Inilah cerita itu. Kucoba kurangkai dalam untaian kata yang sudah beberapa pekan ini sepertinya enggan meninggalkan jejaknya di rumah mayaku nan indah ini. Dan hal ini memaksaku untuk mau tidak mau mengulas kembali kisah ‘pilu’ beberapa waktu lalu. Dengan separuh hati waktu itu aku menerima sebuah kenyataan bahwa harapanku untuk menjadi dokter spesialis kandungan harus berhenti di awal-karena suatu keharusan yang sulit untuk kuubah -- memakai bahasa penolakan halus yang dipakai salah satu staf bagian tersebut : berkarir tak harus di obgyn, bisa mencoba karir di bagian lain.Well, setelah beberapa waktu berlalu aku baru bisa memahami dan menyadari, berjuta hikmah yang tak ternilai harganya berselang antara setelah ‘hari’ itu dengan saat ini.
De javu. Itulah yang kurasakan saat kembali ujian akan kulakukan dengan memilih jurusan yang berbeda kali ini. Bagian yang gampang-gampang susah, karena aku harus bersaing memperebutkan 2 kursi dengan 11 pesaing lainnya. Entah inilah jalan itu atau ada jalan lain yang diberi oleh Allah, sampai detik ini pun aku tak tahu. Yang pasti, aku akan terus berusaha berdamai dengan takdirku. Indah bukan ?
Bersama salah seorang peserta ujian yang lain, sebut saja si X, aku memasuki sebuah ruangan dingin, dimana telah duduk seorang lelaki paruh baya, berkulit gelap, berkumis sedang, Pak Dosen, dalam senyum misteriusnya menyambut kami seolah tengah bersiap memuntahkan amunisinya untuk melakukan fit & proper test sebelum kami diterima menjadi pasukan berani belajar di bagian kulit dan kelamin ini. Bagian kecil ,tapi peminatnya banyak dan menurutku bagian ini cocok untuk ibu berbuntut 3 sepertiku mengingat ritme kerja bagian tersebut yang masih memberi kita kesempatan untuk menyisakan waktu dengan keluarga. Halo ??!! Menyisakan waktu ?? Tepatkah istilah itu ?
Detik dan menit berlalu, pertanyaan awal lebih banyak ditujukan pada si X. Hingga sampai pada pertanyaan yang jawabannya cukup menohokku sehingga membuatku limbung sesaat. Dialog yang kurekam kemudian kurang lebihnya demikian :
Pak Dosen :“Siapa yang akan membiayaimu nanti selama pendidikan?”
Si X : “ Saya dan orang tua, Dok.”
Pak Dosen : “ Kok masih orang tua yang membiayai ?
Si X : “Ya, karena saya belum mampu untuk membiayai semua, Dok.”
Pak Dosen: “ Berapa? 50-50??” Pertanyaan menyelidik itu berlanjut.
Si X : “ Yah, saya kurang dari 50, Dok.Orangtua saya yang lebih banyak membiayai”
Pak Dosen : “Orang tuamu bekerja apa?”
Si X : “Bapak saya pegawai negeri, ibu saya pengusaha”
Pak Dosen : “ Pengusaha apa ?? “
Si X : “Pengusaha kebun buah, sawit, dan karet.” (Menjawab dengan antusias).
Pak Dosen :“Ayahmu umurnya berapa ?” Pak Dosen bertanya kepada si X dengan lembut tetapi dengan nada menusuk dan dingin sesuai dengan gaya Pak Dosen selama ini yang kukenal sebagai mantan dosenku saat S1 dulu.
Si X : ( Terdiam lama, dan berpikir )”Sepertinya 54 tahun, Dok. Soalnya 2 tahun lagi pensiun.” Si X menjawab dengan agak ragu. Jawaban ini adalah hal pertama yang mengusik rasa ke-anak-anku.
Pak Dosen : “Trus Bapakmu lahir kapan? Tanggal berapa, tahun berapa ? “ Pak Dosen memuntahkan pertanyaan lanjutannya.
Si X: ( Sedikit bingung dan grogi, mencoba mengingat angka)“ Nggak tahu, Dok !
Gubrakz! Jawaban kedua ini tiba2 mengiris-iris hatiku. Nyeri. How come??!! Bagaimana mungkin dia melupakan jejak lelaki yang telah banyak berkontribusi dalam hidupnya sejak sebelum lahir hingga detik dia berdiri saat ini. Lelaki yang telah menorehkan banyak cerita di kehidupannya sehingga membuatnya mampu tetap bertahan hidup, terlepas dari carut marut atau tidaknya hubungan dia dengan si bapak. Mengapa yang diingat hanya kekayaan orangtuanya dan usia pensiun Sang Bapak – saat dimana pendapatan sang Bapak akan berkurang nantinya.
Materialistis.Hedonis.Narsis.Kurangajaris. (Istilah terakhir adalah ciptaanku). Beragam istilah itu terbersit di benakku , yang mungkin akan diamini oleh Pak Dosen yang masih sibuk dengan senyum misteriusnya.
Detik itu, terbayang di benakku wajah laki-laki tua termakan usia, disana-sini penuh kerut dan gelambir, rambut putih pendek dengan bagian tengah nyaris botak karena dulunya sangat hobi meminta sang anak untuk mencabut ubannya , mata sipit,dan senyum manis pamer barisan gigi putih rapi yang akan kuingat sepanjang hidupku. Sungguh, barangkali tidak banyak cerita indah yang bisa kukenang selama kebersamaan dengan Beliau di masa lalu. Tapi kesungguhan, kasih sayang dan pengorbanan Beliau untukku, anak perempuan satu-satunya akan tetap hidup di urat darahku. Aku sayang papaku. Aku ingat ulang tahun Beliau. Aku ingat tanggal dan tahun Beliau lahir. Aduhai, seburuk-buruk orang tua kita, jangan pernah kita melupakan mereka. Sebesar apapun materi yang kita beri untuk mereka tidak akan dapat menggantikan segala hal yang sudah dilakukan untuk kita.
Perasaan gempita kesedihan itu perlahan tapi pasti merambati sekujur tubuh ku, berakhir dengan panas nya mataku, hingga tak sadar keluarlah isak kecil dari mulutku. Susah payah sekali rasanya menahan air mata itu untuk tidak jatuh apalagi di saat genting seperti sekarang ini, hingga aku merasa sepertinya mulutku serong ke kiri dan ke kanan demi menjaga tegak lurusnya wajahku yang sudah basah. Aku hanya mampu berdialog dengan batin, walau rasanya saat itu aku ingin berteriak keras sekali. Berteriak di telinga Si X, mengumpatnya, menasihatinya, entah apapun itu. Kelu.
Aku hanya mampu tergugu, mengumpulkan seluruh kekuatanku setelah terdiam cukup lama meredam isak, agar mampu kembali menjawab pertanyaan Pak Dosen. Saat Beliau bertanya kenapa mewek, aku hanya menjawab lirih, “Saya ingat tanggal lahir Bapak saya, Pak.” Barangkali logikanya Pak Dosen terusik, bagaimana mungkin mengingat tanggal lahir bisa membuat menangis ?? Tak mungkin rasanya aku curhat panjang lebar mengklarifikasikan apa -apa yang aku rasakan saat itu. Biarlah Pak Dosen beranggapan aku berurai air mata karena membayangkan biaya pendidikan yang mahal nantinya, yang tak sanggup kutanggung karena aku miskin sekali. Biarlah Pak Dosen beranggapan aku tengah sakit gigi yang sedemikian hebat hingga membuatku bersedu sedan. Terserah apapun prasangka yang ada di benak Pak Dosen dan teman wawancaraku. OMG, wawancara ini sungguh aneh, aku seperti tengah melakoni kisah drama pilu yang menguras airmata dan menghentak-hentak nuraniku.
Hingga selesai wawancara itu, mataku belum kering sepenuhnya. Ternyata aku masih harus mendengar another surprise dari teman wawancaraku. Saat ada pertanyaan :
Pak Dosen : “Bapakmu isterinya berapa ?” Pak Dosen setengah bercanda.
Si X :” Setahu saya sih satu, nggak tau kalo ada yang lain yang saya nggak tahu !” (Menjawab dengan ringan sambil tersenyum kecil ). Hah ??!!! Gubrakz again. Seandainya aku berbentuk kartun, pasti aku sudah pingsan dua kali dengan bintang-bintang di atas kepalaku. Aku hanya mampu istighfar dalam hati. Tega nian kau, Nak. Huh !...
Radioputro, medio Oktober2009
Bersama salah seorang peserta ujian yang lain, sebut saja si X, aku memasuki sebuah ruangan dingin, dimana telah duduk seorang lelaki paruh baya, berkulit gelap, berkumis sedang, Pak Dosen, dalam senyum misteriusnya menyambut kami seolah tengah bersiap memuntahkan amunisinya untuk melakukan fit & proper test sebelum kami diterima menjadi pasukan berani belajar di bagian kulit dan kelamin ini. Bagian kecil ,tapi peminatnya banyak dan menurutku bagian ini cocok untuk ibu berbuntut 3 sepertiku mengingat ritme kerja bagian tersebut yang masih memberi kita kesempatan untuk menyisakan waktu dengan keluarga. Halo ??!! Menyisakan waktu ?? Tepatkah istilah itu ?
Detik dan menit berlalu, pertanyaan awal lebih banyak ditujukan pada si X. Hingga sampai pada pertanyaan yang jawabannya cukup menohokku sehingga membuatku limbung sesaat. Dialog yang kurekam kemudian kurang lebihnya demikian :
Pak Dosen :“Siapa yang akan membiayaimu nanti selama pendidikan?”
Si X : “ Saya dan orang tua, Dok.”
Pak Dosen : “ Kok masih orang tua yang membiayai ?
Si X : “Ya, karena saya belum mampu untuk membiayai semua, Dok.”
Pak Dosen: “ Berapa? 50-50??” Pertanyaan menyelidik itu berlanjut.
Si X : “ Yah, saya kurang dari 50, Dok.Orangtua saya yang lebih banyak membiayai”
Pak Dosen : “Orang tuamu bekerja apa?”
Si X : “Bapak saya pegawai negeri, ibu saya pengusaha”
Pak Dosen : “ Pengusaha apa ?? “
Si X : “Pengusaha kebun buah, sawit, dan karet.” (Menjawab dengan antusias).
Pak Dosen :“Ayahmu umurnya berapa ?” Pak Dosen bertanya kepada si X dengan lembut tetapi dengan nada menusuk dan dingin sesuai dengan gaya Pak Dosen selama ini yang kukenal sebagai mantan dosenku saat S1 dulu.
Si X : ( Terdiam lama, dan berpikir )”Sepertinya 54 tahun, Dok. Soalnya 2 tahun lagi pensiun.” Si X menjawab dengan agak ragu. Jawaban ini adalah hal pertama yang mengusik rasa ke-anak-anku.
Pak Dosen : “Trus Bapakmu lahir kapan? Tanggal berapa, tahun berapa ? “ Pak Dosen memuntahkan pertanyaan lanjutannya.
Si X: ( Sedikit bingung dan grogi, mencoba mengingat angka)“ Nggak tahu, Dok !
Gubrakz! Jawaban kedua ini tiba2 mengiris-iris hatiku. Nyeri. How come??!! Bagaimana mungkin dia melupakan jejak lelaki yang telah banyak berkontribusi dalam hidupnya sejak sebelum lahir hingga detik dia berdiri saat ini. Lelaki yang telah menorehkan banyak cerita di kehidupannya sehingga membuatnya mampu tetap bertahan hidup, terlepas dari carut marut atau tidaknya hubungan dia dengan si bapak. Mengapa yang diingat hanya kekayaan orangtuanya dan usia pensiun Sang Bapak – saat dimana pendapatan sang Bapak akan berkurang nantinya.
Materialistis.Hedonis.Narsis.Kurangajaris. (Istilah terakhir adalah ciptaanku). Beragam istilah itu terbersit di benakku , yang mungkin akan diamini oleh Pak Dosen yang masih sibuk dengan senyum misteriusnya.
Detik itu, terbayang di benakku wajah laki-laki tua termakan usia, disana-sini penuh kerut dan gelambir, rambut putih pendek dengan bagian tengah nyaris botak karena dulunya sangat hobi meminta sang anak untuk mencabut ubannya , mata sipit,dan senyum manis pamer barisan gigi putih rapi yang akan kuingat sepanjang hidupku. Sungguh, barangkali tidak banyak cerita indah yang bisa kukenang selama kebersamaan dengan Beliau di masa lalu. Tapi kesungguhan, kasih sayang dan pengorbanan Beliau untukku, anak perempuan satu-satunya akan tetap hidup di urat darahku. Aku sayang papaku. Aku ingat ulang tahun Beliau. Aku ingat tanggal dan tahun Beliau lahir. Aduhai, seburuk-buruk orang tua kita, jangan pernah kita melupakan mereka. Sebesar apapun materi yang kita beri untuk mereka tidak akan dapat menggantikan segala hal yang sudah dilakukan untuk kita.
Perasaan gempita kesedihan itu perlahan tapi pasti merambati sekujur tubuh ku, berakhir dengan panas nya mataku, hingga tak sadar keluarlah isak kecil dari mulutku. Susah payah sekali rasanya menahan air mata itu untuk tidak jatuh apalagi di saat genting seperti sekarang ini, hingga aku merasa sepertinya mulutku serong ke kiri dan ke kanan demi menjaga tegak lurusnya wajahku yang sudah basah. Aku hanya mampu berdialog dengan batin, walau rasanya saat itu aku ingin berteriak keras sekali. Berteriak di telinga Si X, mengumpatnya, menasihatinya, entah apapun itu. Kelu.
Aku hanya mampu tergugu, mengumpulkan seluruh kekuatanku setelah terdiam cukup lama meredam isak, agar mampu kembali menjawab pertanyaan Pak Dosen. Saat Beliau bertanya kenapa mewek, aku hanya menjawab lirih, “Saya ingat tanggal lahir Bapak saya, Pak.” Barangkali logikanya Pak Dosen terusik, bagaimana mungkin mengingat tanggal lahir bisa membuat menangis ?? Tak mungkin rasanya aku curhat panjang lebar mengklarifikasikan apa -apa yang aku rasakan saat itu. Biarlah Pak Dosen beranggapan aku berurai air mata karena membayangkan biaya pendidikan yang mahal nantinya, yang tak sanggup kutanggung karena aku miskin sekali. Biarlah Pak Dosen beranggapan aku tengah sakit gigi yang sedemikian hebat hingga membuatku bersedu sedan. Terserah apapun prasangka yang ada di benak Pak Dosen dan teman wawancaraku. OMG, wawancara ini sungguh aneh, aku seperti tengah melakoni kisah drama pilu yang menguras airmata dan menghentak-hentak nuraniku.
Hingga selesai wawancara itu, mataku belum kering sepenuhnya. Ternyata aku masih harus mendengar another surprise dari teman wawancaraku. Saat ada pertanyaan :
Pak Dosen : “Bapakmu isterinya berapa ?” Pak Dosen setengah bercanda.
Si X :” Setahu saya sih satu, nggak tau kalo ada yang lain yang saya nggak tahu !” (Menjawab dengan ringan sambil tersenyum kecil ). Hah ??!!! Gubrakz again. Seandainya aku berbentuk kartun, pasti aku sudah pingsan dua kali dengan bintang-bintang di atas kepalaku. Aku hanya mampu istighfar dalam hati. Tega nian kau, Nak. Huh !...
Radioputro, medio Oktober2009
3 comments:
menyentuh yo, Yun...
memang kadang apa yang kita anggap biasa menjadi luar biasa bagi orang lain.
Tapi yg jelas, aku juga nggak mau mengingat kenangan manis dengan orang tuaku justru saat mereka sudah tidak ada lagi di dunia ini.
oh babe, u remind me 'bout my mom n dad. T.T i miz my daddy. very much. 10 tahun lebih aku sdh tdk bisa melihatnya lg...
kmrn wkt mudik, aku ke makam bapak. aku kaget bukan kepalang ketika tau tyt byk bgt perubahan pd makam itu. bahkan pintu masuknya pun sdh berubah. nun jauh dari tempat semula. awalnya aku ragu apa aku bisa menemukan makam bapa (aku sendirian krn suami di mobil menjagai anak" yg sdg tidur). apalg mataku sdh basah oleh 2 anak suangai yg keluar darinya. subhanallah...aku tercekat ketika ternyata kakiku (atau hatiku?) telah menuntunku di depan sebuah nisan yang bertuliskan "Ruyoto". OMG...rinduku ternyata telah mengantarkanku kepadanya.....T_T
@arip : Iya rip, akan kita kenang kapanpun selama kita hidup. Entah itu beliau2 masih ada atau tiada. Alhamdulillah aku masih berkesempatan bersama2 beliau2 hingga detik ini.
@Indah : Iya,,kapanpun mengenangnya pastilah ada haru dan air mata. May he rest in peace..
Post a Comment