telunjuk ke bibir megisyaratkan Rina untuk merendahkan volume suaranya. Ini akhwat kok kaya tarzan, batinku tersenyum.
"Oh.. ada apa ya Beliau manggil, mm.. kayanya laporanku bermasalah deh."
Aku menanggapi penjelasan Rina sambil mengernyitkan dahi berpikir kira-kira apa yang membuatku dipanggil.
" Makanya menghadap aja sekarang, mumpung lagi kosong acara kita, Pak Sara berhalangan hadir untuk memberi kuliah kan..?"
Rina memberi saran, sambil tak lupa tanganya membetulkan letak kacamatanya.
" Iya deh.., aku ke sana langsung aja. Kamu mau kemana sekarang ??"
Aku balik bertanya, mengingat acara kami untuk jam sepuluh ini dibatalkan.
" Biasaaaaa…. Isi bensin dulu ke kantin tuh Ira udah duluan .Dahh Aiis, Assalamu'alaikum.."
Dengan gayanya yang rada kenes Rina menjawil daguku sambil berlalu, menyusul teman yang lain ke arah kantin.
" Wa'alaikumsalam…."
Jawabku pelan, sambil melanjutkan langkah berbelok menuju ke bagian Forensik yang letaknya di belakang areal rumah sakit ini. Tadinya aku hendak menemui teman akhwat di bagian Penyakit Dalam untuk menanyakan siapa yang akan mengisi kajian untuk adik-adik S1 Kedokteran Jumat depan sekalian melepas rindu setelah lama tak bersua walaupun rumah sakit kami sama. Kenyataannya memang begitu, kami disibukkan dengan urusan masing-masing seminggu terakhir ini. Beginilah hidup jadi seorang ko-ass, penuh perjuangan sekaligus keprihatinan. Sudah rahasia umum sepertinya kalau ko-ass itu adalah strata terendah di rumah sakit ini heheh…Hush… kok jadi meratapi nasib gini. Aku tersenyum dalam hati.
Ingatanku kembali melayang beberapa hari yang lalu. Sungguh, stase atau bagian Forensik ini walaupun hanya berlangsung empat minggu aku merasa seperti empat tahun. Waktu sepertinya lambat sekali bergulir. Bagaimana tidak, selama 24 jam kami harus siap menunggu perintah, jam berapapun dipanggil ke rumah sakit kami harus datang, untuk menghadapi jasad terbujur kaku yang meninggal karena sebab beraneka ragam, dan hal seperti ini yang sama sekali membuatku merasa tidak nyaman dibanding harus berlama-lama di stase lain. Walau banyak hikmah yang bisa dipetik selama berada di stase tersebut, tapi entah mengapa aku tetap tak ingin berlama-lama di sana. Empat hari yang lalu adalah hari yang berkesan buatku, karena saat itu ada jenazah yang tewas akibat perkelahian, dan aku berani menawarkan diri untuk menjadi O2 atau operator yang bertugas melakukan pembukaan bagian dada. Sudah menjadi ketentuan umum, apabila ada jenazah yang meninggal karena perkara kriminal, biasanya pihak kepolisian meminta untuk dilakukan pemeriksaan dalam sebagai cara untuk mengetahui sebab kematiannya selain dilakukan pemeriksaan luar.
Pisau kecil tajam masih kupegang dengan tangan berkeringat dingin. Dengan pisau inilah aku akan membelah dada jenazah di hadapanku, setelah semua prosedur pemeriksaan lain dilakukan.
" Ayo Ais.. kamu bisa…!."
Sebuah suara menyentak kesadaranku yang masih termangu memandang beraneka ragam jenis pisau yang masih berada di tempatnya.
Hagni, salah saorang teman satu kelompok ku berbisik menguatkan diriku yang masih gamang dengan keadaan tersebut. Tiba-tiba terbersit penyesalan, kenapa harus aku yang menawarkan diri untuk menjadi operator nya. Ahh.. semua terlambat, dosenku yang lumayan sangar sudah berdiri di samping jenazah yang dikelilingi sekitar dua puluh orang ko-ass lain. Perlahan aku menyayat pangkal lehernya seolah-olah tak ingin jenazah pria itu terusik, terus kusayat hingga membentur tulang dadanya. Allah… berdosakah yang kulakukan ini, sungguh aku melakukannya karena tuntutan keilmuan semata. Suara-suara disekitar memberi saran teknik penyayatan, hingga seluruh dada terbuka, dan terlihat semua organ di dalam beserta bau amis organ dalam yang menyeruak menuju syaraf penghidu kami. Sebab kematiannya jelas, karena tusukan sangkur saat perkelahian mengenai jantung dan terjadi perdarahan di sana, terlihat dari genangan darah di pericardium.
Beraneka ragam bentuk kematian lain kutemui di bagian ini, mulai dari jenazah mati tenggelam, infanticid , terbakar, keracunan, hingga kecelakaan lalu lintas. Semuanya menceritakan kepedihan dan kebesaran Allah di dalamnya, saat ada jenazah wanita yang terbakar hangus seluruh tubuhnya diperkirakan bunuh diri karena tak ingin dipaksa menikah dengan laki-laki lain, akan tetapi Maha Suci Allah ternyata rahimnya utuh dengan janin berusia 16 minggu di dalamnya yang sudah meninggal juga. Ternyata wanita itu telah mengandung terlebih dahulu, Naudzubillah..
Sejak di bagian Forensik ini pula aku merasa melihat wajah-wajah kematian di setiap wajah yang kutemui di jalan, dan saat itu ada getaran yang akan menggerakan kuduk ku dan merangsang syaraf autonomku menuju ke kelenjar air mata untuk meneteskan air mata kepasrahan bahwasanya kematian itu adalah sebuah kepastian, siapa yang mampu mengelakkannya.Tapi sungguh bekal itu belum banyak rasanya untuk kutukar dengan kebahagian akhir. Ada doa di setiap ingatan yang kubawa tentang bentuk-bentuk kematian tersebut, Allah.. aku ingin kematianku dalam keadaan terhormat, dan utuh tidak berakhir di meja otopsi.
Tok..tok..tok..
"Assalamu'alaikum…"
Aku sudah berdiri di depan pintu dokter Mega salah satu dosen di bagian Forensik ini dengan perasaan bertanya-tanya.
" Wa'alaikumsalam… masuk ".
Terdengar jawaban dari balik pintu yang langsung menggerakkan tanganku meraih handle pintu dan membukanya.
" Maaf dok, dokter memanggil saya Aisyah Syahidah…"
Aku sudah berdiri di hadapan meja Beliau, sedang perempuan separuh baya dengan gelungan rapi itu, terlihat sedang sibuk dengan tumpukan kertas laporan di hadapannya.
" Oh.. Aisyah ya…silahkan duduk, ini ada yang kurang mengenai laporan visum kemarin."
Tanpa basa-basi Dokter Mega sudah memberikan banyak kritik dan masukan mengenai laporan yang kubuat, hanya karena pemeriksaan organ bagian ginjal tidak dilakukan saat pemeriksaan dalam otopsi jenazah seorang pencuri yang dihakimi massa beberapa hari yang lalu. Penyebabnya karena kami merasa sudah cukup bukti untuk menegakkan sebab kematiannya, ditambah lagi berhubung ginjal agak sulit untuk dibuka mengingat tempatnya yang tersembunyi, jadi kelompok kami memutuskan untuk tidak membukanya. Sudah cukup rasanya membuat berbagai "kerusakan" pada tubuh jenazah itu. Tapi mungkin Dokter Mega mempunyai pertimbangan lain mengingat status kami saat ini masih belajar, jadi semua pemeriksaan harus dilakukan.
Aku berjalan menuju ke kos yang tidak begitu jauh dari rumah sakit sambil membawa hasil laporan yang dikembalikan lagi dengan sukses untuk aku perbaiki sambil memperhatikan setiap wajah-wajah yang kutemui di jalan, kembali aku melihat wajah-wajah kematian di sana, membayangkan seandainya mereka berakhir di meja otopsi tentulah tidak akan ada lagi wajah yang segar tertawa atau murung menangis, yang ada hanya wajah pucat, dingin dan kaku, siap untuk dipelajari sebab- sebab kematiannya oleh mereka yang hidup, sementara akhir hidup sendiri siapa yang tahu seperti apa dan bagaimana. Allah… sudah cukup siapkah aku menghadap Mu ?
Dorr…dorr….!!
Tiba-tiba terdengar suara tembakan yang cukup dekat di telingaku.
" Aaaahh……!! "
Tiba-tiba keringat dingin kurasakan menjalar ke seluruh tubuh, ada rasa nyeri yang menjalar di dada, dan cairan hangat kuraba mengalir di jas ko-ass ku, dan tiba –tiba ringan sekali rasanya tubuh ini, untuk sesaat kemudian aku tidak ingat apa-apa lagi.
Dengan jelas aku melihat tubuhku terbaring tanpa daya dengan darah yang masih mengucur di dada sebelah kiriku. Ramai terdengar orang berteriak mengerubungiku. Suasana panik demikian terasa. Ternyata Bank di samping rumah sakit dirampok memakai senjata api, karena panik si perampok melepaskan tembakan ke arah satpam, dan saat melintas di sana, pelurunya bukan menuju ke arah satpam melainkan bersarang ke dadaku.
Allah.. apa yang akan terjadi dengan diriku? tewaskah aku ? Kepasrahan kembali kurasakan bersamaan dengan titik-titik air mata yang kurasakan jatuh satu-satu.
Hei.. lihat brankar itu yang membawa diriku dari UGD menuju…?? Lihat mereka berbelok ke kiri menuju….Oh tidak !! Mereka membawaku ke bagian forensik. Tidaaaakk.. ya Allah !! Aku tidak pernah ingin kematianku berakhir di ruangan itu. Tolong ya Allah… Aku ingin mati dengan wajar, terhormat, tanpa harus ditelanjangi di atas meja otopsi. Aku melihat teman-teman satu kelompokku berkumpul dengan wajah kaku, sebagian dari mereka menangisi diriku.
" Sekarang kalian periksa bagian luar, setelah itu kita akan memeriksa bagian dalam untuk mengetahui sebab kematian Saudari kita."
Suara dosen kami memecah keheningan yang ada setelah dilakukan doa bersama untuk memulai otopsi ini . Dalam diam semua bekerja dengan suara berbisik, seolah tak ingin mengganggu tidur panjangku. Satu – persatu seluruh yang melekat di badanku di buka, untuk kemudian dikumpulkan setelah terlebih dahulu dicatat. Allah.. betapa malunya aku !! Aku ingin lari dari sana, tapi tak ada tenaga yang mampu menggerakkanku..seperti ada paku besar yang menancap kakiku menembus ke dalam perut bumi.
" Sekarang kita akan melakukan pemeriksaan dalam "
Oh..!! Itu suara Hagni..
Tidaaaakk !!! apa yang akan mereka lakukan padaku. Air mataku sudah tumpah ruah… aku tidak rela ya Allah….!!
" Aiisy…?? Ada apa ?? Kenapa menangis ??"
Sebuah suara lembut dan sepasang tangan memegang bahuku.
Aku mendongak mencari suara yang kukenal tersebut, apalagi dengan panggilan kesayangan Aisy. Hanya satu orang yang memanggilku demikian.
"Subhanallah… Dwi ?? !!" Aku langsung memeluknya, dan terisak di sana.
" Hei… gak boleh nangis di tengah jalan…Malu atuh.. !! Yukk.. ke pinggir dulu."
Dwi, sahabat karibku, sudah menggamit lenganku ke pinggir jalan , yang lumayan ramai . Beberapa pasang mata menatapku dengan mimik wajah yang tidak bisa diterka apa yang tengah mereka pikirkan. Aku jadi malu.
Aku mengusap air mata, sambil tertawa kecil ke arah Dwi menyadari kebodohanku. Alhamdulillah itu cuma lamunanku saja. Beginilah nasib jadi akhwat punya kepribadian sentimentil, mudah sekali terbawa perasaan. Huh.. ini akibat pengaruh cerita-cerita kriminal di televisi jadi berpikir yang tidak-tidak. Aku beristighfar dalam hati.
" Hehe.. aku cuman ngelamun kok ."
" Kok bisa ?? Sudah berkali-kali tadi aku memberi salam dan memanggilmu, tapi sepertinya kamu tidak mendengar apapun. Ada apa Aisy sayang..??"
Wajah Dwi terlihat khawatir melihat keadaanku, sambil menyodorkan tisue ke arahku.
" Gak apa-apa kok, cuman ngelamun aja.. tapi kok sampai nangis ya ?? "
Aku tersenyum sambil menyeka air mata dengan tisue sambil bertanya pada diri sendiri.
" Ngelamun kan gak boleh ukhtiy…gak baek… banyak setannya…Apalagi sambil jalan pake nunduk lagi, kalo ketabrak kendaraan gimana ??
Dwi sedikit merengut, mengingatkan kebiasaan jelekku kalau berjalan tidak melihat kiri kanan, tapi menekuri tanah yang sering jadi bahan olokan teman-teman yang lain. Mencari duit jatuh ni yee…
" Alhamdulillah kalo gak ada apa-apa..Bener nih gak mau cerita ??"
Dwi melanjutkan lagi bicaranya dengan nada pura-pura mengancam. Dia tahu pasti kalau aku punya masalah tentulah akan bercerita padanya tanpa harus diminta. Tapi untuk yang satu ini aku lebih suka diam.
" Ada apa manggil-manggil ? be te we dari mana hendak kemana ?"
Aku sudah melupakan kejadian barusan dan bertanya kepadanya dengan nada biasa.
" Tadi selesai ujian Interna aku pengen rest sebentar di tempatmu, biasa lah…menenangkan pikiran, Rabu depan disuruh maju lagi . Eh, gak taunya ketemu di jalan, berarti bisa bareng. Oh iya, Jumat depan giliran kamu yang ngisi kajian di kedokteran."
Akhwat yang hobi berkerudung coklat itu menerangkan dengan semangat. Inilah yang aku suka darinya, apapun yang terjadi, sesusah apapun keadaan dia terlihat tetap tegar dan bersemangat.
" Ok deh.. tapi ngomong-ngomong bawa oleh-oleh gak buatku ? kan lama gak main ke kos sejak sibuk-sibuk persiapan ujian interna ?
Aku bertanya dengan senyum menggodanya.
" Bereeeess.. udah kupikirin kok. Ntar aja di kos makannya."
Dia menjawab sambil menggamit lenganku untuk kembali berjalan menuju ke arah kos ku. Anak ini paling tahu kesukaanku mm.. apalagi kalau bukan coklat.
" Eiitt…. Tunggu dulu di sini ya Dwi manis.., aku hampir kelupaan mau fotokopi jurnal forensik ini ."
Aku teringat kembali dengan buku perpustakaan di tas yang belum sempat ku fotokopi.
"Yah….! "
Dwi mendesah dengan nada sedikit kesal, tapi tetap memberikan senyum manisnya.
" Sebentar kok..cuman 3 lembar, tuh..fotokopi Dinia lagi sepi , jadi bisa cepat ok..!"
Melihat gelagat yang kurang baik aku cepat-cepat menyambung perkataanku sebelum dia berceramah panjang lebar. Sebelum menyeberang aku beri dia senyuman termanis yang pernah aku punya, hihi… kayanya sih.
" Iya dehh… tapi jangan lupaa itu kepala liat kiri-kanan.. jangan nunduk melulu, di tikungan banyak kenda…."
Belum selesai Dwi memperingatkan aku, tiba-tiba….
Ciiiiiiiiiiiiiiiiitt…..Brak !!!
" Aisyaaaaaaaaahhh…….!!!"
Teriakan yang cukup kuat kudengar sayup-sayup. Duh..ada rasa nyeri kurasakan di sekujur tubuhku, untuk kemudian aku tidak ingat lagi apa yang terjadi. Aku sadar penuh bahwa ini betul-betul kenyataan yang harus kuhadapi, bukan sekedar lamunan sesaat. Allah.. apapun yang terjadi setelah ini , jadikan akhir hidupku menjadi akhir yang baik aamiin..
YJK : Sahabat-sahabatku tercinta FK UGM '96 semoga kita semua dapat khusnul khotimah, aamiin
Ket :
Pericardium : selaput pembungkus jantung
Infanticid : pembunuhan bayi